Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
pernah ditanya tentang keanekaragaman jama’ah-jama’ah Islamiyah yang
tak jarang di antara mereka saling menerapkan bara’ (berlepas diri), dan
juga sikap yang harus diambil ketika terjadi perbedaan pendapat. Beliau
memberikan penjelasan sebagai berikut:
Tidak dapat disangkal lagi bahwa perpecahan,
saling memvonis sesat, permusuhan, dan kebencian yang terjadi dikalangan
para pemuda yang komitmen, sebagian terhadap sebagian yang lainnya yang
tidak sepaham dengan manhaj masing-masing, adalah suatu hal yang
menyedihkan dan sangat disayangkan, bahkan bisa jadi menimbulkan dampak
yang serius.
Perpecahan seperti ini ibarat penyejuk mata
hati para syaithan dari bangsa jin dan manusia, sebab mereka tidak
menyenangi apabila ahli kebajikan bersatu. Mereka menginginkan ahli
kebajikan tersebut berpecah-belah karena mereka (para syaithan tersebut) mengetahui bahwa perpecahan akan meluluhlantakkan kekuatan yang dihasilkan oleh sikap komitmen dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Hal ini telah disinyalir oleh firmanNya, artinya, “Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu”. (QS. al-Anfal: 46).
“Dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka”. (QS. Ali ‘Imran: 105)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah
belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak
ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”. (QS. al-An’am: 159)
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu
tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”. (QS. asy-Syuro: 13)
Allah Subhanahu wata’ala telah
melarang kita berpecah belah dan menjelaskan tentang akibatnya yang
sangat buruk. Sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk menjadi umat
yang bersatu dan satu kata (bersepakat). Perpecahan hanyalah akan
merusak dan meluluhlantakkan urusan serta mengakibatkan lemahnya umat
Islam. Di antara para shahabat pun terjadi perbedaan pendapat, akan
tetapi hal itu tidak menimbulkan perpecahan, permusuhan dan kebencian.
Bahkan perbedaan pendapat itu terjadi pada masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Sepulang beliau dari perang Ahzab (Khandaq), ketika itu, Jibril ‘alaihissalam datang dan memerintahkannya agar bergerak menuju perkampungan Bani Quraizhah sebab mereka telah membatalkan perjanjian. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda kepada para shahabatnya, “Janganlah
sekali-kali salah seorang di antara kalian melakukan shalat ‘Ashar
kecuali (bila sudah tiba) di perkampungan Bani Quraizhah”. Mereka pun bergerak dari Madinah menuju perkampungan Bani Quraizhah,
sementara waktu ‘Ashar pun sudah tiba, lalu sebagian mereka berkata,
‘Kita tidak boleh melakukan shalat, melainkan di perkampungan Bani Quraizhah meskipun matahari sudah terbenam sebab Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah
sekali-kali salah seorang di antara kalian melakukan shalat ‘Ashar
melainkan (bila sudah tiba) di perkampungan Bani Quraizhah”, karenanya kita harus mengatakan, “Sami’nâ wa atha’nâ” (Kami dengar dan kami patuh).
Sebagian mereka yang lain berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bermaksud agar kita bergegas dan bergerak cepat keluar, dan bukan bermaksud agar mengakhirkan shalat”. Perihal tersebut kemudian sampai ke telinga Rasulullah shallallaahu alaihi wasalam, namun beliau shallallaahu alaihi wasalam
tidak mencerca salah seorang pun di antara mereka, tidak pula mencemooh
pemahaman mereka. Jadi, mereka sendiri tidak berpecah-belah hanya
karena berbeda pendapat di dalam memahami hadits Rasulullah shallallaahu alaihi wasalam.
Demikian juga dengan kita, wajib untuk tidak
berpecah-belah dan menjadi umat yang bersatu. Sedangkan bila yang
terjadi justru perpecahan, maka bahayanya sangat besar. Optimisme
yang kita harapkan dan cita-citakan dari kebangkitan Islam ini akan
menjadi sirna, manakala kita mengetahui bahwa ia hanya akan dimiliki
oleh kelompok-kelompok yang berpecah-belah, satu sama lain saling memvonis sesat dan mencela.
Solusi dari problematika ini adalah hanya dengan meniti jalan yang telah ditempuh oleh para shahabat radiyallaahu ‘anhum, mengetahui bahwa perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad ini adalah dalam taraf masalah yang masih bisa ditolerir berijtihad di dalamnya dan mengetahui bahwa perbedaan pendapat ini tidak berpengaruh bahkan ia sebenarnya adalah persepakatan.
Bagaimana bisa demikian? Saya berbeda
pendapat dengan anda dalam satu masalah dari sekian banyak masalah
karena indikasi dari dalil yang ada pada anda berbeda dengan yang ada
pada pendapat saya. Realitasnya, kita bukan berbeda pendapat sebab
pendapat kita diambil berdasarkan asumsi bahwa inilah indikasi dari
dalil tersebut. Jadi, indikasi dari dalil itu ada di depan mata kita
semua dan masing-masing kita tidak mengambil pendapatnya sendiri saja
melainkan karena menganggapnya sebagai indikasi dari dalil. Karenanya,
saya berterima kasih dan memuji anda karena anda telah berani berbeda
pendapat dengan saya. Saya adalah saudara dan teman anda, sebab
perbedaan pendapat ini merupakan bagian dari indikasi dari dalil yang
menurut anda, sehingga wajib bagi saya untuk tidak menyimpan sesuatu
ganjalan pun di hati saya terhadap anda bahkan saya memuji anda atas
pendapat anda tersebut, demikian juga halnya dengan anda. Andaikata
masing-masing kita memaksakan pendapatnya untuk diambil pihak lain,
niscaya pemaksaan yang saya lakukan terhadapnya agar mengambil pendapat
saya tersebut, tidak lebih utama daripada sikap pemaksaan yang sama yang
dilakukannya terhadap saya.
Oleh karena itu, saya tegaskan: Wajib
bagi kita menjadikan perbedaan pendapat yang dibangun atas suatu ijtihad
bukan sebagai perpecahan, tetapi persepakatan sehingga terjadi titik
temu dan kebaikan dapat diraih.
Akan tetapi, bila ada yang berkata, “Bisa jadi solusi seperti ini tidak mudah direalisasikan oleh kalangan orang awam, lalu apa solusi lainnya?”
Solusinya, hendaknya para pemimpin
kaum dan pemukanya yang meliputi semua pihak berkumpul untuk mengadakan
tela’ah dan kajian terhadap beberapa permasalahan yang diperselisihkan
di antara kita, sehingga kita bisa bersatu dan berpadu hati.
Pada suatu tahun pernah terjadi suatu kasus di Mina yang sempat saya dan sebagian saudara saya tangani. Barangkali masalahnya terdengar aneh bagi anda. Ada dua pihak dihadirkan, masing-masing pihak beranggotakan 3-4 orang laki-laki, masing-masing saling menuduh kafir dan melaknat, padahal mereka sedang melaksanakan haji. Ceritanya begini; salah satu pihak menyatakan, “Sesungguhnya pihak yang lain itu ketika berdiri untuk melakukan shalat, meletakkan tangan kanan mereka di atas tangan kiri pada posisi atas dada.” Ini adalah kekufuran terhadap sunnah di mana sunnahnya menurut pihak ini mengulur tangan ke bawah, di atas kedua paha. Sementara pihak yang lain mengatakan, “Sesungguhnya mengulur tangan ke bawah, di atas kedua paha dengan tidak meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri merupakan perbuatan kufur yang membolehkan laknatan.” Perseteruan di antara mereka sangat tajam. Akan tetapi, berkat anugerah dari Allah Subhanahu waTa’ala, usaha yang dilakukan sebagian saudara saya itu dibarengi dengan penjelasan mengenai pentingnya perpaduan hati di antara umat Islam, mereka pun mau pergi dari tempat itu dan masing-masing mereka akhirnya saling ridla.
Pada suatu tahun pernah terjadi suatu kasus di Mina yang sempat saya dan sebagian saudara saya tangani. Barangkali masalahnya terdengar aneh bagi anda. Ada dua pihak dihadirkan, masing-masing pihak beranggotakan 3-4 orang laki-laki, masing-masing saling menuduh kafir dan melaknat, padahal mereka sedang melaksanakan haji. Ceritanya begini; salah satu pihak menyatakan, “Sesungguhnya pihak yang lain itu ketika berdiri untuk melakukan shalat, meletakkan tangan kanan mereka di atas tangan kiri pada posisi atas dada.” Ini adalah kekufuran terhadap sunnah di mana sunnahnya menurut pihak ini mengulur tangan ke bawah, di atas kedua paha. Sementara pihak yang lain mengatakan, “Sesungguhnya mengulur tangan ke bawah, di atas kedua paha dengan tidak meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri merupakan perbuatan kufur yang membolehkan laknatan.” Perseteruan di antara mereka sangat tajam. Akan tetapi, berkat anugerah dari Allah Subhanahu waTa’ala, usaha yang dilakukan sebagian saudara saya itu dibarengi dengan penjelasan mengenai pentingnya perpaduan hati di antara umat Islam, mereka pun mau pergi dari tempat itu dan masing-masing mereka akhirnya saling ridla.
Lihatlah, betapa syaithan telah mempermainkan
mereka di dalam masalah yang mereka perselisihkan ini sampai kepada
taraf saling mengafirkan satu sama lainnya. Padahal sebenarnya ia
hanyalah salah satu amalan sunnah, bukan termasuk rukun Islam, bukan
juga fardlu atau wajibnya. Inti dari permasalahan itu, ada sebagian
ulama yang berpendapat bahwa meletakkan tangan di atas tangan kiri pada
posisi di atas dada adalah sunnah hukumnya, sementara ulama yang lain
menyatakan bahwa sunnahnya adalah mengulur tangan ke bawah. Padahal
pendapat yang tepat dan didukung oleh as-Sunnah (hadits) adalah
meletakkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sahl bin Sa’d radiyallaahu ‘anhu, dia berkata, “Dulu orang-orang diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kirinya di dalam shalat”.
Saya memohon kepada Allah Subhanahu waTa’ala
agar menganugerahkan perpaduan hati, kecintaan dan kelurusan hati
kepada saudara-saudara kami yang memiliki manhaj tersendiri di dalam
sarana berdakwah. Bila niat sudah betul, maka akan mudahlah solusinya.
Sedangkan bila niat belum betul dan masing-masing di antara mereka
berbangga diri terhadap pendapatnya serta tidak menghiraukan pendapat
yang lainnya, maka semakin jauhlah upaya mencapai kesuksesan .
Catatan saya: Bila perbedaan
pendapat itu terjadi pada masalah-masalah aqidah, maka hal itu wajib
dibetulkan. Pendapat apa saja yang berbeda dengan madzhab Salaf, wajib
diingkari dan diberikan peringatan terhadap orang yang meniti jalan yang
menyelisihi madzhab salaf tersebut pada sisi ini.
Sumber: Fatâwa asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimîn, Dâr ‘Alam al-Kutub, Riyadh 1991, Cet. I, juz.
II, hal. 939-944, dengan meringkas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar