Oleh: M . Taufik N.T
1. Menta’ati Suami, Selama Bukan Untuk Maksiat.
Rasulullah saw. bersabda:
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ
Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kalian dan perbanyakkanlah istighfar. Karena, aku melihat kaum wanitalah yang lebih ramai menjadi penghuni Neraka. Seorang wanita yang cukup pintar di antara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum wanita yang lebih ramai menjadi penghuni Neraka ? Rasulullah s.a.w bersabda: Kamu banyak mengutuk dan mengingkari suami…. (Hr. Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majah, redaksi menurut imam Muslim).
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
kalau saja aku diperbolehkan memerintahkan
seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku akan
perintahkan seorang isteri bersujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa
Muhammad di Tangan-Nya, sungguh seorang isteri itu tidak dikatakan
menunaikan hak Rabb-nya hingga ia menunaikan hak suaminya. Kalau saja
suami memintanya untuk dilayani, sementara ia sedang berada di atas
pelana kendaraan, maka ia tidak boleh menolaknya." (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Ahmad & Ad Darimi)
2. Mendidik Anak
Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu
bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan
anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang
tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau
ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”
Suatu ketika Farrukh berpamitan kepada istrinya yang sedang mengandung untuk pergi ke medan perang. Maka sang istri menjawab, "Wahai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau titipkan diriku dan jabang bayi yang sedang aku kandung ini?! Sebab di Madinah ini aku adalah orang asing yang tidak mempunyai keluarga dan sanak saudara."
Farrukh menjawab: "Aku titipkan kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untukmu 30.000 dinar (127,5 Kg emas)
yang aku kumpulkan dari ghanimah perang; jagalah dan investasikanlah
harta itu. Belanjakanlah untuk dirimu dan anakmu darinya dengan baik
hingga aku pulang dengan selamat dan membawa ghanimah atau Allah
karuniakan kepadaku kesyahidan yang aku cita-citakan."
Istrinya kemudian melahirkan bayinya setelah beberapa
bulan dari kepergian sang suami. Ia mendidik anaknya dengan baik, tanpa
kehadiran suaminya, mendorongnya untuk berguru kepada para shahabat
yang masih tersisa, terutama Anas bin Malik, khadim Rasulullah SAW,
berguru kepada kalangan pertama dari generasi Tabi’in, terutama Sa’id
bin al-Musayyab, Mak-hul asy-Syamy dan Salamah bin Dinar. Yang akhirnya
anaknya menjadi ‘ulama besar, Rabi’ah Ar Ra’yi. Farrukh sendiri pulang
ke Madinah saat Rabi’ah Ar Ra’yi sudah menjadi seorang pemuda dan
memimpin pengajian para ‘ulama.
3. Berperan Aktif dalam ‘Amar Ma’ruf Nahy Munkar
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian
yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang
mungkar… (QS. At Taubah : 71)
Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak suka engkau melakukan hal itu sehinggi menemui Rasulullah.’
Ayahku kemudian berangkat menemui Rasulullah saw. sebagai saksi atas
sedekah yang diberikan kepadaku. Rasulullah saw. berkata kepadanya,
أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ
‘Apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia (ayahku) berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah saw. berkata,
اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ
‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR. Muslim nomor 3055).
Suatu ketika ‘Umar bin Khattab berkata dari sebuah mimbar:
لَا تَغَالَوْا فِي صَدَقَات النِّسَاء
Janganlah kalian berlebih – lebihan dalam urusan mahar wanita. (HR. Ibnu Hibban dan Al Hakim, mereka menshahihkannya)
فَقَالَتْ اِمْرَأَة لَيْسَ ذَلِكَ لَك يَا عُمَر ، إِنَّ اللَّه يَقُول وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا مِنْ ذَهَب (فِي قِرَاءَة اِبْن مَسْعُود)
Maka berkatalah seorang wanita : ini bukan hak engkau wahai ‘umar, sesungguhnya Allah berfirman: sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak dari jenis emas . ‘Umar menjawab:
اِمْرَأَة خَاصَمَتْ عُمَر فَخَصَمَتْهُ
Seorang perempuan telah membantah ‘umar dan perempuan tersebut mengalahkannya. (Fathul Bâry, Ibnu Hajar Al Asqalany, Riwayat Abdurrazzaq dari jalan Abdurrahman As Sulamy).
Semua hal diatas memberikan gambaran bahwa seorang
wanita juga punya kewajiban ‘amar ma’ruf nahy munkar, baik menasehati
suaminya, masyarakatnya, termasuk juga menasehati penguasa, tentunya
dengan tetap memperhatikan hukum- hukum Islam yang lain, dan tanpa
meninggalkan kewajiban pokoknya sebagai ibu dan pendidik bagi anak –
anaknya. ‘Allahu Ta’ala A’lam (bersambung – insya Allah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar