Poligami
Kaitkata:Hukum Poligami, Istri, Jumlah Wanita Yang Dibolehkan, Masing-Masing, Mengikuti Rasulullah, Pertimbangan – Pertimbangan, poligami, Rumah., Suami, Syarat Sah Poligami, Wajibnya
Kaitkata:Hukum Poligami, Istri, Jumlah Wanita Yang Dibolehkan, Masing-Masing, Mengikuti Rasulullah, Pertimbangan – Pertimbangan, poligami, Rumah., Suami, Syarat Sah Poligami, Wajibnya
Hukum Poligami
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya tentang hukum poligami, apakah sunnah ?
Beliau menjawab, “Tidak sunnah, tetapi mubah (boleh)”.
Sesungguhnya..di anjurkan atau tidaknya poligami itu hanyalah bagi seorang suami yang berkesanggupan untuk berlaku adil atas istri-istrinya. Sebagaimana Firman ALLAH Ta’ala :
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً
“Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. An-Nisa: 3
Namun..wahai hamba-hamba
ALLAH..ketahuilah olehmu bahwasanya sekalian ilmu yang meninggikan
derajatmu disisi ALLAH Ta’ala di antara sekalian hamba-hamba-Nya yang
lain adalah menurut ilmu yang ada pada dirimu dengan sekalian perkara
atas apa-apa yang terdapat didalam hatimu. Ingatlah..bahwa sesungguhnya
ilmu itu beragam corak dan warnanya,
dan barang siapa yang beroleh nikmat ALLAH Ta’ala dengan menguasai
penuh atas salah satu ilmu sahaja, niscaya amat terpujilah ia karena
ALLAH Ta’ala telah memberikannya nikmat yang banyak. Yang sedemikian
inilah adalah aku menyebutnya sebagai ilmu yang beragam corak dan
warnanya bagi hati manusia, yaitu Ilmu Sabar, Ikhlas, Bijaksana, Adil
dan lain sebahagainya, sedang sekalian ilmu-ilmu itu disempurnakan
dengan aqidah dan keimanan serta ketaqwaan kepada Rabb Semesta Alam dan
tiadalah serta merta pada ilmu adil atau yang lain itu semata.
Syarat Sah Poligami
Adil adalah syarat disahkannya poligami atas para suami yang beroleh kesanggupan dengan sekalian kemampuannya.
Akan tetapi, ketahuilah..bahwasanya
adalah suatu kewajiban bagimu untuk meminta restu pada istrimu yang
tertua dari sisimu, jikalaulah ia faham dan menyetujui
akan engkau yang hendak beroleh istri yang lain selain daripadanya,
maka kerjakanlah barang kehenedak yang ada dalam hatimu. Kemudian
jikalaulah engkau sudah beroleh anak dengan istri tertua yang berada
disisimu sedang mereka sudah balig (Dewasa), maka mintalah keridhoan
atas mereka agar tiada suatu juapun yang perkaranya bersifat aniya
antara yang satu dengan yang lain. Sedang jika anak yang engkau miliki
dengan istri tertuamu masih belum balig (dewasa) maka cukuplah bagimu
meminta izin dari ibu mereka saja.
Dan jika salah satu di antara mereka ibu
dan anak (istri dan anak-anakmu) tiada ridho atas keinginanmu, maka
tinggalkanlah karena ALLAH Ta’ala semata. Sabarlah serta bertawakkallah kepada
ALLAH Ta’ala, yang sedemikian itu adalah jalan yang terlebih baik
bagimu daripada aniaya. Dan janganlah sekali-kali engkau mengambil jalan
yang lain daripadanya, yang menyebabkan engkau beroleh murka ALLAH
karenanya. yaitu adalah engkau bermain – main dengan perempuan yang lain
sedang kamu bersembunyi di belakang istrimu (selingkuh) dalam
perzinahan yang diharamkan atas kamu. Dan jangan pulalah salah seorang
juapun di antara kamu mengambil jalan lain dengan menceraikan istrimu
agar kiranya engkau dapat bersuka ria
dengan wanita yang lain. Takutlah kamu kepada ALLAH dengan
sebenar-benar takut, dan kepada-Nyalah tempat kamu kembali. Sesungguhnya
ALLAH Ta’ala Maha Mengetahui lagi menjadi saksi atas apa-apa yang
engkau sembunyikan.
Mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Jikalaulah dalam perkara yang sedemikian
ini (poligami), adalah engkau hendak mengikuti Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wa Sallam. Maka ketahuilah..bahwa sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wa Sallam tiadalah pernah baginya mengambil istri
yang lain semasa hidupnya
istri beliau yang pertama (khadijah), sedang setelah wafatnya
khadijahlah kemudian beliau memadu istrinya yang lain, perempuan dalam
tawanan perang, atau perempuan yang hatinya berkeinginan terhadap Nabi,
atau para sahabat yang berkehendak memiliki hubungan yang lebih dekat
dengan nabi lalu para sahabat berkehendak agar beliau mengawinkan putri
mereka yang sudah janda, demikian jua adanya seumpama Abu Bakar yang
agar kiranya hubungan kekerabatan
antara beliau dengan Rasulullah lebih dekat, hingga kemudian beliau
meminta Rasulullah berkenan mengawini putrinya Aisyah apabila telah
balig (cukup usia), sedang selain daripada Aisyah Radhiallahu ‘anhu
semuanya adalah janda.
Demikian pula dengan Imam Ali Bin Abu Thalib, yang hendak mengumpulkan putri Rasulullah Fatimah Azzahra dengan wanita yang lain.
“Diriwayatkan dari Miswar bin Makhramah ra : ‘Ali bin Abi Thalib ra. melamar anak perempuan
Abu Jahal, sedangkan waktu itu dia adalah suami Fathimah, putri Nabi.
Sewaktu mendengar lamaran Ali, Fathimah pergi menemui Nabi saw seraya
berkata:
‘Sesungguhnya kaummu berbicara bahwa
engkau tidak pernah marah karena putri-putrimu. Aku memberitahukan bahwa
Ali hendak menikah dengan putri Abu Jahal.’
Berkata Miswar: Kemudian Nabi saw. berdiri. Aku mendengarnya membaca tasyahud, lalu berkata:
“Amma ba’du. Sesungguhnya aku menikahkan Abu’l Ash bin Rabi’. Dia berbicara kepadaku dan dia membenarkanku.
Dan sesungguhnya, Fathimah binti Muhammad adalah segumpal dagingku. Dan
aku benar-benar tidak suka kalau mereka memfitnahnya. Demi Allah,
sesungguhnya tidak boleh berkumpul putri Rasulullah dengan putri musuh
Allah pada seorang suami selama-lamanya.” Kemudian Ali Radhiallahu ‘Anhu
meninggalkan lamarannya. (Shahih HR. Muslim 7 : 142)
Kemudian dalam riwayat yang lain, setelah
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendengar kabar itu, beliau
berkata kepada Imam Ali Bin Abu Thalib Radhiallahu ‘Anhu :
“Sesungguhnya Fathimah adalah darah dagingku dan aku mengkhawatirkan
dia akan terganggu agamanya.” Kemudian Beliau menyebutkan salah seorang
menantunya dari bani ‘Abdi Syams (yaitu Utsman bin Affan r.a.), dengan
memuji perkawinannya dengan anaknya yang dinilainya baik. Lalu Beliau
SAW bersabda : “Menantuku kalau berbicara denganku jujur, kalau berjanji
denganku, memenuhinya. Sesungguhnya aku tidaklah mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram, akan tetapi, demi Allah, putri
Rasulullah tidaklah boleh sama sekali dikumpulkan di satu tempat dengan putri dari musuh Allah selama-lamanya.“(Al-Hadits).
Artinya bahwa sesungguhnya Imam Ali bin
Abu Thalib Radhiallahu tiada memadu Fatimah Binti Muhammad Shallallahu
Alaihi wa Sallam dengan wanita manapun, sedang ia menahan hati dan dirinya.
Sampai kemudian setelah Fatimah Az Zahra wafat, beliau lalu memadu
wanita sebagai istri beliau antara yang satu dengan yang lain.
Maka wahai hamba – hamba ALLAH yang
dimuliakan oleh ALLAH, sanggupkah kiranya engkau berbuat selayak
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Imam Ali Bin Abu Thalib
Radhiallahu Anhu, yang tiada bagi mereka memadu istri mereka yang pertama sebelum wafatnya??
Dan ingatlah atas peringatan dari ALLAH
Ta’ala dalam firman-Nya bagi para suami yang hendak memadu istrinya yang
satu dengan yang lain :
وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Artinya : Dan kamu sekali-kali tdk
akan dpt berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat
ingin beruntuk demikian” [An-Nisa : 129]
Karenanya dalam sebuah hadits dari Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membagi giliran di antara para istri secara adil, lalu mengadu kpd Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam do’a:
“Arti : Ya Allah inilah pembagian giliran
yg mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yg tdk mampu aku
lakukan” [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan
dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim]
[Fatawa Mar’ah. 2/62]
Pertimbangan-Pertimbangan Sebelum Poligami
Maka..Wahai hamba-hamba ALLAH..adakah kamu telah berkuasa
atas salah satu ilmu itu sepenuhnya yaitu tentang adilnya dirimu
terhadap dirimu, terhadap orang – orang disekitarmu dan demikian pula
halnya terhadap istri-istrimu? Jikalaulah “ya”, maka kerjakanlah, sedang
jika tidak atau engkau berada dalam keraguan tentang adilnya dirimu
atas istri-istrimu, maka sebaiknya tinggalkanlah..sesungguhnya yang
sedemikian itu adalah lebih baik bagimu daripada aniaya sedang sesuatu
yang aniaya itu adalah menyakiti yang lain.
Dan kemudian..sanggupkah engkau menjaga
kesucian istri-istrimu? Jika “ya” maka kerjakanlah, sedang jika tidak
atau engkau berada dalam keraguan perihal tentang yang sedemikian
itu..maka sebaiknya tinggalkanlah..
Lalu adakah engkau sanggup memberikan
perlindungan atas rasa aman dan nyaman serta membahagiakan hati mereka,
sedang engkau tiada akan berbuat sesuatu kerusakan
atas diri-diri mereka? Sebab ALLAH Ta’ala tiada menyukai kerusakan.
Jika “ya” maka kerjakanlah, sedang jika tidak atau engkau berada dalam
keraguan perihal tentang yang sedemikian itu..maka sebaiknya
tinggalkanlah..karena yang sedemikian itu adalah tidak lebih dekat
daripada yang aniaya, dan aniaya itu adalah suatu dosa yang besar perkaranya. Sedang ALLAH Ta’ala adalah menjadi saksi atas apa-apa yang engkau kerjakan.
Jumlah Yang Dibolehkan Dipoligami
Sesungguhnya ALLAH Tabaraka wa Ta’ala
telah memberikan batasan bagimu dalam jumlah istri yang diperkenankan
bagimu, yaitu hanya 4 orang saja. Dan barang siapa yang melebihi batasan yang telah ditetapkan ALLAH niscaya ia telah ingkar atas apa-apa yang ALLAH Subhana wa Ta’ala tetapkan atas dirinya.
Sebagaimana Firman ALLAH Ta’ala :
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: berdua, bertiga atau berempat orang. An-Nisa : 3
Kemudian ayat tersebut diperkuat oleh Firman ALLAH Ta’ala yang lain, yang berbunyi :
وَامْرَأَةً مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا
خَالِصَةً لَّكَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, dan bukan untuk semua orang mu’min. Al-Ahzaab : 050.
“sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min”,
artinya..bahwasanya ALLAH Ta’ala hanya membolehkan seorang suami
beroleh lebih dari empat orang istri hanya kepada Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam saja sebagai pengkhususan bagi beliau, sedang
sekali-kali tidak bagi ummatnya. Oleh karena ilmu adil, sabar, ikhlas,
bijaksana dan yang dimiliki oleh beliau tentulah melebihi para ummatnya,
sedang kesempurnaan moral lagi akhlak yang terpuji itu hanyalah milik
beliau sekaliannya.
Wajibnya Memberi masing-masing istri Sebuah Rumah Kecuali Jika Mereka Rela Satu Atap,
Demi mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Adalah wajib bagimu memberi masing – masing istrimu sebuah rumah dan tiada di antara istri-istrimu dalam satu atap agar tiada perselisihan dan kecemburuan di antara mereka, kecuali jika istri-istrimu memberi izin atas kamu.
Firman ALLAH Ta’ala :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
Artinya : Dan hendaklah mereka tetap tinggal di rumah mereka” [Al-Ahzab : 33]
Firman ALLAH Ta’ala yang lain :
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ
“Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)” [Al-Ahzaab : 34]
Artinya bahwa ALLAH Subahana wa Ta’ala menyebutkan bahwasanya sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tiadalah hanya satu saja adanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, setelah ada beberapa orang sahabat yang mengatakan : “Aku akan
selalu shalat malam dan tidak akan tidur”. Yang satu lagi berkata :
“Aku akan terus berpuasa dan tidak akan berbuka”. Yang satu lagi berkata
: “Aku tidak akan mengawini wanita”.
Tatkala ucapan mereka sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau langsung berkhutbah di hadapan para sahabatnya, seraya memuji kepada Allah kemudian beliau bersabda.
“Artinya : Kaliankah tadi yang mengatakan
“begini dan begitu ?!”. Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut
kepada Allah di antara kalian dan paling bertaqwa
kepadaNya. Sekalipun begitu, aku puasa dan aku juga berbuka, aku shalat
malam tapi akupun tidur, dan aku mengawini wanita. Barangsiapa yang
tidak suka kepada sunnahku ini, maka ia bukan dari (umat)ku” [Riwayat
Al-Bukhari]
Artinya bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberikan ketetapan kepada ummatnya untuk menegakkan sunnah yang
berdiri atas beliau, sedang barang siapa yang ingkar atas sunnah beliau
niscaya ia beroleh sanksi sebagai orang yang tiada beliau akui sebagai
ummatnya.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta ketika sakit
yang mengantar beliau wafat, “Di mana aku besok? Di mana aku besok?”
Yang beliau maksudkan adalah hari (giliran) Aisyah. Lalu isteri-isteri
beliau mengizinkan beliau untuk menetap di mana beliau kehendaki,
sehingga beliau tinggal di rumah Aisyah sampai beliau wafat di sisinya.
Aisyah berkata, “Maka beliau meninggal pada hari yang menjadi giliranku
di rumahku. Lalu Allah mencabut nyawa
beliau sementara kepala beliau bersandar di dadaku, sementara keringat
beliau bercampur dengan keringatku” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi pernah berada di rumah salah seorang isterinya, lalu salah seorang Ummahatul Mukminin
(isteri-isteri Nabi) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian
wanita (Istri Nabi) yang rumahnya ditempati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring dan
kemudian mengumpulkan kembali makanan tersebut ke dalamnya seraya
berkata, ‘Ibumu telah cemburu’. Selanjutnya, pelayan itu ditahan
sehingga dia diberi piring dari isteri yang rumahnya ditempati Nabi.
Lalu pelayan itu menyerahkan
piring yang baik kepada isteri yang dipecahkan piringnya. Sementara
Nabi tetap menahan piring yang pecah itu di rumah kejadian peristiwa
piring pecah” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Ibnu Syaibah rahimahullah di dalam kitab
Al-Mushannaf (IV/388) berkata, “Abad bin Al-Awam mengabarkan kepadaku
dari Ghalib, dia berkata, “Aku pernah tanyakan kepada Hasan –atau
ditanya- tentang seorang laki-laki yang mempunyai dua isteri
di dalam satu rumah? Dia menjawab, Mereka (para Sahabat) memakruhkan
al-wajs, yakni dia menggauli salah seorang dari keduanya sementara yang
lainnya melihat”. Atsar ini shahih.
Di dalam kitab Al-Mughni (VII/26), Ibnu
Qudamah rahimahullah mengatakan, “Seorang laki-laki tidak boleh
menghimpun dua isterinya di dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya,
baik itu masih kecil maupun sudah tua, karena antara keduanya terdapat
mudharat, dimana antara kedunaya ada permusuhan dan kecemburuan.
Sementara penyatuan keduanya dapat menyulut pertengkaran dan peperangan.
Dan masing-masing dari keduanya akan mendengar gerakannya jika dia
menggauli isterinya yang lain atau bisa juga dia akan melihat hal
tersebut. Dan jika keduanya sama-sama setuju
dengan hal tersebut, maka hal itu dibolehkan, karena hak itu milik
keduanya, sehingga keduanya diberi toleran untuk meninggalkannya.
Demikian juga jika keduanya rela suami
mereka tidur di antara keduanya dalam satu selimut. Dan jika keduanya
rela untuk suami mereka mencampuri salah seorang dari mereka dengan
disaksikan oleh lainnya, maka yang demikian itu tidak diperbolehkan,
karena hal tersebut mengandung kehinaan, kenistaan, dan jatuhnya kewibawaan sehingga hal tersebut tidak diperbolehkan meskipun keduanya membolehkan”.
Imam Al-Qurthubi (XIV/217) berkata, “Tidak diperkenankan mengumpulkan para isteri di satu rumah, kecuali jika mereka rela”.
Di dalam kitab Al-Majmu Syarhul
Muhadzdzab dikatakan (XVI/415), “Jika seorang suami memiliki beberapa
isteri yang tidak ditempatkan di dalam satu rumah, kecuali dengan
kerelaan mereka atau salah seorang dari mereka, karena hal itu dapat menimbulkan
pertengkaran di antara mereka. Dan tidak diperbolehkan baginya untuk
mencampuri salah seorang dari mereka ketika yang lainnya tengah berada
bersamanya karena yang demikiian itu adalah adab yang tidak baik lagi
merusak hubungan”
Catatan.
Diantara bentuk kelaziman rumah yang mandiri bagi setiap isteri adalah tidak ada campur tangan dalam hal makanan di antara isteri-isteri. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits terdahulu, “Lalu salah seorang Ummahatul Mukminin mengirimkan satu piring yang di dalamnya terdapat makanan”. Hadits ini menunjukkan bahwa makanan masing-masing isteri terlepas dari yang lainnya. Tetapi, jika mereka tengah berkumpul dalam suatu jamuan dengan keridhaan dari semua isteri, maka hal itu tidak ada masalah. Wallahu a’lam Bish Showab.
Sumber : Pandangan penulis (penulis blog) tentang poligami yang merujuk pada keadilan dalam berpoligami, selain pada judul “Wajibnya
Memberi masing-masing istri Sebuah Rumah Kecuali Jika Mereka Rela Satu
Atap, Demi mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam”, yang disadur dari
buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan
Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EMDiantara bentuk kelaziman rumah yang mandiri bagi setiap isteri adalah tidak ada campur tangan dalam hal makanan di antara isteri-isteri. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits terdahulu, “Lalu salah seorang Ummahatul Mukminin mengirimkan satu piring yang di dalamnya terdapat makanan”. Hadits ini menunjukkan bahwa makanan masing-masing isteri terlepas dari yang lainnya. Tetapi, jika mereka tengah berkumpul dalam suatu jamuan dengan keridhaan dari semua isteri, maka hal itu tidak ada masalah. Wallahu a’lam Bish Showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar