Photo © Gert Lavsen
Cinta bukan hanya manis dilaku, dan sepintas lalu.
Namun cinta adalah perjuangan.
Perjuangan ketika ujian melanda, dan cinta tetap bertahan.
Bertahan karena-Nya.
* * *
Dia masih di sudut pintu kamar menunggu jawabanku, dan aku tertunduk
di sofa samping tempat tidur kami. Kamar ini sebelum satu jam yang lalu
masih ruangan favoritku. Lampu temaram yang membuat ruangan ini selalu
terasa cozy. Semua aktivitas favoritku berpusat disini. Menulis, membaca
dan diskusi dengannya. Dan detik ini, ruangan kami begitu menyiksa
hati.Kami dekat, karena kami berkewajiban membantu keuarga yang baru saja dilanda musibah dan putri mereka yang kini yatim. Hubungan kami baik selama 7 tahun. Suamiku yang shalih, tak pernah marah berlebihan padaku, telaten mengajarkanku banyak hal dan yang selalu kuingat sifat amanahnya akan sebuah komitmen untuk selalu bermanfaat. Hingga aku pun akrab dengan sahabatnya.
Ketika kantorku membutuhkan pegawai, maka sahabat suamiku lah yang kuhubungi, karena memang ia single parent yang membutuhkan pekerjaan. Maka semakin akrablah kami.
Dan ketika lelaki itu meminta istrinya untuk rela berbagi rumah tangga dengan wanita lain, maka keluarlah sebuah kalimat meminta izin. Dan jika tidak diizinkan pun, lelaki itu tak memaksa. Dia akan tetap memilih istrinya. Di kehidupan kini maupun nanti.
Ah, lelaki itu suamiku dan wanita itu kini bukan hanya sahabat baikku, ia sudah seperti saudara.
Mendadak bibir kelu dan ujung lengan sweater ku basah dengan airmata yang tak berhenti meleleh.
Aku mencari alasan untuk tak sakit hati, atas permintaan dan pernyataan suamiku. Permintaan yang tak sanggup kukabulkan. Suamiku yang nyaris mengasihiku secara utuh, suamiku yang kukagumi nyaris penuh seluruh jiwaku, lalu dimana cintaku kini kuletakkan. Hingga hati tak terlalu sakit.
Sampai detik ini, aku tak pernah menanyakan apakah wanita itu memahami maksud suamiku. Sungguh telinga ini tak siap, mendengar sejauh apa hubungan mereka.
Yang ku tahu, kini suamiku menjaga jarak dengannya dan aku memilih resign. Meski begitu aku tetap bersahabat dengannya. Persahabatan kami tak terganti. Dia wanita yang menjaga keshalihatannya. Suamiku tak salah pilih, aku yang tak sanggup dengan pilihan hidupnya.
Rumah Kami, 2013
* * *
Kehidupan tak selalu berpihak pada kita. Kita belajar hal tersebut
mulai dari kecil, dimana kita berusaha keras dengan belajar ketika
ujian, namun hasil yang didapat tak sebanding dengan kerja keras kita.
Dan ketika kita mencapai fase untuk membangun rumah tangga seperti yang
kita inginkan, maka ujian pun menemani proses pencapaian terbaik kita.
Namun Allah selalu ada di setiap langkah. Dimana Dia Maha Tahu yang
terbaik untuk hamba-Nya. Termasuk ujian yang akan menaikkan derajat
keimanan hambanya. Dan ketika ujian datang kepada muslimah, seharusnya
kita siap. Kesiapan kita tergantung kadar keimanan dan ilmu kita.Lalu apa yang kita lakukan ketika ujian datang, berikut tips yang semoga membawa inspirasi untuk muslimah agar lebih tegar disaat ujian melanda.
1. Allah sebaik-baik tempat mencurahkan isi hati.
Yakinlah segala permasalahan atas kehendak-Nya, maka jadikanlah yang Maha Berkendak adalah tempat pertama untuk mengadukan segala keluh kesah. Allah tempat untuk melapangkan hati sebelum kita berbagi beban ke sesama. Setelahnya agar Allah menunjukkan kita bertemu dengan keluarga dan sahabat-sahabat terbaik sebagai pemberi nasihat. Ingatlah, bahwa kita tidak sendirian mengahapi permasalahan rumah tangga kita. Ada Allah yang tak pernah lelah mendengar pinta kita. Selalu resapi isi Al Quran, karena segala permasalahan di muka bumi ini tertuang dalam Al Quran.
“Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu Kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya” (QS. Al-Mu’minuun : 62).
2. Momen muhasabah.
Koreksi diri. Tentulah tak ada asap kalau tak ada api. Dan hendaknya sebuah permasalahan adalah momen untuk mengevaluasi. Sejauh mana kebaikan kita dalam mengurus rumah tangga? Sudahkah kita ikhlas berbakti pada suami hingga tak ada keluh ketika suami berperilaku seperti yang kita harapkan? Lalu sejauh mana kebaikan kita dalam berumahtangga sehingga rumahtangga kita memberi manfaat pada sesama?
Momen koreksi diri juga langkah awal untuk berbesar hati. Bahwa di setiap kesalahan pasangan, ada tanggung jawab kita. Disinilah kita belajar berbesar hati mengambil hikmah atas sebuah ujian yang tengah melanda.
3. Saatnya me-recovery hati.
Ya, saatnya menyembuhkan hati, agar rutinitas kehidupan tetap berjalan. Permasalahan harus kita hadapi dan selesaikan dengan baik, terpuruk dan tidak keluar dari kamar bukanlah penyelesaian. Mulailah bangun komunikasi yang ‘lebih baik’ dengan pasangan. Sabar, ikhlas, ikhtiar, doa, ber-silaturrahim dan menempatkan porsi cinta yang sewajarnya mampu membuat lapang hati. Sakit memang ketika dihadapkan pada pasangan yang mulai mendua, namun dengarlah alasan pasangan. Selanjutnya berdiskusi dan maafkan. Apapun keputusan kita dan pasangan, yakinkan bahwa semua atas kehendak Allah.
Mudah bagi Allah menjadikan kesulitan berganti kemudahan dan menjadikan ujian berganti kebahagiaan. Permasalahan ada, agar kita lebih mendekat pada-Nya, dan Allah tak ingin diduakan oleh hamba-Nya. Semoga sebentuk hati pada pasangan yang mendua, dimampukan dalam pilihan kebaikan yang karena Allah semata. Aamiin.
Oleh: Fayza Sari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar