Kamis, 14 Maret 2013

Beberapa kesalahpahaman tentang sedekah

Sebagian kaum muslimin yang ahli ibadah, yang hanya bermodalkan semangat dalam ibadahnya; tidak dengan landasan ilmu; telah keliru dan salah paham dalam beberapa hal mengenai sedekah.

1. Seorang yang tidak memiliki tawakkal yang kuat, juga tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan nafkah yang memadai; tapi menafkahkan seluruh hartanya dalam rangka mengamalkan seperti apa yang diamalkan Abu Bakar Radhiyallaahu ‘anhu. Sehingga akhirnya, ia malah menjadi beban hidup banyak orang, dan keluarganya pun terbengkalai.
2. Seseorang yang menuntut ilmu, atau bahkan berdakwah (da’i/ustadz), tapi tidak membekali dirinya dengan nafkah atau tidak mencari nafkah sembari menuntut ilmu atau mendakwahkan ilmu; sehingga ia menjadi beban bagi banyak orang.
3. Seseorang yang tidak mengetahui sedekah-sedekah yang wajib; sehingga ia menyibukkan diri dengan sedekah-sedekah yang sunnah, sehingga ia meninggalkan sedekah yang wajib, hanya karena mengamalkan yang sunnah.
Sesungguhnya ini diantara perkara-perkara yang hendaknya disadari oleh kita semua, sehingga kita beribadah dengan kefaqihan, bukan hanya semangat buta; yang justru mejerumuskan diri kita kepada kehinaan atau malah kemungkaran. Na’uudzubillaah

Adapun untuk kasus pertama
Mereka menyangka mereka memiliki TAWAKKAL yang kualitasnya seperti Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu! (padahal mereka tidak memiliki tawakkal yang kuat untuk itu!)… Bahkan hal ini dikategorikan Imam Ibnul Jauziy sebagai salah satu TALBIS IBLIS kepada kaum muslimin yang kurang tawakkalnya atau kurang agamanya!
Dalam menerangkan hadits ini para ulamaa’ telah menjelaskan terdapat dua hal yang sangat mendukung dalam diri abu bakar:
(1) Beliau memiliki TAWAKKAL yang sempurna kepada Allah;
(2) tapi disisi lain, beliau adalah PEDAGANG YANG HANDAL!
Ummul Mukminin ‘Aa-isyah berkata tentang ayahnya:
كَانَ أَبُو بَكْرٍ أَتْجَرَ قُرَيْشٍ
“Abu Bakar adalah orang Quraisy yang PALING AHLI DALAM BERDAGANG”
(Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 22621 (7/16) dari Waki’ bin Jarrah dari Muhammad bin Syarik dari Abdullah bin Abi Mulaikah dari Aisyah. Mereka semua adalah orang-orang tsiqat).
Oleh karenanya, jika sekiranya ada seorang muslim yang hendak mengamalkan apa yang diamalkan Abu Bakar diatas, hendaknya memiliki dua hal diatas; yang pertama TAWAKKAL yang kuat kepada Allah. Dan yann kedua, ia MEMILIKI BEKAL yang kuat untuk mencari nafkah kembali. Sehingga ketika ia sudah tidak berharta, ia dapat mencarikan harta yang dapat menghidupinya dan menghidupi keluarganya.
Jangan sampai seseorang malah ingin mengamalkan hadits ini, sedangkan ia kurang tawakkalnya, dan usahanya pun tidak gigih/ulet; sehingga yang ada ia malah menyusahkan dirinya dan keluarganya; dan bahkan bisa jadi ia malah jadi pengemis/peminta-minta atau penghutang, hanya gara-gara mengamalkan perkara sunnah. Yang demikian ini dikatakan imam ibnul jauziy sebagai seorang yang terjangkiti virus TALBIS IBLIS!
Adapun untuk kasus kedua
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata:
إذا أردت أن تتعبد فانظر فإن كان في البيت بر فتعبد و إلا فاطلب البر أولا ثم تعبد
“Jika kamu hendak beribadah maka lihatlah dulu! Jika di rumahmu terdapat gandum burr maka silakan beribadah! Jika tidak ada, maka carilah gandum burr dulu kemudian silakan beribadah.”
(Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman: 1269 (2/96)).
Al-Imam Muhammad bin Tsaur berkata:
“Adalah Sufyan Ats-Tsauri melewati kami yang sedang duduk-duduk di Masjidil Haram.”
Beliau berkata:
“Untuk apa kalian duduk-duduk?”
Maka kami bertanya:
“(Kalau begitu) kami harus berbuat apa?”
Maka beliau berkata:
“Carilah dari rejeki Allah dan janganlah kalian menjadi beban bagi kaum muslimin.”
(Atsar riwayat Abu Bakar Al-Khallal dalam Al-Hatstsu alat Tijarah wash Shina’ah: 22 (23)).
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata:
“Jika aku mati meninggalkan uang 10.000 dirham yang akan dihisab oleh Allah atasnya, maka itu lebih aku sukai daripada aku membutuhkan (mengemis/meminta-minta kepada) manusia.”
(Siyar A’lamin Nubala’: 7/241, Hilyatul Auliya’: 6/381)
Atsar untuk point kedua ini dipetik darisini: http://sulaifi.wordpress.com/
Simak pula nasehat berharga dari ustadz yazid tentang ini:http://almanhaj.or.id/content/2980/slash/0
Adapun untuk kasus ketiga
asy-Syaikh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili hafizhahullah berkata:
“Amalan yang wajib lebih utama daripada amalan yang sunnah. Demikian juga, memperhatikan ibadah yang wajib lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada ibadah yang sunnah.1
Abu Hurairah meriwayatkan, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ُ
“Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku telah mengobarkan peperangan dengannya. Dan tidaklah ada seorang hambaKu yang mendekatkan dirinya kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan kepadanya…’
[HR. Bukhari no: 6502]
Ibnu Hajar berkata:
“Dapat disimpulkan dari hadits tersebut, bahwa melaksanakan amalan yang wajib merupakan tindakan yang paling dicintai oleh Allah”
[Fathul Bari : 11/343].
Abu Bakar pernah berwasiat kepada Umar dengan mengatakan:
وَأنَّهُ لاَ يَـقـْـبَلُ نَافِلَةً حَتَّى تُؤَدَّى الْفَريِْضَة
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima ibadah sunnah kecuali apabila amalan ibadah yang wajib telah ditunaikan”
[Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah : 1/36].
Ibnu Taimiyah menegaskan pula:
“Oleh karena itu, wajib bertaqarrub kepada Allah dengan amalan-amalan yang wajib sebelum menjalankan amalan yang sunnah. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang sunnah terhitung sebagai ibadah jika amalan yang wajib sudah dikerjakan”
[Majmu’ Al Fatawa : 17/133].
Al Hafizh Ibnu Hajar menukil dari sebagian ulama besar zaman dahulu, mereka menetapkan :
مَنْ شَغَلَهُ الْفَرْضُ عَنِ النَّفْلِ فَهُوَ مَعْذُورٌ وَ مَنْ شَغَلَهُ النَّفْلُ عَنِ الْفَرْضِِ فَهُوَ مَغْرُورٌ
“Barangsiapa disibukkan dengan perkara wajib sehingga melupakan perkara sunnah, maka ia termaafkan. Barangsiapa disibukkan dengan perkara sunnah sehingga perkara wajib terbengkalai, maka ia adalah orang yang tertipu”

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M

Tidak ada komentar: