Kamis, 11 April 2013

Kezaliman Itu Bernama Riba

    
ribaIslam membangun kehidupan masyarakat manusia diatas sejumlah prinsip. Dalam urusan materi, Islam menekankan prinsip agar setiap individu masyarakat memiliki etos kerja yang baik sehingga masing-masing dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Di sisi lain, Islam juga menekankan agar orang-orang yang berharta memiliki kepedulian sosial, memberi perhatian terhadap nasib orang-orang lemah yang kekurangan, baik dengan memberi atau menyediakan lapangan pekerjaan. Harta dalam kendali orang-orang yang berharta dalam pandangan Islam seharusnya dapat membantu mewujudkan beragam kemaslahatan di masyarakat.
Dalam kerangka ini pula, Islam memperingatkan agar orang-orang yang berharta tidak menyia-nyiakan hartanya dengan sikap israf atau menghambur-hamburkan harta dalam hal-hal yang tidak bermanfaat.
Kitab suci Al Qur`an dipenuhi dengan ayat-ayat yang memotivasi untuk senantiasa berinfak kepada orang fakir dan miskin, serta untuk berinfak di jalan Allah. Infak dan sedekah adalah di antara aktifitas sosial yang mendapat perhatian besar dalam ajaran Islam karena perannya yang sangat strategis dalam menciptakan masyarakat yang baik tadi. Kelemahan orang-orang miskin dapat berubah menjadi ancaman terhadap keharmonisan dan keamanan di masyarakat jika perasaan mereka tidak segera diobati dengan kepedulian dan sikap belas kasihan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang berharta melalui infak dan sedekah.
Bertolak dari prinsip saling mengasihi inilah Islam membangun masyarakat dengan mengikat seluruh individu masyarakat agar mereka menjadi seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya, atau seperti sebuah tubuh yang jika salah satu anggota tubuhnya merasakan sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakan derita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِم ، لا يَظْلِمهُ ، وَلاَ يُسْلمُهُ . مَنْ كَانَ في حَاجَة أخيه ،كَانَ اللهُ في حَاجَته ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِم كُرْبَةً ، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بها كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَومِ القِيَامَةِ ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ يَومَ القِيامَةِ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak menzalimi orang lain dan tidak menelantarkannya. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya, barang siapa yang membantu kesuliatan seorang muslim, maka Allah akan melepaskan salah satu kesulitan dari kesulitan hari kiamat, barangsiapa yang menutup (aib) seorang muslim, Allah akan menutup (aib) nya pada hari kiamat.” (Muttafaq ‘alaih)
“Barangsiapa yang memiliki kelebihan tunggangan, maka hendaknya ia memberi kepada yang tidak memiliki tunggangan, barangsiapa yang memiliki kelebihan bekal, maka hendaknya ia memberi kepada yang tidak memiliki bekal.” (HR Muslim)
Jika demikian nilai yang seharusnya dikembangkan dalam masyarakat, maka sungguh sangat keji perbuatan mengeksploitasi kemiskinan dan ketidakberdayaan orang-orang yang lemah untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan cara menjadikan pemberian bantuan-bantuan tersebut sebagai kegiatan bisnis, bukan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bersama.
Kegiatan tercela tersebut diantaranya adalah riba. Allah berfirman,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. Al Baqarah [2]: 275)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ .  فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah [2]: 278-279)
Dalam hati manusia yang kosong dari rasa belas kasihan dan kepedulian kepada sesama riba hadir menjadi bentuk kezaliman yang menghancurkan tatanan masyarakat, yang kuat memangsa yang lemah, yang kaya memanfaatkan yang miskin. Nilai orang yang berharta hanya karena ia memiliki harta dan orang miskin dianggap ‘berdosa’ hanya karena tidak memiliki kesempatan untuk menjadi orang berharta.
Dalam iklim kegelapan ini lah orang-orang yang berharta melakukan transaksi riba, memberikan bantuan kepada orang-orang miskin dalam bentuk dana pinjaman, dengan persyaratan pengembalian lebih dari jumlah harta yang diberikan dan menjadikan hal itu sebagai kesempatan untuk mengeruk keuntungan dari orang-orang yang kekurangan.
Di atas prinsip ini pula lah sistem ekonomi kapitalis berdiri. Sistem ekonomi yang saat ini menguasai kehidupan ekonomi sebagian besar manusia telah merobek-robek nilai-nilai kemanusiaan, menanamkan prinsip hidup yang liar ke dalam hati manusia. Orang kaya menjadi tamak dan mengincar kelemahan orang miskin, orang miskin menjadi pendengki dan mengincar kelemahan orang kaya. Setiap orang memiliki senjata untuk menghancurkan saudaranya.
Islam hadir untuk menghapus segala kezaliman dan kesewenang-wenangan serta menggantinya dengan sikap saling membantu, saling peduli dan saling berbuat baik antar sesama. Agar sekat-sekat keburukan itu menjadi hilang dan tercipta sebuah masyarakat yang kuat. Karenanya Allah mengharamkan riba dan suap setelah Allah mengharamkan sikap kikir dan pelit.
Dalam Al Qur`an, Allah berkali-kali menggandeng penjelasan tentang sikap baik dan saling membantu itu dengan penjelasan tentang sikap buruk yang seharusnya dihindari.
Ketika Allah memerintahkan untuk berinfak dalam surat Al Baqarah ayat 261:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. Al Baqarah [2]: 260)
Sampai pada ayat ke 280 Allah pun berfirman (yang artinya):
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 280)
Ketika Allah melarang riba dalam surat Ali Imran ayat 130:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran [3]: 130)
Dalam ayat ke 134 Allah berfirman (yang artinya):
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran [3]: 134)
Ketika Allah memerintahkan untuk menunaikan hak kerabat dan orang-orang miskin dalam surat Ar Rum ayat 38:
“Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar Rum [30]: 38)
Allah mengingatkan untuk menjauhi riba,
“dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar Rum [30]: 39)
Bacalah ayat-ayat di atas dengan hati nurani dan ruh keimanan, maka kita akan mengetahui hikmah mengapa Allah mengharamkan riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil serta menutup seluruh pintu menuju ke sana. Kita juga akan mengetahui bahwa tujuan pengharaman itu berkaitan sangat erat dengan tatanan masyarakat yang kuat dan baik.
[Tulisan di atas diinspirasi oleh artikel Syaikh Mahmud Syaltut rahimahullah berjudul “Istighlaal haajati al Muhtaaj fii Nadharil Islam”, Sumber: http://www.alukah.net/Sharia/1064/50643/]

Tidak ada komentar: