Sabtu, 30 Maret 2013

ADAB SALAM DALAM ISLAM


Yang paling pertama memerintahkan salam adalah Allah Yang Maha Tinggi, di mana Allah memerintahkan Adam alaihi salam untuk mengucapkannya kepada para malaikat. Disebutkan di dalam riwayat Al-Bukhari:

إِنَّ اللهَ لَمَّا خَلَقَ آدَمَ قَالَ اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلىَ أُلئِكَ اْلمَلاَئِكَةِ فَاسْتَمِعْ مَايُجِيْبُوْنَكَ تَحِيَتُكَ وَتَحِيَّة ذُرِّيَتِكَ , فَقَالَ َالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ, فَقَالُوْا: اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ

"Sesungguhnya Allah Ta'ala saat setelah menciptakan Adam alaihi salam, Dia berfirman kepada Adam: "Pergilah dan ucapkanlah salam kepada para malaikat ini dan dengarkanlah dengan apakah mereka menjawabmu, sebagai ucapan penghormatan bagimu dan bagi keturunanmu." Lalu Adam berkata:

َالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ mereka menegaskan: [اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ…".[1 Dan pada masa awal kedatangan Nabi r di Madinah beliau memerintahkan para shahabat untuk menyebarkan salam.
  • Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari A'isyah, Rasulullah bersabda: مَا حَسَدَتْكُمُ اْليَهُوْدُعَلىَ شَئٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلىَ السَّلاَمِ وَالتَّأْمِيْنِ "Orang-orang Yahudi tidak dengki kepadamu karena sesuatu, mereka dengki karena salam dan ucapan amin (setelah membaca Al-Fatihah)".[2]
  • Disunnahkan untuk mengawali ucapan salam kepada orang lain, dan menjawabnya adalah wajib. Dan jika seseorang mengucapkan salam kepada sebuah jama'ah, kalau dijawab oleh semua jama'ah, maka hal itu lebih bagus, namun kalau dijawab oleh salah seorang dari mereka maka yang lain terbebas dari beban tersebut.[3]
  • Ucapan salam yang paling baik adalah: اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa seorang lelaki lewat di hadapan Rasulullah r dalam sebuah majlis dan mengucapkan salam: اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ ,beliau bersabda: "Sepuluh kebaikan", lalu lewatlah lelaki lain seraya mengucapkan salam: اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َ Rasulullah mengatakan: "Baginya duapuluh kebaikan". Lalu lewatlah lelaki lain sambil mengucapkan salam: اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ maka Rasulullah mengatakan: "Baginya tigapuluh pahala kebaikan".([4])[5]
  • Dimakruhkan memulai salam dengan ucapan: اَلسَّلاَمُ ْ ُ عَلََيْكُمُ Berdasarkan sabda Rasulullah r: لاَ تَقُلْ عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ فَإِنَّ عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ تَحِيَّةُ المَوْتَى "Jangnlah engkau mengatakan ,عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ sebab ucapan عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ adalah penghormatan bagi orang yang telah meninggal".[6]
  • Dianjurkan untuk mengulangi salam tiga kali jika jama'ah tempat mengucapkan salam cukup banyak atau merasa ragu dengan pendengaran orang yang disalamkan kepadanya. Dan Rasulullah r jika mengucapkan salam maka beliau mengulanginya tiga kali.[7]
  • Dianjurkan untuk menyebarkan salam ((kepada orang yang engkau ketahui dan orang yang engkau tidak ketahui)) dan Rasulullah r bersabda: إِنَّ مِنْ أَشْرَاطَ السَّاعَةِ كَانَتِ التَّحِيَّةُ عَلىَ اْلمَعْرِفَةِ "Sesungguhnya di antara tanda datangnya hari kiamat adalah penghormatan (ucapan salam) dilandaskan pada pengetahuan orang terhadap orang lain semata". Dalam riwayat lain disebutkan: أَنْ يُسَلِّمَ الرَّجُلُ عَلىَ الرَّجُلِ لاَ يُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلاَّ لِلْمَعْرِفَة "Seorang lelaki mengucapkan salam kepada lelaki lainnya dan dia tidak mengucapkan salam tersebut kecuali karena ia mengenalnya".[8] Begitu juga hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma bahwa sesorang lelaki bertanya kepada Rasulullah r: “Islam apakah yang terbaik? Beliau menjawab: "Engkau memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak kau kenal".[9]
  • Bawasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma memasuki pasar dan tidaklah dia melewati seorangpun kecuali dia mengucapkan salam atasnya. Maka Thufail bin Abi Ka'ab berkata kepadanya: Apakah yang engkau perbuat di pasar sementara dirimu tidak tinggal untuk berjual beli? Tidak bertanya tentang harga barang? Tidak menawar barang dan tidak pula duduk di majlis yang terdapat di pasar? Beliau menjawab: Wahai Abu Bathn (kinayah untuk orang yang besar perutnya) sebab Thufail seorang yang berperut besar-kami hanya pergi untuk mengucapkan salam kepada orang yang kami temui."[10]
  • Dianjurkan bagi orang yang datang untuk mengawali salam, dasarnya adalah kisah tentang tiga orang yang datang kepada Nabi r lalu mengucapkan: [11] اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُم Termasuk sunnah bahwa seorang yang mengendarai mengucapkan salam kepada orang yang berjalan, orang yang berjalan mengucapkan salam kepada orang yang sedang duduk, orang yang sedikit kepada orang yang banyak, orang yang lebih kecil kepada orang yang lebih besar. Seandainya dua orang yang sedang mengendarai mobil atau hewan atau dua orang berjalan saling berjumpa, maka yang lebih utama adalah orang yang lebih kecil mengawali salam, seandainya orang yang lebih besar memulai salam maka dia mendapat pahala atas perbuatannya. Berdasarkan sabda Rasulullah r dalam riwayat Abu Hurairah t: "يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى اْلمَاشِي وَاْلمَاشِي عَلىَ اْلقَاعِدِ وَاْلقَلِيْلُ عَلىَ اْلَكثِيْرِ" وفي راية للبخار" "يُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلىَ اْلكَبِيْرِ وَاْلمَارُ عَلَى اْلقَاعِدِ وَاْلقَلِيْلُ عَلىَ اْلكَثِيْرِ "Orang yang berkendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan, orang yang berjalan kepada orang yang duduk, orang yang sedikit kepada orang yang banyak"[12] Dalam riwayat lain disebutkan: Orang yang kecil mengucapkan salam kepada orang yang lebih besar, orang lewat / berjalan kepada orang yang duduk dan orang yang sedikit kepada orang yang banyak."[13]
  • Apabila dua orang bertemu dan setiap mereka berdua mengawali ucapan salam maka setiap mereka berdua untuk menjawab salamnya. (Syarhul Hidayah)[14].
  • Para ulama dalam mazdhab Syafi'iy berkata: Disunnahkan mengirim salam dan orang yang dipercayakan mengirim salam tersebut wajib menyampaikannya, inilah yang wajib dilakukan jika dia sanggup menanggungnya sebab dia diperintahkan untuk menyampaikan amanah, namun jika dia tidak sanggup menanggungnya maka dia tidak wajib menyampaikannya. Disebutkan di dalam kitab Al-Shahihaini dari A'isyah radhiallahu anha berkata: Rasulullah r: bersabda: "Wahai Aisayah ini Jibril datang untuk mengucapkan salam kepadamu". Dia menjawab: وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ dan ditambahkan di dalam riwayat Bukhari: "وَبَرَكَاتُهُ" disebutkan di dalam Syarah Muslim: Didalamnya penjelasan tentang bolehnya orang asing (yang bukan mahrom) mengirim salam kepada perempuan asing lainnya jika tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dengan perbuatan tersebut."[15]
  • Menjawab orang yang membawa dan orang yang mengirim salam. Telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah r dan berkata: Sesungguhnya bapakku mengirim salam untukmu". Rasulullah r menjawabnya: [16] وَعَلَيْكَ وَعَلىَ أبِيْكَ السَّلاَم Abu Dzar t berkata: "Hadiah yang baik dan beban dengan ringan".
  • Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan mengucapkan salam kepada wanita asing yang bukan mahrom, ada ulama yang melarang dan ada pula membolehkan, dan semoga yang lebih kuat adalah apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad rahimhullah: Jika perempuan tersebut sudah tua maka tidak apa-apa, namun jika masih muda maka tidak boleh. [17]
  • Disunnahkan mengucapkan salam kepada anak-anak kecil, berdasarkan hadits riwayat Anas t bahwa dia melewati anak-anak dan mengucapkan salam kepada mereka, lalu menceritakan bahwa "Rasulullah r mengerjakan hal tersebut." [18]
  • Mengucapkan salam kepada orang yang terjaga, di tempat yang terdapat padanya orang lain sedang tertidur, dengan merendahkan suara untuk memperdengarkan salam kepada orang yang terjaga tanpa membangunkan mereka yang sedang tertidur, berdasarkan hadits riwayat Miqdad bin Al-Aswad dan disebutkan di dalam hadits tersebut bahwa "Nabi r datang pada waktu malam lalu mengucapkan salam dengan suara yang tidak membangunkan orang yang sedang tertidur namun didengar oleh orang yang sedang terjaga…" [19]
  • Dilarang mendahului ahli kitab dengan salam; berdasarkan sabda Nabi r: لاَ تَبْدَؤُوْا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَم ِفَإِذَا لَقِيْـتُمْ أَحَدَهُمْ فِي الطَّرِيْقِ فَاضْطَرُّوْهُ إِلىَ أَضْيَق "Janganlah kalian memulai orang yang Yahudi dan Nashrani dengan salam, jika kalian menemukan salah seorang dari mereka di jalanan maka desaklah mereka ke jalan yang lebih sempit".[20] Dan jika ingin menghormatinya maka hormatilah dia dengan selain salam. Dan apabila dia mengawali salam, maka hendaklah dia mengucapkan: [وَعَلَيْكُمْ) [21) dan tidak mengapa setelah itu untuk bertanya kepadanya: Bagaimana keadaanmu, bagaimana keadaan anak-anakmu, sebagaimana dibolehkan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah. [22]
  • Dilarang menyampaikan salam dengan isyarat, berdasarkan hadits riwayat Jabir bin Abdullah t secara marfu' kepada Nabi r: لاَ تُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَ الْيَهُوْد فَإِنَّ تَسْلِيْمَهُمْ بِالرُّؤُوْسِوَاْلأَكُفِّ وَاْلإِشَارَةِ "Janganlah memberi salam seperti salamnya orang-orang Yahudi, sesungguhnya salam mereka dengan kepala, telapak tangan dan isyarat." [23]
  • Boleh memperdengarkan salam pada sebuah majlis yang dihadiri oleh campuran orang muslim dan musyrik, dan niat mengucapkan salam tersebut hanya dikhususkan bagi orang muslim saja.[24] لاَ تُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَ الْيَـهُوْدِ فَإِنَّ تَسْلِيْمَهُمْ بِالرُّؤُوْسِ وَاْلأَكُفِّ وَاْلإِشَارَةِ "Janganlah engkau menyampaikan salam seperti apa yang diperbuat oleh orang-orang Yahudi, sesungguhnya salam mereka dengan kepala, telapak tangan dan isyarat." [25]
  • Dibolehkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang shalat dan menjawabnya dengan isyarat, dan tidak terdapat baginya cara tertentu; terkadang dengan Rasulullah r menjawabnya dengan jari-jari, terkadang pula berisyarat dengan tangan atau memberikan isyarat dengan kepalanya dan disebutkan dalam riwayat yang shahih bahwa beliau berisyarat dengan telapak tangan. [26]
  • Dibolehkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang membaca Al-Qur'an dan dia wajib menjawabnya.
  • Dimakruhkan memberikan salam kepada orang yang sedang menjauh untuk membuang hajat, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiallahu bahwa seorang lelaki lewat sementara Rasulullah r sedang kencing, lalu lelaki tersebut mengucapkan salam kepada Nabi r namun beliau tidak menjawabnya. [27]
  • Dianjurkan mengucapkan salam saat memasuki rumah, sebagaimana dianjurkan mengucapkan salam saat rumah kosong; Dari Ibnu Umar t bahwa dia berkata: Jika seseorang memasuki rumah yang tidak berpenghuni maka hendaklah dia mengatakan: اَلّسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلىَ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ "Kesejahteraan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh." [28]
  • Dianjurkan bagi seorang yang memasuki mesjid untuk shalat dua rekaat sebagai shalat tahiyatul mesjid sebelum mengucapkan salam. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: …dan di antara petunjuknya adalah orang yang memasuki mesjid mulai dengan dua rekaat tahiyatul masjid kemudian barulah ia datang dan mengucapkan salam kepada jama'ah yang sedang berkumpul seperti yang dijelaskan dalam hadits al-musi' shalatahu (seorang yang mempraktikkan shalatnya secara tidak sempurna). [29]
  • Tidak diperbolehkan bagi seseorang memasuki mesjid saat imam sedang berkhutbah pada hari jum'at, sementara dia sendiri mendengar khutbah tersebut, maka dilarang baginya memberi salam kepada orang yang ada di mesjid, dan orang yang berada di dalam mesjid tidak diperbolehkan menjawab salam tersebut saat imam sedang berkhutbah, namun jika menjawabnya dengan isyarat maka itu diperbolehkan. [30] Jika orang yang ada di sampingnya mengucapkan salam kepadanya lalu ingin menjabat tangannya saat imam sedang berkhutbah, maka dia boleh menjabat tangannya tanpa harus berbicara dan menjawab salamnya setelah khatib selesai dengan khutbah yang pertama, dan jika seseorang mengucapkan salam saat khatib berkhutbah dengan khutbah yang kedua maka engkau menjawab salamnya setelah kahtib selesai dari khutbahnya yang kedua. [31]
  • Dijelaskan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah r bersabda: مَنْ بَدَأَ بِالْكَلاَمِ قَبْلَ السَّلاَمِ فَلاَ تُجِبْيُبوْهُ "Barangsiapa yang memulai dengan mengobrol sebelum mengucakan salam maka janganlah engkau menjawabnya." [32] Dalam lafaz Ibnu Ady dijelaskan bahwa: "Mengucapakan salam dahulu sebelum bertanya, maka barangsiapa yang memulai kepadamu dengan berbicara sebelum mengucapakan salam maka janganlah engkau menjawabnya". Dan diriwayatkan oleh Jabir t secara marfu' Rasulullah r bersabda: لاَتَأْذَنُـوْا ِلمَنْ لَمْ يَبْدَأْ بِالسَلاَم "Janganlah engkau mengizinkan orang yang tidak memulai dengan salam." [33]
  • Termasuk sunnah mengucapkan salam ketika meninggalkan suatu majlis, berdasarkan hadits Rasulullah r: إِذَا نْتَهَى أَحَـدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُـوْمَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ اْلأُوْلىَ بِأَحَقَّ مَِن اْلآخِـرَةِ "Apabila salah seorang di antara kalian telah sampai pada sebuah majlis maka hendaklah dia mengucapkan salam, dan jika dia ingin bangkit keluar maka hendaklah mengucapkan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak dari yang terakhir (dengan salam)." [34]
  • Meminyaki tangan dengan wewangian untuk berjabat tangan. Dari Tsabit Al-Banani bahwa Anas meminyaki tangannya dengan minyak wangi yang harum untuk berjabatan tangan dengan teman-temannya.
  • Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah ditanya tentang hukum berjabat tangan setelah shalat fardhu, beliau menjawab: “Berjabat tangan setelah menunaikan shalat fardhu bukan termasuk sunnah akan tetapi bid’ah”. Dan Al-Izz bin Abdusalam berkata: “Berjabat tangan setelah melaksanakan shalat subuh dan asar adalah bid’ah kecuali bagi orang yang baru datang yang telah berkumpul dengan orang yang akan disalaminya sebelum shalat, sebab sesungguhnya berjabat tangan disyari’atkan saat baru datang dan Nabi r setelah selesai melaksanakan shalat wajib, beliau membaca wirid-wirid yang disyari’atkan, beristigfar tiga kali lalu bubar. [35]
  • Di antara kesalahan yang terjadi adalah meninggalkan salam saat baru bertemu (sekalipun tidak lama berpisah), dan hadits Al-Musi’ Shalatahu adalah dalil disyari’atkanya mengucapkan salam seklipun pertemuan sebelumnya berlalu selang beberapa waktu. Dan Imam Nawawi rahimahullah memberikan bab di dalam kitab riadhus shalihin tentang hadits Al-Musi’ Shalatahu, yaitu ((bab isthbaabu I’adatis salam ala man takarrara liqaa’ahu ala Qurbin bi an dakhala tsumma kharaja tsumma dkhala fil haal au haala bainahumaa syajarotun au nahwaha/ Bab dianjurkannya mengulangi salam bagi orang yang pertemuannya berkali-kali selang beberapa saat, yaitu dalam masa yang berdekatan; sekedar masuk kemudian keluar lalu masuk pada saat yang sama atau dihalangi oleh sebuah pohon atau yang lainnya)).
  • Ada beberapa bentuk penghormatan lain yang disyari’atkan, seperti mengucapkan: مَرْحَبًا (Selamat datang), tetapi yang paling utama agar penghormatan ini diucapkan bersamaan dengan salam, maka tidak boleh mencukupkan diri dengannya tanpa dibarengi salam. Sebagaimana yang diriwaytkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu anhu, ia berkata: Saat utusan Abdul Qois mendatangi Nabi r, beliau menyambut mereka dengan mengucapkan: مَـرْحَبًا بِالْـوَفْـدِ الَّذِيْنَ جَاءُوْا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى “Selamat datang dengan utusan yang datang tanpa terhina dan penyesalan”. Lalu mereka berkata: Wahai Rasulullah! Kita adalah bagian dari penduduk desa Rabi’ah, dan jarak di antara kami dan dirimu terpisah oleh suku Mudhar, kami tidak bisa mendatangimu kecuali pada bulan-bulan haram, maka perintahkanlah kepada kami dengan perkara yang jelas, yang dengannya kami bisa masuk surga dan sebagai bekal yang kami akan dakwahkan kepada orang-orang di belakang kami..” [36] Dalam hadits yang shahih Nabi r bersabda: إِذَا أَتىَ الرَّجُـلُ الْقَـوْمَ فَقَالُوْا مَرْحَبًا فَمَرْحَبًا بِهِ يَـوْمَ يَلْـقَى رَبَّهُ Apabila seseorang mendatangi suatu kaum kemudian mereka mengucapkan: مَرْحَبًا maka keselamatan baginya pada hari dia bertemu dengan Tuhannya.” [37]
  • Dan di antara cara memberikan penghormatan yang praktis adalah berjabat tangan, berpelukan dan mencium.
  • Adapun brjabat tangan. Dijelaskan dalam hadits shahih dari Anas, dia berkata: Pada saat penduduk Yaman mendatangi Nabi r, Rasulullah r berkata: (Telah datang kepadamu penduduk Yaman) dan mereka adalah orang yang pertama datang dengan berjabat tangan”.[38] Diriwayakan dari Abu Dawud Rahimahullah dan yang lainnya bahwa Rasulullah r bersabda: مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا "Tidaklah dua orang muslim saling berjabat tangan kecuali dosa-dosa mereka akan diampuni sebelum mereka berdua berpisah." [39] Dari Anas radhiallahu anhu: Seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah! Salah seorang di antara kami menemui sahabatnya yang lain, apakah dia harus tunduk kepadanya (sebagai penghormatan baginya)? Rasulullah menjawab: "Tidak", lalu shahabat tersebut bertanya kembali: Apakah dia harus memeluknya dan menciumnya? Rasulullah menjawab: "Tidak", lalu shahabat tersebut kembali bertanya: "Apakah dia harus berjabat tangan dengannya?" Maka Rasulullah menjawab: Ya, jika dia mau melakukannya." [40] Sebagaimana tidak dianjurkan untuk mencabut tangan saat berjabatan tangan sampai shahabatnya tersebut yang memulai mencabut tangannya sendiri, sebagimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik t bahwa dia berkata: Bahwa Rasulullah r jika menyambut seseorang dan menjabat tangannya maka beliau tidak mencabut tangannya sendiri sampai orang tersebutlah yang memulai mencabut tangannya".[41] Adapun berpelukan. para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan (khusus untuk menyambut orang yang baru datang dari) perjalanan, sebagian ulama mengatakan bahwa berpelukan disyari'atkan juga dalam keadaan tidak musafir jika waktu berpisah cukup lama atau orang yang berkunjung adalah seorang yang mempunyai kedudukan dan wibawa dan mereka butuh dengan sikap seperti ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Turmudzi rahihullah dalam kitab Al-Syama'il dan yang lainnya bahwa Rasulullah r mendatangi rumah Abi Al-Tayhan-salah seorang shahabat-maka pada saat dia melihat bahwa yang datang adalah Rasulullah r, dia segera mendatangi beliau dan memeluk Rasulullah r padahal rumahnya ada di Madinah. [42] Adapun mencium. Maka para ulama menyebutkan dibolehkannya mencium kepala, adapun mencium tangan maka sebagian ulama membenci hal tersebut, disebutkan dari syekhul Islam rahimhullah bahwa sebagian ulama menyebutnya sebagai sajdah sugro (sujud kecil). Adapun mencium kedua pipi dan mulut. Maka perbuatan tersebut dilarang dan tidak boleh, dan larangan ini menjadi kuat bahkan hukumnya menjadi haram jika dibarengi dengan meningkatnya syahwat. Yang disyari’atkan adalah mencium kepala. Dan sebagian mereka membolehkan mencium tangan orang-orang shaleh dan para ulama yang mulia jika seseorang melakukannya karena dorongan (keistiqomahannya) di dalam agama dan dimakruhkan mencium tangan selain mereka dan tidak diperbolehkan sama sekali mencium tangan seorang lelaki remaja yang tampan, dan disebutkan di dalam catatan pinggir fatawa Imam Nawawi rahimhullah Ta’ala: Apabila seseorang ingin mencium tangan orang lain karena kezuhudan, kesalehan, keilmuan, kemuliaan dan kedudukannya atau yang lainnya dari kemuliaan karena agama maka hal itu tidak dimakruhkan bahkan dianjurkan, sebab Abu Ubaidah telah mencium tangan Umar radhiallahu anhu, namun jika karena kekayaan, harta, kekuasaan dan wibawa terhadap orang yang ahli dunia dan yang seperti mereka maka perbuatan itu sangat dibenci. [43]
  • Tidak termasuk kebiasaan generasi salaf dari sejak Nabi r dan khulafair rasyidin membiasakan berdiri (saat menyambut Nabi r), sebagaimana yang diperbuat oleh sebagian besar orang, bahkan Anas bin Malik radhiallahu anhu mengatakan tentang para shahabat (bahwa tidak ada seorangpun yang lebih mereka cintai dari Nabi r, namun saat mereka melihat beliau, mereka tidak pernah beridiri untuk menyambutnya karena mereka mengetahui bahwa beliau membenci perbuatan tersebut) [44], akan tetapi terkadang mereka bangkit untuk menyambut orang yang baru datang untuk menemuinya, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi r bahwa beliau bangkit berdiri untuk menyambut Ikrimah, dan beliau juga memerintahkan kepada kaum Anshar saat Sa’ad bin Mu’adz ra kembali: “Berdirilah untuk menyambut pemimpin kalian”, yaitu setelah beliau kembali memberikan keputusan hukuman bagi Yahudi Bani Quraidhah. [45] Jika kebiasaan yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa menghormati orang yang baru datang dengan cara berdiri, dan seandainya ditinggalkan orang beranggapan bahwa hal tersebut berarti meninggalkan hak orang yang baru datang, sementara mereka belum mengetahui perbuatan yang sesuai dengan sunnah, maka yang lebih baik adalah berdiri menyambut orang yang baru datang tersebut sebab hal ini lebih baik dalam menjaga kedamaian antar sesama dan menghindarkan timbulnya permusuhan dan saling benci. Adapun orang mengetahui bahwa kebiasaan suatu masyarakat adalah berbuat sesuatu yang sesuai dengan sunnah, maka meniggalkan berdiri untuk menyambut orang yang baru datang tidak termasuk menyakiti orang yang baru datang tersebut.([46])[47] Dianjurkan bagi orang yang terhalang menjawab salam sudaranya untuk meminta maaf kepadanya dan menjelaskan alasannya. Diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu anhu bahwa Nabi r mengutusnya ke negeri Yaman, dia menceritakan: "Aku mendatangi Nabi r sambil mengucapkan salam kepadanya, namun beliau tidak menjawabku, akhirnya hatiku merasakan sesuatu yang Allah lebih tahu dengannya, aku berkata di dalam diriku: Jangan-jangan beliau marah karena keterlambatanku mendatanginya”, kemudian, aku kembali mengucapkan salam kepadanya, namun beliau tetap tidak menjawab salamku, maka aku merasa tidak enak di dalam hatiku lebih dari apa yang aku rasakan pada salam yang pertama, lalu aku kembali mengucapkan salam yang ketiga untuknya, kemudian beliau menjawab salamku, lalu bersabda: "Hanya sanya yang menghalangi aku menjawab salammu adalah karena aku sedang shalat”. Dan pada saat itu beliau sedang shalat di atas hewan tunggangannya dan tidak menghadap kiblat. [48] Mengucapkan salam dengan lisan dan isyarat secara bersamaan kepada orang yang bisu dan tuli. [49] Disyari’atkan untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur.
  • Imam Bukhari berkata dalam kitabnya: Al-Adabul Mufrod: Bab Jawabul Kitab, dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Saya berpendapat harus menjawab salam yang tertulis di dalam kitab sama seperti menjawab salam (yang terucap).” [50]



CATATAN KAKI
[1] HR. Bukhari no: 3326. Muslim no:2841.
[2] HR. Ibnu Hibban no: 856, dishahihkan oleh Albani.
[3] Al-Nawawi syarah shahih Muslim 2160.
[4] Abu Dzakaria Al-Nawawi mengatakan: Dianjurkan bagi orang yang mengucapkan salam untuk memulainya dengan
اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ yaitu menyebutkannya dengan menggunakan kata ganti plural sekalipun sesorang mengucapkan salam kepada satu orang saja. Dan orang yang menjawabnya mengatakan: وعَلََيْكُمْ اَلسَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ. Al-Adab Al-Syariyah 1/359.
[5] HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no: 986, Albani mengatakan: Shahih.
[6] Sunan Abu Dawud no: 5209, dan Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[7] Semua riwayat tentang mengulangi salam menyimpulkan bahwa mengulangi salam dilakukan pada kondisi tertentu, dan Imam Al-Nawawi mengatkan bahwa mengulangi salam dilakukan apabila jama'ah tempat mengucapkan salam tersebut berjumlah banyak (Riyadhus Shalihin hal. 291). Dan mengulangi ucapan salam untuk meliputi semua jama'ah. Dan Ibnu Hajar mengatakan rahimahullah mengatakan bahwa mengulangi salam dilakukan jika seseorang merasa ragu kalau-kalau orang yang diberikan salam kepadanya tidak mendengarkan ucapan salam tersebut. Fathul Bari hadits no: 6244, dan Zadul Ma'ad 2/418.
[8] HR. Bukhari no: 6244.
[9] HR. Bukhari no:12 dan Muslim no: 39.
[10] Al-Adabus Syar'iyah 1/396.
[11] HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod no: 986, dan Albani mengatakan: Shahih.
[12] HR. Bukhari no: 6232. Muslim no: 2160.
[13] HR. Bukahri no: 6231.
[14] Al-Adabus Syar'iyah 1/401.
[15] Al-Adabus Syar'iyah 1/401.
[16] HR. Abu Dawud no: 5231 dihasankan oleh Albani
[17] Al-Adabus Syar'iyah 1/352.
[18] HR. Bukahri no: 6247.
[19] HR. Muslim no: 2055.
[20] HR. Muslim no: 2167
[21] Kecuali jika ucapan selamat yang mereka lontarkan cukup jelas dan tidak membawa makna yang samar, maka dalam hal ini boleh bagi sesorang untuk menjawabnya, berdasarkan keumuman makna yang terkandung dalam firman Allah I:
وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا "Apabila kalian diberikan suatu penghormatan maka balasalah penghormatan tersebut dengan yang lebih baik darinya atau balaslah dengan hal yang sama".
[22] Jika ada yang bertanya: Bagaimana dengan sikap Nabi r yang mengawali salam kepada orang kafir dengan mengatakan:
سَلاَمٌ عَلىَ مَنِ اتَّبَعَ اْلهُدَى...؟ (keselamatan kepada orang yang mengikuti petunjuk). Para mufassirin menyebutkan bahwa ucapan tersebut bukan penghormatan tetapi maksudnya adalah orang yang masuk Islam akan selamat dari adzab Allah. Oleh karena itu disebutkan setelahnya bahwa azab akan menimpa orang yang mendustakan dan berpaling dari tuntunan Allah, maka jawabannya adalah bahwa beliau tidak mengawali orang kafir dengan mengucapkan salam secara sengaja, sekalipun lafaz hadits ini seakan mengisyaratkan makna tersebut. (Fathul Bari, Ibnu Hajar 1/38).
[23] Al-Adabus Syar'iyah 1/390, Al-Adzkar, An-Nawawi 367.
[24] Al-Adabus Syar'iyah 1/390, Al-Adzkar, Al-Nawawi: 367.
[25] Fathul Bari 11/16, adapun tentang hadits Asma' binti Yazid yang mengatakan: "Nabi saw mengulurkan tangannya kepada jama'ah perempuan saat menyampaikan salam". HR. Turmudzi no: 2697, Al-Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no: 1047, 1003, Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih, Imam Nawawi mengatakan bahwa kemungkinan bahwa Nabi saw mengumpulkan antara isyarat dengan ucapan salam, sebagimana yang disebutkan dalam riwayat Abi Dawud: فَسَلَّمَ عَلَيْهِ (dan mengucapkan salam kepadanya), Al-Adzkar hal. 356.
[26] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya pada jilid ke 22, menyebutkan bahwa Jika orang yang sedang shalat mengetahui cara menjawab salam dengan isyarat maka dibolehkan menyampaikan salam kepadanya, jika dia tidak mengetahuinya maka sebaiknya tidak mengucapkan salam kepadanya agar shalat mereka yang wajib tidak terputus dengan perbuatan yang sunnah, sebab bisa jadi orang tersebut menjawab salam secara lisan sehingga menimbulkan kekurangan bagi shalatnya.
[27] HR. Muslim no: 370.
[28] Al-Adabul Mufrod no: 1055 dan dihasankan oleh Al-bani.
[29] Zadul Ma'ad 2/413-414.
[30] Fatawa Lajnah Da'imah 8/243.
[31] Fatawa Lajnah Da'imah 8/246 Saudi Arabia.
[32] HR. Al-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dan Abu Na'im dalam kitab Al-Hulyah dihasankan oleh Al-Bani dalam Silsilatus Shahihah no: 816.
[33] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Al-Shahihah: 817.
[34] HR. Turmudzi nno: 2861, Al-Bukahri dalam kitab Al-Adabul Mufrod no: 1008 dan Albani mengatakan hadits Shahih.
[35] Al-Muhkamul Matiin Fi Ikhtisharul Qaulul Mubiin Fi Aktha’al Mushalliin, Mashur bin Hasan Ali Salman.
[36] Shahih Bukhari no: 5708.
[37] As-Silsilatus Shahihah no: 1189
[38] HR. Abu Dawud no: 5212
[39] HR. Abu Dawud no: 5212 dan Albani mengatakan bahawa hadits ini shahih. [40] HR. Turmudzi no:2728, dan dikeluarkan oleh Alabni dalam kitabnya Sililatus Shahihah no:160 1/288.
[41] HR. Turmudzi no: 2490, dishahihkan oleh Albani dengan berbagai jalan dalam kitab Al-Sisilatus Shahihah no: 2485, (5/635)
[42] Al-Turmudzi no: 2292.
[43] Albani rahimhullah menegaskan dalam kitab Al-Silsilatus Shahihah 1/251 bahwa mencium tangan orang yang alim dibolehkan dengan tiga syarat: 1. Tidak dijadikan sebagai kebiasaan, di mana orang yang alim tersebut secara sengaja mengulurkan tangannya kepada para murid-muridnya. 2. Hal tersebut tidak menjadikan orang yang alim tersebut sombong terhadap orang lain. 3. Perbuatan tersebut tidak menyebabkan hilangnya sunnah berjabatan tangan. Disebutkan dalam fatwa syekh Ibnu Humaed rahimhullah: “Tidak baik bagi seorang lelaki mencium mulut ibunya dan tidak pula mulut anaknya,, begitu juga kakak laki-laki tidak diperbolehkan mencium mulut adik perempuannya, dan bibi dari bapak, bibi dari ibu serta salah seorang mahromnya, mencium mulut khusus bagi seorang suami.
[44] HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no: 946, dan terdapat sedikit perbedaan lafaz, Albani berkata: Shahih.
[45]HR. Bukhari no: 6262.
[46] Majmu’ fatawa 1/374-375
[47] Ibnu Hajar rahimhullah berkata: secara umum, jika berdiri untuk menyambut seseorang dianggap sebagai penghinaan dan bisa menimbulkan kerusakan maka hal itu tidak boleh dilakukan, dan makna inilah yang ditegaskan oleh Ibnu Abdis Salam (Fathul Bari 11/56). Ahlul Ilmi menjelaskan bahwa berdiri tersebut dibagi menjadi tiga macam: 1/Berdiri untuk mendatangi seseorang, maka hal ini tidak mengapa, sebab Nabi r saat kedatangan Sa’d bin Mu’adz t setelah memberikan hukuman kepada Yahudi dari Bani Quraidhah, Rasulullah r bersabda: (Berdirlah menuju pemimpin kalian) HR. Bukhari no: 4121, Muslim no: 1768. 2/Berdiri untuk menyambut kedatangan seseorang, hal ini juga tidak mengapa, apalagi jika masyarakat menjadikannya sebagai kebiasaan, dan orang yang datang menganggap bahwa tidak berdiri untuk mneyambutnya adalah penghinaan, sekalipun yang lebih utama adalah meninggalkan perbuatan tersebut seperti yang dijelaskan di dalam sunnah, namun apabila masyarakat terbiasa dengan perbuatan seperti itu maka hal tersebut tidak mengapa dilakukan. 3/Berdiri untuk menghormati seseorang. Seperti seseorang duduk lalu salah seorang sebagai ketua berdiri untuk mengagungkannya, maka perbautan seperti ini terlarang. Rasulullah r be
rsabda: لاَ تَقُوْمُوْا كَمَا تَقُوْمُوْا اْلأَعَاجِمُ يُعَظِّمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا Janganlah kalian berdiri sebagaimana orang-orang ajam berdiri (dalam mengormati) sebagian mereka atas sebagian lannya” HR. Abu Dawud no: 5230, dan dilemahkan oleh syekh Albani rhimhullah dalam kitab Silsilatud Dhaifah no: 346. Syarhu Riadhus Sholihin, Ibnu Utsaimin 1/260. Adapun berdiri untuk kebaikan dan kemaslahatan, seperti berdirinya Ma’qil bin Yasar untuk mengangkat ranting sebuah pohon dari Rasulullah r saat berbai’at sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, dan berdirinya Abu Bakr t untuk melindunginya dari terik matahari, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq maka perbuatan ini adalah mustahab.
[48] Al-Adabus Syar’iyah 1/400.
[49] Al-Aadbus Syar’iyah: 1/402.
[50] Al-Adabul Mufrod no: 1117 dengan sanad yang hasan.

Etika Berpakaian



Orang Muslim meyakini bahwa berpakaian itu diperintahkan Allah Ta'ala dalam firman-firman-Nya, seperti dalam firman-firman-Nya berikut ini: 
“Hai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-Araaf: 31).
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” (Al-A’raaf: 26).
 “Dan Dia jadikan bagi kalian pakaian yang memelihara kalian dari panas, dan pakaian (baju besi) yang memelihara kalian dalam perangan.” (An-Nahl: 81).
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kalian guna memelihara dalam peperangan kalian, maka hendaklah kalian bersyukur.” (Al-Anbiya’: 80).
Rasulullah saw. memerintahkan berpakaian dalam sabdanya, “Makanlah kalian, minumlah kalian, berpakaianlah kalian, dan bersedekahlah kalian tanpa kikir dan tanpa sombong.” (Diriwayatkan Al Bukhari)
Selain itu, Rasulullah saw. menjelaskan apa saja yang boleh dijadikan pakaian, apa yang tidak boleh dijadikan pakaian, apa yang disunnahkan untuk dipakai, dan apa yang dimakruhkan untuk dipakai. Oleh karena itu, orang Muslim konsekwen dengan etika-etika berikut dalam berpakaian:
Ia tidak memakai pakaian dari bahan sutra secara mutlak untuk pakaian, sorban, dan lain sebagainya. karena dalil-dalil berikut:
Sabda Rasulullah saw., “Kalian jangan mengenakan sutra, karena sesungguhnya barang siapa mengenakannya di dunia, ia tidak mengenakannya di akhirat.” (Muttafaq Alaih).
Rasulullah saw. mengambil sutra kemudian meletakkannya di tangan kanannya, dan mengambil emas kemudian meletakkannya di tangan kirinya kemudian bersabda, “Sesungguhnya dua barang ini haram bagi laki-laki dari umatku.” (Diriwayatkan Abu Daud dengan sanad yang baik).
Sabda Rasulullah saw., “Diharamkan penggunaan sutra dan emas bagi laki-laki dari umatku, dan dihalalkan bagi wanita-wanita mereka.”
Ia tidak memperpanjang pakaian atau celananya, atau burnus (sejenis mantel yang bertudung kepala), atau gamisnya hingga mencapai telapak kaki, karena sabda-sabda Rasulullah saw. berikut:
“Kain yang ada di bawah telapak kaki adalah di neraka.”
“Memanjangkan hingga di bawah kedua tumit pada kain, gamis, dan sorban. Barangsiapa menyeret salah satu daripadanya dengan sombong, maka Allah tidak melihat kepadanya pada hari kiamat.” (Diriwayatkan An-Nasai).
“Allah tidak melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong.” (Muttafaq Alaih).
Ia lebih mengutamakan pakaian yang berwarna putih daripada warna-warna lainnya, dan berpendapat bahwa penggunaan semua warna adalah diperbolehkan, karena dalil-dalil berikut:
Sabda Rasulullah saw., “Kenakanlah pakaian berwarna putih, karena warna putih adalah paling suci, dan paling baik, serta kafanilah mayit kalian dengan kain berwarna putih.” (Diriwayatkan An-Nasai dan Al-Hakim yang meng-shahih-kannya).
Al-Barra’ bin Azib ra berkata, “Rasulullah saw. sedang perawakannya. Aku pernah melihat beliau mengenakan pakaian berwarna merah dan aku tidak pernah melihat orang lain yang lebih tampan daripada beliau.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Diriwayatkan dengan shahih, bahwa Rasulullah saw. juga mengenakan pakaian yang berwama hijau, dan menggunakan sorban berwarna hitam.
Wanita Muslimah wajib memanjangkan pakaiannya hingga menutupi kedua kakinya, dan memanjangkan kerudung di kepalanya hingga menutupi leher dan dadanya, karena dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta ‘ala, “Hai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang Mukminin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’.” (Al-Ahzab: 59).
“Katakanlah kepada wanita-wanita beriman, ‘Hendaklah menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung’.” (An-Nuur: 31).
Aisyah ra berkata, “Semoga Allah merahmati wanita-wanita kaum Muhajirin pertama. Ketika Allah menurunkan ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya”, maka mereka merobek pakaian tanpa jahitan mereka, kemudian mereka menggunakannya sebagai kerudung.” (Diriwayatkan Al Bukhari).
Ummu Salamah ra berkata, “Ketika ayat ini turun, ‘Hai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang Mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’, maka wanita-wanita Anshar keluar dan di kepala mereka seperti ada burung-burung gagak dari kain.”
Kaum laki-laki tidak menggunakan cincin emas, karena dalil-dalil berikut:
Sabda Rasulullah saw. tentang emas, dan sutra, “Sesungguhnya dua barang ini haram bagi orang laki-laki dari umatku.” (Diriwayatkan Abu Daud).
Sabda Rasulullah saw., “Diharamkan pakaian sutra dan emas bagi orang laki-laki dari umatku, dan dihalalkan bagi wanita-wanita mereka.”
Sabda Rasulullah saw. ketika melihat cincin emas di tangan seseorang kemudian beliau mencabutnya, dan membuangnya, “Salah seorang dari kalian pergi ke bara neraka, kemudian meletakkannya di tangannya.” Setelah Rasulullah SAW. pergi, maka dikatakan kepada orang tersebut, “Ambillah cincinmu, dan manfaatkan.” Orang tersebut berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan mengambilnya selama-lamanya, karena cincin tersebut telah dicampakkan Rasulullah saw.” (Diriwayatkan Muslim).
Seorang Muslim diperbolehkan mengenakan cincin dari perak, atau mencetak namanya di cincin peraknya, kemudian menggunakannya sebagai cap surat-suratnya, atau buku-bukunya, dan menandatangani cek, dan lain sebagainya, karena dalil-dalil berikut:
Karena Rasulullah saw. mengenakan cincin dari perak, di dalamnya terdapat tulisan Muhammad Rasulullah, dan beliau mengenakan cincin tersebut di jari kelingking tangan kirinya.
Anas bin Malik ra berkata, “Cincin Rasulullah saw. terletak di sini (sambil memberi isyarat ke jari kelingking tangan kirinya).” (Diriwayatkan Muslim).
Seorang Muslim tidak dibenarkan menutupkan kain ke seluruh tubuhnya, dan tidak menyisakan tempat keluar untuk kedua tangannya karena Rasulullah saw. melarang hal ini dan tidak boleh berjalan dengan satu sandal karena Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian berjalan dengan satu sandal, namun hendaknya ia melepas kedua-duanya, atau menggunakan kedua-duanya.” (Diriwayatkan Muslim).
Laki-laki Muslim tidak boleh mengenakan busana Muslimah begitu juga sebaliknya, karena Rasulullah saw. mengharamkannya dalam sabda-sabdanya berikut:
 “Allah melaknat orang laki-laki yang mengenakan busana wanita, dan wanita-wanita yang menyerupai laki-laki.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
“Allah melaknat laki-laki yang mengenakan busana wanita, dan Wanita yang mengenakan busana laki-laki. Allah juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita-wanita, dan wanita-wanita yang menyerupai.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Jika mengenakan sandal maka ia memulai dengan kaki kanan, dan jika melepasnya maka memulainya dengan kaki kiri, karena Rasulullah saw. bersabda, “Jika salah seorang dari kalian mengenakan sandal, hendaklah ia memulai dengan kaki kanan, dan jika ia melepasnya, hendaklah ia memulai dengan kaki kiri, agar kaki kanan yang pertama kali dikenakan sandal, dan yang pertama kali dilepas.” (Diriwayatkan Muslim).
10. Jika ia berpakaian, ia memulainya dengan tangan kanan, karena Aisyah ra berkata, “Rasulullah saw. suka memulai dengan tangan kanan dalam segala hal, dalam mengenakan kedua sandalnya, dalam bersisir, dan dalam bersuci.” (Diriwayatkan Muslim).
11. Jika seorang Muslim mengenakan pakaian baru, atau sesuatu yang baru, ia berdoa, “Ya Allah, pujian untuk-Mu, Engkau telah memberi pakaian kepadaku. Aku meminta kebaikan pakaian ini kepada-Mu, dan kebaikan apa yang diciptakan untuknya. Dan aku berlindung diri kepada-Mu dari keburukannya, dan keburukan apa yang diciptakan untuknya.”
12. Jika orang Muslim melihat saudara seagamanya mengenakan baju Muslim, ia mendoakannya dengan berkata, “Usanglah, dan lusuhlah,” karena Rasulullah saw. berdoa dengan doa tersebut untuk Ummu Khalid yang mengenakan busana baru. (Diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi yang meng-hasan-kannya).
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 203-208.

Jumat, 29 Maret 2013

Prinsip Kesembilan


Termasuk dari prinsip ‘aqidah salafush shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah :
mencintai para Sahabat Rasulullah saw, menjaga kesucian hati dan lisannya terhadap mereka. Karena mereka itulah manusia yang paling sempurna keimanan dan kebaikannya serta paling besar ketaatan dan jihadnya. Allah telah memilih mereka untuk menjadi sahabat Nabi-Nya saw. Merekapun mendapatkan suatu keistimewaan yang tidak bisa didapatkan oleh siapapun setelah generasi mereka walaupun setinggi apapun derajatnya; yaitu kemuliaan karena melihat Nabi saw dan bergaul dengannya.
Para sahabat yang mulia itu semuanya adalah ‘uduul (jujur dan adil) berdasarkan kesaksian Allah dan RasulNya. Mereka juga sebagai ummat yang paling baik setelah Nabi-Nya saw. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang berdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah mendediakan bagi mereka Surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal didalamnya merek a selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah :100)
Kesaksian Allah dan Rasul Nya bagi mereka (para sahabat) atas keimanan dan keutamaan merupakan prinsip yang pasti, yang tentu saja sudah diketahui dalam agama Islam. Mencintai mereka merupakan bagian dari agama dan iman, sendang membencinya merupakan kekufuran dan kemunafikan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan, karena Rasulullah mencintai mereka dan berwasiat agar ummatnya mencitai mereka. Beliau bersabda, “Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai para Sahabatku, janganlah kamu jadikan mereka sebagai sasaran lemparan (cercaan) setelahku. Barangsiapa mencnitai mereka, maka dia pun mencintai kecintaaku atas kecintaanya kepada mereka. Dan barangsiapa membenci mereka, maka diapun membenciku atas kebenciannya terhadap mereka. Barangsiapa yang menyakiti mereka maka dia telah menyakitiku. Dan barang siapa menyakitiku berarti dia telah menyakiti Allah. Dan barangsiapa yang menyakiti Allah maka sungguh dekat siksa-Nya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, oleh Imam al-Albani) (Abdullah bi Mas’ud ra berkata : “Mencintai Abu Bakar dan Umar serta mengetahui keutamaanya adalah bagian dari as-Sunnah.” (Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlus Sunnah no.2319). Imam Malik ra berkata “Dahulu para salafush Shalih mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai Abu Bakar dan Umar, seperti mereka mengajarkan salah satu surat dalam Al-Qur’an.” Di keluarkan oleh al-Lailika-i dalam kitab Syarah Ushuul I’tiaad Ahlis Sunnah, (no.225)
Setiap orang yang melihat Rasulullah saw dan beriman kepadanya serta wafat dalam keadaan beriman, maka ia termasuk sahabat walaupun pertemuannya hanya setahun, sebulan, sehari ataupun hanya sesaat,
Tidak akan masuk neraka seorang pun dari para sahabat yang membai’at (sumpah setia kepada Rasulullah) di bawah pohon (Baiatur Ridhwan), bahkan Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, jumlah mereka lebih dari 1400 (seribu empat ratus) orang.
Nabi saw bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorangpun yang memba’iat (Rasulullah) dibawah pohon (Ba’iatur Ridhwan).” (HR. Al-Bukhari).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah : Menahan diri dari perselisihan yang terjadi diantara mereka dan menyerahkan urusan mereka kepada Allah. Barangsiapa yang benar dari mereka maka baginya dua pahala. Dan barngsiapa yang salah dari mereka maka baginya satu pula pahala. Sedang kesahalannya akan diampuni Insya Allah.
Ahlus sunnah tidak mencaci salah seorangpuyn dari mereka, bahkan menyebutnya dengan ungkapan yang layak bagi mereka berupa pujian yang bagus. Berdasarkan Nabi saw., “Janganlah kalian mencaci para Sahabatku, janganlah kalian mencaci para Sahabatku! Demi Allah yang jiwaku ditanganNya, seandainya salah seorang diantara kamu menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan mencapai satu Mudpun (dari yang merka infaqkan), tidak sampai pula setengahnya.” (HR. Muslim).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpandangan bahwa para sahabat adalah ma’sum (terjaga) dari kesalahan secara kolektif, adapun secara individual tidak ma’sum. Menurut ahlus sunnah kema’suman datangnya dari Allah bagi orang yang telah dipilih dari kalangan Rasul-Nya untuk menyampaikan risalahNya. Dan Allah Ta’ala menjaga seluruh ummat ini secara kolektif dari kesalahan, bukan secara individual.
Nabi saw besabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan ummatku ini di atas kesesatan. Dan tangan Allah diatas jama’ah.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi oleh Imam al-Albani)”
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpandangan bahwa empat sahabat: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ra adalah umat yang paling baik setelah Nabinya saw, merekalah yang disebut “Khulafaur Rasyidin” secara berurutan yang telah mendapat hidayah. Mereka juga termasuk Mubasysyarin bil Jannah (orang-orang yang medapatkan kabar gembira masuk surga). Pada masa mereka adalah khilafah nubuwwah selama tiga puluh tahun termasuk khilafah al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra, berdasarkan sabda Nabi saw, “Masa khalifah pada umatku selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu menjadi suatu kerajaan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) (HR. Abu Dawud no. 4647, at Tirmidzi no.226, Ahmad (V/220, 221), al-Hakim (III/71) dan Ibnu Abi Ashim no. 1181 dari Safinah. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, lihat takhrij selengkapnya di Silsilatul Ahadiitsish Shahiihah oleh Syaikh al-Albani Jilid I bagian II, hal. 820-827 no.459.).
Ahlus Sunnah memuliakan enam orang lainnya dari sepuluh orang yang telah mendapatkan kabar gembira (masuk surga), di mana Rasulullah saw telah menyebutkannya, yaitu : Thalhah bin Ubaidillah, az Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Abdurrahman bin Auf dan Abu Ubaidah bin Jarrah (dengan julukan) “Amiin Hadzibil Ummah” (orang yang paling dipercayai pada ummat ini). (Lihat riwayat at-Tirmidzi no. 747, dan Ahmad (I/193) dari Sahabat Abdurrahman bin Auf, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud no.4649, Ibnu Majah no.133, Ibnu Abi Ashim dalam Kitabus Sunnah no.1430, 1433 dan Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ish Shaghir no.50 dan dimuat juga dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahiihah, Jilid II hal.531). Kemudian Ahlus Sunnah memuliakan para sahabat yang mengikuti peperangan Badar, kemudian Sahabat yang membaiat pada “Bai’atur Ridhwan” kemduian Sahabat yang lain. Barang siapa mencintai mereka, mendo’akan kebaikan
Baginya, memperhatikan hak-haknya dan mengetahui keutamaannya, maka dia tergolong orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa membenci dan mencaci mereka, maka dia tergolong orang-orang yang binasa.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah : mencintai Ahlul Bait Nabi saw berdasarkan sabda Nabi saw, “Sesungguhnya aku mengingatkan kalian kepada Allah atas ahli Bait-ku (keluargaku), sesungguhnya aku mengingatkan kepada Allah atas ahli Bait-ku (keluargaku).” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.2408 (36), dari Sahabat Zaid bin Arqam ra. Lanjutan riwayat tersebut adalah : Husain bertanya kepada Zaid bin Arqam : “Hai Zaid, sebenarnya siapakah ahlul Baitnya?” Zaid bin Arqam berkata : “Isteri-isteri beliau ra adalah ahlul Baitnya. Tetapi ahlul Bait yang dimaksud adalah orang yang diharamkan menerima shadaqah sepeninggal beliau ra.” Husain bertanya : “Siapakah mereka itu?” Zaid bin Arqam menjawab : “Mereka adalah keluarga ‘Ali, keturunan ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abas.” Husain bertanya : “Apakah mereka semua diharamkan menerima shadaqah?” Jawab Zaid: “Ya.”
Dan sabdanya pula, “Sesungguhnya Allah memilih anak keturunan Ismail, dan memilih dari anak keturunan Ismail Bani Kinanah dan memilih dari Bani Kinanah suku Quraisy, dan memilih dari suku Quraiasy Bani Hasyim lalu memilihku dari Bani Hasyim.” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.2276 dari Watsilah bin al-Asqa’)
Di antara ahli Bait (keluarga) beliau adalah isteri-isteri beliau ra dan mereka dinamakan pula : “Ummahatul Mukminin” (Ibu-ibu kaum Mukminin) berdasarkan nash al-Qur’an, seperti yang difirmankan Allah Ta’ala, “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahlu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Di antara mereka : Khadijah binti Khiwailid, ‘Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar bin al-Khaththab, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, Ummu Salamah binti Abu Umayyah bin Mughirah, Saudah binti Zam’ah bin Qais, Zainab binti Jahsy, Maimun binti al-Harits, Juwairiyah binti al-Harits bin Abu Dhirar dan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtahab.
Ahlus Sunnah beri’tiqad bahwa mereka adalah isteri-isteri yang suci lagi bebas dari segala kejahatan dan mereka sebagai isteri-isteri suci di dunia dan akhirat radhiyallahu anhumma ajmaiin.
Mereka juga berpandangan bahwa isteri yang paling baik lagi utama adalah Khadijah binti Khiwailid dan ‘Aisyah as Shiddiqah binti as-Shidiq. Dimana Allah telah membebaskannya (dari tuduhan perbuatan keji) dalam Kitab-Nya yang mulia. Barang siapa menuduhnya setelah Allah membebaskannya dari tuduhan itu, maka benar-benar ia telah kafir, Rasulullah saw bersabda, “Keutamaan ‘Aisyah atas perempuan lainnya bagaikan keutamaan Sarid (roti kuah yang ada dagingnya) daripada makanan lainnya”. (HR. Al-Bukhari). (HR. Al-Bukhari no.3770, 5419, 5428, Muslim no. 2446, at-Tirmidzi no.3887, Ibnu Majah no.3281 dan Ahmad (III/156) dari Sahabat Anas bin Malik. Lihat takhrij selengkapnya di Silsilatul Ahaadiitsish Shahiihah no.3535.
Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm.189 -196.Hlm. 197 – 204.

Wasiat dan Pernyataan Para Imam Ahlus Sunnah Tentang Berittiba

1. Muadz bin Jabal ra berkata, “Wahai manusia, raihlah ilmu sebelum ilmu tersebut diangkat! Ingatlah bahwa diangkatnya ilmu itu dengan wafatnya ahli ilmu. Hati-hatilah kamu terhadap bid’ah tanaththu’ (melampaui batas). Berpegang teguhlah pada urusan kamu yang terdahulu (berpegang teguhlah pada al-Qur’an dan as-Sunnah).” (Al-Bida’wan Nahyu ‘Anha oleh Ibnu Wadhdhah no.65)

2. Hudzaifah bin al-Yaman ra berkata, “Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Sahabat Rasulullah saw sebagai ibadah, maka janganlah kamu lakukan! Karena generasi pertama itu tidak memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya untuk berpendapat (dalam masalah agama). Bertakwalah kepada Allah wahai para qurra’ (ahlul qira’ah) dan ambillah jalan orang-orang sebelum kami!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah)
3. Abdullah bin Mas’ud ra berkata, “Barangsiapa mengikuti jejak (seseorang) maka ikutilah jejak orang-orang yang telah wafat, mereka adalah para Sahabat Muhammad saw. Mereka adalah sebaik-baik ummat ini, paling baik hatinya, paling dalam ilmunya dan paling sedikit berpura-pura. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya saw dan menyebarkan agamanya, maka berusahalah untuk meniru akhlak dan cara mereka. Karena mereka telah berjalan diatas petunjuk yang lurus. (Dikeluarkan oleh al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah (I/214) dan Ibnu ‘Abdil Baar dalam kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/947 no.1810), tahqiq Abul Asybal Samir az-Zuhairi.)
Dan juga beliau saw, berkata, “Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh bagi kalian telah cukup, berpegang teguhlah pada urusan yang terdahulu (maksudnya al-Qur’an dan as-Sunnah)” (Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/69), al-Lalika –I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/96 no.104), at-Thabrani fil Kabir no.8770, dan Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah no.175).
4. ‘Abdullah bin ‘Umar ra berkata, “Senantiasa manusia berada diatas jalan (yang lurus) selama mereka mengikuti atsar” (Dikeluarkan oleh Imam al-Lalika-I dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.101.
Dan beliau juga berkata, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia mengaggapnya baik” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra (I/180) no.191, Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah no.205 dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah).
5. Sahabat yang mulia Abu Darda’ ra berkata, “Kamu tidak akan tersesat selama kamu mengikuti atsar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.232.
6. Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Seandainya agama itu (berdasarkan) pemikiran, maka pasti bagian bawah sepatu khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Akan tetapi saya melihat Rasulullah saw mengusap bagian atasnya.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab al-Mushannaf dan dengan lafazh yang hampir sama dikeluarkan oleh Abu Dawud no.162, ad-Daraquthni
7. Abdullah bin Amr bin Ash ra berkata, “Tidak ada suatu bid’ah yang dilakukan melainkan bid’ah tersebut semakin bertambah banyak. Dan tidak ada suatu sunnah yang dicabut melainkan sunnah tersebut bertambah jauh.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.227 dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.128.)
8. Dari Abis bin Rabi’ah berkata : “Saya melihat Umar bin al-Khaththab ra mencium Hajar Aswad seraya berkata :“Sesungguhnya saya mengetahui bahwa kamu adalah sebuah batu yang tidak dapat memberi mudharat maupun manfaat. Senadainya saya tidak melihat Rasulullah saw meniummu pasti saya tidak menciummu.” (HR. al-Bukhari no.1597 dan Muslim no.1270 (248) dari Sahabat Umar bin al-Khaththab.)
9. Khalifah yang adil ‘Umar bin Abdul Aziz ra berkata, “Berhentilah kamu di mana para Sahabat berhenti (dalam memahami nash), karena mereka berhenti berdasarkan ilmu dan dengan penglihatan yang tajam mereka menahan (diri). Mereka lebih mampu untuk menyingkapnya dan lebih patut dengan keutamaan. Seandainya hal tersebut ada di dalamnya. Jika kamu katakan, ‘Terjadi (suatu bid’ah) setelah mereka. Maka tidak diada-adakan kecuali oleh orang yang menyelisihi petunjuknya dan membeci sunnah. Sungguh mereka telah menyebutkan dalam petunjuk itu apa yang melegakan (dada) dan mereka sudah membicarakannya dengan cukup. Maka apa yang diatas mereka, adalah orang yang melelahkan diri. Dan apa yang dibawahnya, adalah orang meremehkan. Sungguh ada suatu kaum yang meremehkan mereka, lalu mereka menjadi kasar. Dan ada pula yang melebihi batas mereka, maka mereka menjadi berlebih-lebihan. Sungguh para sahabat itu, diantara kedua jalan itu (sikap meremehkan dan berlebih-lebihan), tentu diatas petunjuk yang lurus.” (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Lum’atul I’tiqadil Hadi Ila Sabilir Rasyad yang disyarah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal.41 cet.Maktabah Adhwa-us Salaf, th. 1415 H.
10. Imam al-Auza’i ra berkata, “Hendaklah engakau berpegang dengan atsar orang pendahulu (Salaf) meskipun orang-orang menolakmu dan jauhkanlah dirimu dari pendapat para tokoh meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataan yang mudah, sesungguhnya hal itu akan jelas sedang kamu berada diatas jalan yang lurus. (Dikeluarkan oleh al-Khatib dalam kitab Sarah Ashhabul Hadits. (Imam al-Ajurry dalam as-Syari’ah (I/445) no.127 dishahihkan oleh al-Albani dalam Mukhtashar al-Uluw lil mam adz-Dzahabi hal.138, Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/120) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/1071) no.2077)
11. Ayub as-Sakhtiyani ra berkata, “Tidaklah Ahlul Bid’ah itu bertambah sungguh-sungguh (dalam bid’ahnya), melainkan semakin bertambah pula kejauhannya dari Allah” (Dikeluarkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam al-Bida’wan Nahyu Anha no.70
12. Hasan bin Athiyyah ra berkata, “Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agamanya melainkan tercabut dari sunnah mereka seperti itu pula. (dikeluarkan oleh al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.129.)
13. Muhammad bin Sirin ra berkata, “Orang salaf pernah mengatakan : “Selama seseorang berada diatas atsar, maka pastilah dia diatas jalan (yang lurus). (Dikeluarkan oleh al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiwaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.109 dan Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.241.
14. Sufyan ats-Tsauri ra berkata : “Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan dan pelaku kemaksiatan masih mungkin dia untuk bertaubat dari kemaksiatannya sedangkan pelaku bid’ah sulit untuk bertaubat dari bid’ahnya”. (Dikeluarkan oleh al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.238)
15. Abdullah bin al Mubarak ra berkata, “Hendaknya kamu bersandar pada atsar dan ambillah pendapat yang dapat menjelaskan hadits untukmu.” (Dikeluarkan oleh al-Bahawi dalam kitab sunan al-Kubra)
16. Imam asy-Syafi’i ra berkata, “Semua masalah yang telah saya katakan tetapi bertentangan dengan sunnah, maka saya rujuk saat hidupku dan setelah wafatku.” (Dikeluarkan oleh al Khatib dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih dan tercantum juga dalam Manaaqib asy Syafi’i, (I/473) dan Tawali at-Tas’sis hal.93).
Rabi’ bin Sulaiman berkata : “Imam asy-Syafi’I pada suatu hari meriwayatkan hadits, lalu seseorang berkata kepada beliau : ‘Apakah kamu mengambil hadits ini wahai Abu ‘Abdillah?’ Beliau menjawab : “Bilamana saya meriwayatkan suatu hadits yang shahih dari Rasulullah saw lalu saya tidak mengambilnya, maka saya bersaksi di hadapan kalian bahwa akalku telah hilang” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah dan tercantum juga dalam Adab asy-Syafi’I hal. 67, al-Manaaqib asy-Syafi’i, (I/474) dan Hilyah al-Auliya (IX/106).
17. Dari Nuh al Jaami’ berkata : Saya bertanya kepada Abu Hanifah ra : Apakah yang Anda katakan terhadap perkataan yang dibuat-buat oleh orang-orang, seperti A’radh dan Ajsam” beliau menjawab “Itu adalah perkataan orang-orang ahli filsafat. Berpegang teguhlah pada atsar dan jalan orang salaf. Dan waspadalah terhadap segala sesuatu yang diada-adakan, karena hal tersebut adalah bid’ah” (Dikeluarkan oleh al Khatib dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih. Lihat manhaj Imam asy-Syafi’I fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/75) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Aqill.)
18. Imam Malik bin Anas ra berkata, “Sunnah itu bagaikan bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa mengendarainya niscaya dia selamat. Dan barangsiapa terlambat dari bahtera tersebut pasti dia tenggelam.”
Dan beliau juga berkata, “Seandainya ilmu kalam itu merupakan ilmu, niscaya para sahabat dan Tabi’in berbicara tentang hal itu sebagaimana mereka bicara tentang hukum dan syari’at, akan tetapi ilmu kalam itu bathil yang menujukkan kepada kebathilan.
Dari Ibnu Majisyuun, dia berkata : “Saya mendengar Malik berkata: “Barangsiapa berbuat suatu bid’ah dalam Islam lalu ia menganggapnya sebagai suatu ebaikan, berarti ia telah menyangka bahwa Muhammad saw telah berkhianat terhadap risalah. Karena llah telah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu…” Maka apa-apa yang saat itu tidak merupakan agama, maka pada saat ini juga tidak merupakan agama”
19. Imam Ahmad bin Hanbal ra, Imam Ahlus Sunnah berkata :Pokok Sunnah menurut kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah : Berpegang teguh pada apa yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah saw dan mengikuti mereka serta meninggalkan bid’ah. Segala bid’ah itu adalah sesat.
20. Dari al-Hasan al-Bashri ra berkata : “Seandainya seseorang mendapatkan generasi Salaf yang pertama kemudian dia yang dibangkitkan (dari kuburnya) pada hari ini, dimana orang tersebut tidak mengenal tentang Islam dan beliau shalat saja “Kemudian berkata “Demi Allah, tidaklah yang demikian itu merupakan suatu bentuk keterasingan bagi setiap orang yang hidup dan dia tidak mengetahui tentang generasi Salafush Shalih, Lalu ia melihat orang ahlul bid’ah mengajak kepada bid’ahnya dan melihar orang ahli dunia menyeru kepada dunianya. Lalu orang (yang dalam keterasingan itu) dipelihara oleh Allah dari firnah tersebut. Allah jadikan hatinya rindu kepada Salaush Shalih itu, ia bertanya tentang halan mereka, menapaki jekak mereka, dan mengkuti jalan mereka, maka pasti Allah akan memberikan kepdanya pahala yang besar. Oleh karena itu, jadilah kalian seperti itu inya Allah.
21. Alangkah indahnya ungkapan orang seorang laim yang mengamalkan ilmunya yaitu al Fudhail bin ‘Iyadh ra berkata : “Ikutilah jalan-jalan kebenaran itu,, dan jangan hiraukan walaupun sedikit orang yang mengikutinya ! jauhkanlah dirimu dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah terpesona dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebinasaan!”
22. Abdullah bin Umar ra berkata kepada seorang yang bertanya kepada beliau tentang suatu perkara, lalu orang tersebut berkata : “sesungguhnya ayahmu telah melarangnya. Lalu Abdullah menjawab :“Apakah perintah Rasulullah saw yang lebih berhak untuk diikuti ataukah perintah ayahku?”
Abdullah bin Umar ra Sahabat yang laing keras dalam menentang segala macam bid’ah dan beliau sangat senang dalam mengikuti as-Sunnah. Pada suatu saat beliau mendengar seseorang bersin dan berkata: “Alhamdulillah washaltu wasalmu ala Rasulillah”. Lalu bacalah shalawat Abdullah bin Umar :“Bukan demikian rasulullah saw mengajari kita, akan tetapi beliau bersabda: Jika salah satu diantara kamu bersin, maka pujilah Allah (dengan mengucapkan) : alhamdulillah, dan beliau tidak mengatakan : Lalu bacalah shalwat kepada Rasulullah!”
23. Abdullah bin Abbas ra berkata kepada orang yang menentang sunnah dengan ucapan Abu Bakar dan Umar ra., “Nyaris turun hujan batu dari langit atas kamu; saya berkata kepadamu: Rasulullah saw bersabda sedang kamu berkata (tapi) Abu Bakar dan Umar berkata.
Sungguh benar Abdullah bin Abbas saw dalam mensifati Ahlus Sunnah dimana beliau mengatakan : “Melihat kepada seorang dari Ahlus Sunnah, itu dapat mendorong kepada as-Sunnah dan mencegah dari bid’ah”.
24. Sufyan ats-Tsauri ra berkata : “Jika sampai kepadamu kabar tentang seseorang dibelahan tirumu bumi bahwa dia Ahlus Sunnah, maka kirimkanlah salam kepadanya; karena Ahlus Sunnah itu sedikit jumlahnya.”
25. Ayub as-Sakhtiyani ra berkata, “Sesungguhnya jika saya dikabari tentang kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan aku merasa kehilangan sebagian organ tubuhku.”
26. Ja’far bin Muhammad berkata : “Saya pernah mendengar Qutaibah ra berkata : ‘Jika kamu melihat orang yang mencintai Ahlus Hadits seperti : Yahya bin Said, Abdurrahman bin Madi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih …. Dan lain-lain, maka dialah Ahlus Sunnah. Dan barang siapa menyelisihi mereka, maka ketahuilah sesungguhnya dia adalah mubtadi’ (Ahlul bid’ah).
27. Ibrahim an Nakha’i ra berkata : “Seandainya para sahabat Muhammad saw mengusap kuku, pasti saya tidak membasuhnya; untuk mencari keutamaan dalam mengikuti mereka”.
28. Abdullah bin Mubarak ra berkata : “Ketahuilah wahai saudaraku bahwa kematian seorang Muslim untuk bertemu Allah diatas sunnah pada hari ini merupakan suatu kehormatan, lalu (kita ucapkan) ; Innaa illahi Wainnaa Ilaihi Rajiun’ (sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya), maka kepada Allah-lah kita mengadu atas kesepian diri kita, kepergian saudara, sedikitnya penolong dan munculnya bid’ah. Dan kepada Allah pulalah kita mengadu atas beratnya cobaan yang menimpa pada ummat ini berupa kepergian para ulama dan Ahlus Sunnah serta munculnya bid’ah.”
29. Al-Fudhail bin ‘Iyad ra berkata : “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang dengan mereka Dia menghidupkan negeri, mereka adalah Ashhabus Sunnah.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Lalika-i dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.51)
30. Alangkah benarnya perataan dan sebutan Imam asy-Syafi’I ra terhadap Ahlus Sunnah, seraya berkata : “Jika aku melihat seseorang dari ashhabhl haduts (ahli hadits), maka seakan-akan aku melihat seseorang dari Sahabat Rasulullah saw”
31. Imam Malik bin Anas ra telah meletakkan suatu kaidah yang agung yang meringkas semuayang telah kami sebutkan di atas dari ucapan para imam dalam ungkapannya : “Tidak akan dapat memperbaki generasi akhir dari ummat ini kecuali apa yang telah dapat memperbaiki generasi terdahulu. Maka apa yang pada saat itu bukan merpakan agama, demikian pula tidak dianggap agama pada hari ini.”
Itulah ucapan sebagian para Imam Salafush Shalih dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka adalah orang yang palingsuka memberikan nasehat kepada manusia, yang paling baik bagi ummatnya dan yang paling mengerti dengan kemaslahatan dan petunjuk bagi manusia. Dimana mereka itu berwasiat agar berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya saw, memperingatkan dari perkara yang diada-adakan dan bid’ah dan mengabarkan seperti Nabi saw mengajari mereka bahwa jalan keslamatan adalah dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi saw dan petunjuknya.
Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm.237 – 251.

Kesalahan-Kesalahan Makmum Dalam Shalat.


Termasuk di antara manfaat yang dapat dipetik dari sholat berjamaah ialah saling memberikan pengajaran ilmu syari antar jamaah satu dengan yang lainnya. Salah satu contohnya: Terkadang seorang salah dalam tatacara sholat maka jamaah lain yang tahu kemudian membenarkannya. Inilah rohmat yang Alloh turunkan kepada umat ini lewat syariat sholat berjamaah. Berikut ini akan kami sampaikan beberapa kesalahan yang seringkali terjadi dalam praktek sholat berjamaah sebagai bentuk nasihat kepada kaum muslimin secara umum.

Tidak Memperhatikan Kerapian dan Kelurusan Shof
Para pembaca yang semoga dirahmati Alloh, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam telah bersabda yang artinya,“Sebaik-baik shof bagi laki-laki adalah yang paling depan, sedangkan shof yang paling buruk adalah yang paling akhir. Sedangkan shof yang terbaik bagi wanita adalah paling belakang dan yang paling buruk adalah yang paling depan.”(HR. Muslim). Tapi sungguh sangat disayangkan sebagian kaum muslimin tidak berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan ini, bahkan mereka malah menghindari dan enggan untuk memposisikan diri pada shof yang pertama, dengan mereka mempersilahkan orang lain untuk berada di shaf depan. Kaidah Fiqhiyah mengatakan:“Mengutamakan orang lain dalam masalah ibadah adalah terlarang”.
Kesalahan lain yang banyak muncul adalah tidak meluruskan ataupun merapatkan shof. Rosululloh bersabda yang artinya, “Luruskan shof-shof kalian, karena lurusnya shof termasuk kesempurnaan sholat.” (HR. Bukhori Muslim)
Mendahului Maupun Menyertai Gerakan Imam
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya mendahului imam merasa takut kalau Alloh merubah kepalanya menjadi kepala keledai.” (HR. Bukhori, Muslim)
“Sesungguhnya ubun-ubun orang yang merunduk dan mengangkat kepalanya mendahului imam berada di dalam genggaman setan.” (HR. Thobroni dengan status hasan)
Adapun larangan membarengi gerakan imam maka dasarnya adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam,“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika imam telah ruku’ maka ruku’-lah kalian dan jika imam bangkit maka bangkitlah kalian.” (HR. Al Bukhori). Dari hadits ini diambil kesimpulan terlarangnya mengakhirkan atau melambatkan gerakan dari imam. Adapun yang diperintahkan adalah mengikuti atau mengiringi gerakan imam.
Sibuk Dengan Berbagai Macam Doa Sebelum Takbirotul Ihrom
Sering kali kita lihat sebagian kaum muslimin sebelum sholat menyibukkan melafalkan niat. Sebagian mereka membaca surat An Naas dengan dalih untuk menghilangkan was-was setan. Begitu juga ada makmum yang mengatakan: Sami’na wa ‘Atho’na ketika mendengar perintah untuk meluruskan shof dari imam: Sawwuu shufuufakum!Padahal perintah dari imam tadi butuh pelaksanaan, bukan butuh jawaban. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Hendaklah kaum muslimin bersegera meninggalkan segala macam tatacara ibadah yang tidak bersumber dari beliau.
Sibuk Dengan Sholat Sunah Padahal Telah Iqomah
Terkadang kita jumpai seseorang yang malah sibuk dengan sholat nafilah/sunnah ketika iqomat telah dikumandangkan atau yang lebih parah malah memulai sholat sunnah baru dan tidak bergabung dengan sholat wajib. Hal ini menyelisihi sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam yang artinya: “Apabila iqomah sudah dikumandangkan, maka tidak ada sholat kecuali sholat wajib.” (HR. Muslim)
Menarik Orang Lain di Shof Depannya Untuk Membuat Shof Baru
Hadits-hadits yang menjelaskan masalah ini bukan termasuk hadits yang yang shohih, maka perbuatan ini tidak boleh dilakukan bahkan dia wajib bergabung dengan shof yang ada jika memungkinkan. Jika tidak maka boleh dia sholat sendiri di shof yang baru, dan sholatnya dianggap sah karena Alloh tidaklah membebani seorang kecuali sesuai kemampuannya (Lihat Silsilah Al Hadits Ash Shohihah wal Maudu’at). Wallohu A’lam.