Kamis, 20 Agustus 2015

Siapa Subianto, Sosok Paman Prabowo?


Oleh: Yusuf Maulana, Redaktur Ahli Islampos

NAMANYA di urutan awal, bersisian dengan Daan Mogot. Nama saudaranya ada di bawahnya dengan lengkap menyandang sebutan keluarga: Djojohadikusumo. Terabadikan sebagai pejuang pahlawan yang gugur dalam peristiwa Lengkong 25 Januari 1946, kala berhadapan dengan tentara Jepang.

Foto: Repro buku “Kenangan 3 Zaman” karya Margono Djojojadikusumo.
Bukan soal heroisme tersebut yang saya angkat di sini. Dari buku tipis tentang M Natsir karya mantan jurnalis Tempo, Agus Basri, “Politik melalui Jalur Dakwah”, disebutkan soal Sekolah Tinggi Islam (STI), yang berdiri pada Juli 1945 di Jakarta. Para bapak bangsa, khususnya yang serius memerhatikan soal pendidikan umat, seperti Bung Hatta, Abdul Kahar Muzakkir, dan Natsir, melakukan lompatan bahkan sebelum Republik ini berdiri. Jauh lebih dulu hadir ketimbang kampus negeri yang dicikalkan dari STI kala Republik merdeka, yakni UGM dan IAIN Yogyakarta.

Nah, STI hijrah ke Yogyakarta bersamaan perpindahan Ibu Kota Republik. Padahal, perkuliahan sudah berlangsung. Mahasiswa angkatan awal STI salah satunya adalah sosok tersebut di awal: Subianto Djojohadikusumo. Ia seangkatan dengan Anwar Harjono (kelak jadi aktivis Masyumi, GPII, dan DDII). Artinya, Subianto yang oleh generasi belakangan diidentifikasi sebagai pejuang bersenjata dalam jihad melawan penjajah, sesungguhnya pernah tercelup—banyak atau sedikit—dengan nilai-nilai STI.

Menarik, latar keluarga Subianto adalah muslim priyayi abangan. Keluarga ini bukan fakir hingga mau sekolahkan anaknya di kampus yang didirilan tokoh bersahaja dengan komitmen keislaman dan kenasionalan yang tiada diragukan lagi. Memilih STI bukan soal terpaksa kiranya. Nah, jejaknya di Lengkong, dengan demikian, bisa dilacak dari semangat Subianto untuk mau bertimba ilmu dari para sosok Nasionalis-Islamis. Suatu modal penting saat ia kelak berkiprah sebagai prajurit.

Mungkin ini sedikit serpihan yang menginspirasi dan menjelaskan “cemburu” sang ponakan, Prabowo, kelak saat ia berdinas di ketentaraan. Hadapi diskriminasi dari kolega dan atasannya yang fobia pada anasir prajurit Nasionalis-Islamis. Atau saat umat mayoritas negeri dicampakkan oleh tirani minoritas dalam ekonomi.

Nama Subianto seperti doa bagi sang ponakan; begitu kiranya di benak Sumitro, ayah Prabowo. Doa bukan soal patriotisme belaka, melainkan juga mengikuti para bapak bangsa yang cinta Islam bukan untuk ditindas dan ditipu.

STI kelak berganti nama jadi Universitas Islam Indonesia, dengan kampus tetap di Yogyakarta. []

Tidak ada komentar: