Kamis, 11 April 2013

Wanita Berhaji Tanpa Mahram atau Suami (?)

Para ulama berbeda pendapat tentang haji seorang wanita tanpa mahram atau suami. Sebagian ulama mengatakan, wanita tidak memiliki kewajiban untuk berhaji dan haram melakukan safar untuk berhaji jika tidak ada mahram atau suami yang mendampinginya. Ini adalah pendapat Ahmad, Abu Hanifah, An Nakha’i, Ishaq, Syafi’i dalam salah satu nukilan pendapatnya. Adapun Malik, Atho, Said bin Jubair,  Ibnu Sirin, Auza’i, Syafi’i dalam pendapat yang masyhur dan diriwayatkan dari Ahmad berpendapat tidak disyaratkan hal itu dalam safar wajib.[1]
An Nawawi –rahimahullah- berkata, “Akan tetapi yang disyaratkan adalah keamanan atas dirinya. Ashhabunaa (ulama madzhab syafi’i) berkata, keamanan itu dapat tercapai dengan (1) mahram, (2) suami dan (3) rombongan wanita terpercaya. Tidak harus baginya berhaji kecuali dengan adanya salah satu dari tiga hal tersebut.[2]
Yang dimaksud mahram adalah mahram yang berlaku untuk selamanya, baik dengan sebab nasab seperti anak laki-lakinya, ayahnya, saudara laki-lakinya, atau dengan sebab yang lain seperti karena pernikahan atau susuan seperti saudara laki-laki sesusu, mertua laki-laki, menantu laki-laki dan yang lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ ، وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ » . فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، اكْتُتِبْتُ فِى غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا ، وَخَرَجَتِ امْرَأَتِى حَاجَّةً . قَالَ « اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ »
“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, hendaknya seorang wanita tidak melakukan safar kecuali bersama mahram.” Lalu seseorang berdiri seraya berkata, “wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku akan pergi berhaji, sementara aku telah terdaftar untuk berangkat dalam peperangan ini dan itu.” Beliau bersabda, “Pergilah berhaji bersama istrimu.”[3]
Bagi yang berpendapat harus dengan mahram, larangan ini mencakup safar dengan mobil, pesawat, kereta atau yang lainnya, baik safar bersama kelompok wanita yang terpercaya atau tidak, baik perjalanan aman atau tidak, karena larangan dalam hadis ini bersifat umum dan karena safar untuk haji waktunya panjang. Seorang wanita juga membutuhkan pendamping laki-laki untuk melakukan aktifitas hajinya.[4]
“Ini adalah pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan sebagian ulama malikiyyah dan syafi’iyyah[5] yang mengatakan boleh seorang wanita safar tanpa mahram asalkan beserta sekelompok wanita yang amanah dan terpercaya. Akan tetapi pensyaratan ini terbantah dengan sabda Nabi, “Kecuali beserta mahram.”[6]
Jika seorang pergi berhaji tanpa mahram, hajinya sah dan ia berdosa karena melanggar larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Daqiq al ‘Ied –rahimahullah- berkata, “Para fukaha berbeda pendapat apakah adanya mahram bagi wanita termasuk bagian dari standar mampu berhaji (istitho’ah) atau tidak, sehingga seorang wanita tidak wajib haji kecuali bersama mahram? Yang berpendapat demikian berdalil dengan hadis ini (hadis larangan safar kecuali dengan mahram). Artinya bepergian untuk melaksanakan haji termasuk bentuk safar yang tertera dalam hadis ini, maka hukumnya tidak boleh kecuali dengan mahram.
Adapun yang tidak mensyaratkan demikian mengatakan, boleh bagi wanita melakukan safar untuk berhaji bersama rombongan yang terpercaya, baik rombongan laki-laki atau wanita. Dan tentang safar bersama seorang wanita saja, diperselisihkan di madzhab syafi’i.
Permasalahan ini berkaitan dengan masalah dua teks dalil yang nampaknya saling tarik-menarik, setiap dari salah satunya memiliki sisi umum dan sisi khusus. Yaitu, firman Allah ta’ala:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran [3]: 97)
Ayat ini berlaku umum untuk laki-laki dan wanita. Maka, ketika ada kesanggupan untuk berhaji yang disepakati, wanita pun wajib untuk berhaji.
Sementara hadis, “Tidak halal bagi seorang wanita safar.. dst” berbicara khusus untuk wanita dan umum untuk seluruh jenis safar. Jika dikatakan demikian dan dikeluarkan dari keumuman safar itu safar untuk haji, sesuai dengan firman Allah diatas, maka orang yang berbeda pendapat dalam hal ini mengatakan, “Kita mengamalkan ayat “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran [3]: 97) dan wanita termasuk ke dalam ayat ini. Dan safar untuk berhaji tidak termasuk kepada larangan safar (tanpa mahram).
Maka, masing-masing dari teks dalil itu memiliki sisi umum dan sisi khusus, sehingga dibutuhkan tarjih (pemilihan pendapat yang kuat) dari dalil luar. Sebagian ulama Dzahiriyyah mengambil dalil luar, yaitu sabda Nabi, “Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah dari masjid-masjid Allah.” Akan tetapi hal itu kurang tepat, karena masjid bersifat umum dan dapat dikeluarkan dari keumuman itu masjid yang membutuhkan safar karena hadis larangan safar.[7]
Syaikh Abdullah Al Bassam –rahimahullah- berkata, “Sebagian para ulama memandang hadis larangan wanita berangkat berhaji tanpa mahram adalah karena alasan tertentu dan tidak mengambil zahir hadis. Jumhur ulama mengharamkan hal itu untuk wanita muda dan membolehkan untuk wanita yang sudah tua. Sebagian para ulama membolehkan jika ia berangkat bersama rombongan wanita yang terpercaya, sebagian mereka juga membolehkan jika perjalanan aman. Dan semua ini khusus untuk haji wajib. Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- dinukil darinya dalam “al Ikhtiyaraat”:
وتحج كل امرأة آمنة مع عدم محرم لزوال العلة، قال أبو العباس: وهذا متجه لكل سفر طاعة
“Dan (tidak apa-apa) berhaji setiap wanita yang terpercaya dengan tanpa mahram, karena hilangnya illah (alasan larangan)” Abul Abbas berkata juga, “dan hal ini khusus untuk bepergian untuk kepentingan ketaatan.”[8]
Kemudian berkata, “Aku berkata: Permasalahan ini adalah permasalahan ijtihad antara para ulama. Siapa yang mengambil keumuman teks dalil maka ia memberlakukannya secara umum dan melarang hal itu secara mutlak. Dan siapa yang memandang kepada makna (alasan) larangan safar, mereka membolehkan dalam kondisi aman dan ringan keraguannya. Dan pendapat yang kuat (rajih) adalah yang dikatakan oleh Syaikh (Ibnu Taimiyyah), yaitu bolehnya hal tersebut jika dalam kondisi aman. Wallahu ‘alam.”[9]
Wa Shallallahu ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma`iin.

Tidak ada komentar: