Senin, 24 Agustus 2015

ALIRAN MU'TAZILAH DAN ASY'ARIYYAH

A. Mu’tazilah
Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang tertua. Aliran mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah. Pada saat itu banyak orang-orang yang hendak menghancurkan islam dari segi ‘aqidah, baik yang menamakan dirinya Islam maupun non Islam.dari dalam Islam sendiri seperti kaum syi’ah ekstrim dan kalangan hulul yang menganggap Tuhan bertempat pada didi manusia, maka kaum Mu’tazilah menjawab dengan tegas bahwa Tuhan tidak mungkin mengambil tempat apapun juga. Dalam keadaan demikian muncullah aliran mu’tazilah yang kemudian berkembang pesat dengan metode dan pahamnya sendiri. Aliran ini lebih mengedepankan pada filosof sehingga mereka juga disebut kaum rasionalis islam.
Adapun mengenai asal-usul penyebutan mu’tazilah itu ada berbagai macam versi:
1. Disebut mu’tazilah karena Wasil Bin ‘Atha dan ‘Amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian Hasan Basri gurunya di Masjid Basrah. Sebagaimana pendapat kaum murji’ah bahwa orang yang berdosa besar tetap dihukumi mu’min, sedangkan menurut Khawarij adalah kafir. Wasil pun berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah mu’min dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya. Kemudian ia membentuk pengajian sendiri. Menurut al syahrastani karena ini mereka disebut mu’tazilah.
2. Menurut Al Baghdady, dikarenakan mereka menyalahi semua pendapat yang telah ada tentang dosa besar. Menurut Murji’ah, tetap mu’min. Menurut khawarij, mereka kafir. Sedangkan menurut Hasan Basri mereka disebut munafik. Karena pendapat mereka berbeda dengan pendapat-pendapat tersebut, makamereka disebut mu’tazilah yang secara ma’nawi ada pendapat menyatakan berarti menyalahi pendapat orang lain. Adapun secara lahiriah berarti pemisahan secara fisik.
3. Menurut Al Mas’udy, disebut mu’tazilah karena pendapat mereka yang mengatakan bahwa si pembuat dosa besar berarti memisahkan (i’tazala) dari golongan orang-orang mu’min dan orang kafir.
4. Menurut Tasy Kubra Zadah, menyebutkan bahwa Qatadah Ibnu Dama’ah pda suatu hari masuk ke masjid Basrah dan menuju ke majlis Amr bin Ubaid yang disangkanya majelis Hasan Basri. Setelah mengetahui bahwa itu bukan mjelis Hasan Basri, ia berdiri dan berkata: “ini kaum mu’tazilah”. Menurut Tasy Kubra Zadah semenjak itu mereka disebut mu’tazilah.
5. Menurut Ahmad Amin, nama mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan Basri. Mu’tazilah dijadikan sebutan bagi kelompok-kelompok yang tidak mau ikut campur pada pertikaian-pertikaian politik pada masa Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA. Mereka menjauhkan diri dari golongan-golongan yang saling bertikai.
Golongan mu’tazilah juga dikenal dengan nama-nama lain seperti ahl al-‘adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan tuhan, dan ahl al-tauhid wa al-‘adl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan tuhan. Lawan mu’tazilah menyebut golongan ini dengan sebutan qadariyah karena mereka menganut faham free will and free act, yakni bebas berkehendak dan bebas berbuat. Juga dinamai Mu’attilahkarena mereka berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat memiliki wujud diluar dzat tuhan. Mereka juga dinamai wadi’ah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman tuhan pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taatakan hukum-hukum tuhan.
Ajaran-Ajaran Pokok Mu’tazilah
Kelima ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam ushul al-khamsah adalah sebagai berikut:
· At tauhid,
Menurut mu’tazilah tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi keesaannya. Hanya dia yang Qadim. Kelanjutan dari prinsip keesaan yang murni tersebut, maka mereka:
a. Tidak mengakui sifat-sifat tuhan sebagai sesuatu yang qadim yang lain daripada dzatNya. Apa yang disebut sifat adalah Dzat tuhan itu sendiri.
b. Mengatakan bahwa Qur’an itu makhluk. Kalamullah makhluk yang diciptakan tuhan ketika dibutuhkan. Kalamullah ini berada di luar dzat tuhan.
c. Mengingkari tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
d. Mengingkari tempat bagi tuhan dan mena’wil ayat-ayat yang mengesankan adanya persamaan tuhan dengan manusia.
· Al ‘Adl
Keadilan disini lebih diperdalam maknanya oleh mu’tazilah, yakni:
a. Tuhan menciptakan makhluk atas dasar tujuan dan hikmat kebijaksanaan.
b. Tuhan tidak menghendaki keburukan dan tidak pula memerintahnya.
c. Manusia memiliki kesanggupan untuk mewujudkan perbuatannya, terlepas dari kehendak tuhan.
d. Tuhan harus mengerjakan yang baik dan yang terbaik (asshalah wa al ashlah), karena itu merupakan kewajiban tuhan untuk menciptakan manusia, memerintahkan manusia dan membangkitkannya kembali.
e. Tuhan wajib mengutus rasulkepada manusia.
· Al wa’d wa al wa’id
Aliran mu’tazilah yakin bahwa tuhan tidak akan melanggar janjinya, tuhan akan memberikan pahalaNya pada muthi’ dan ancaman akan menjatuhkan siksaNya kepada al ‘ashy dan diabadikan di neraka meskipun siksanya lebih ringan daripada orang kafir.
Mereka mengingkari adanya syafa’at pada hari kiamat karena menurut mereka hal ini berlawanan dengan prinsip al wa’d wa al wa’id.
· Al manzilah baina al manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mu’tazilah. Dalam konsep ini, orang yang melakukan dosa besar tidak disebut mu’min seperti murji’ah dan juga tidak disebut kafir sperti khawarij, namun dia berada pada posisi diantara mu’min dan kafir. Apabila ia tidak bertobat maka ia dihukumi fasik.
Menurut pandangan mu’tazilah, tidak dapat dikatakan mu’min karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada tuhan, tidak hanya pengakuan dan pembenaran. Dan juga tidak dapat dikatakan kafir karena ia masih percaya adanya Allah, rasul dan mengerjakan pekerjaan baik. Orang fasik ini dimasukkan neraka namun siksanya lebih ringan dari orang kafir.
· Al amr bi al ma’ruf wa annahyu ‘an al munkar
Perbedaan aliran mu’tazilah dengan aliran lain pada ajaran kelima ini adalah pada tatanan pelaksanaannya. Jika diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran ini. Sejarah telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukan aliran ini ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
Macam Sekte Mu’tazilah dan Tokoh-Tokohnya
1. Al Washiliyyah, tokohnya Abu Huzaifah Washil ibn Atha Al Gazzal al altsa
2. Al Huzailiyyah, tokohnya Abu Huzail Hamdan ibn Huzail Al Allaf
3. An Nazhzhamiyyah, tokohnya Ibrahim ibn Yasar ibn Hani An Nazhzham
4. Al Khabithiyyah, tokohnya Ahmad Ibn Khabith
5. Al Haditsiyyah, tokohnya Al Fadhal al Haditsi
6. Al Bisyariyyah, tokohnya Bisyar ibn Mu’tamar
7. Al Mu’ammariyyah, tokohnya Muammar ibn ‘Ubbad as salma
8. Al Mardariyyah, tokohnya ‘Isa ibn Shabih
9. Ats Tsumamah, tokohnyaTsumamah ibn Asyras an Namiri
10. Hisyamiyyah, tokohnya Hisyam ibn ‘Amr al Fuwathi
11. Al Jahizhiyyah, ‘Amr ibn Bahr Abi Utsman al Jahizh
12. Al Khayyathiyyah dan al Ka’biyyah, tokohnya Abu Husain ibn Abi ‘Amr al khayyath
13. Al Juba’iyyah, tokohnya Abu Ali Muhammad ibn al Wahab al Juba’i
14. Al Bahsyaniyyah, tokohnya Abu Hasyim Abd as Salam
B. Asy’ariyyah
Asy’ariyyah didirikan oleh Abu Al-Hasan bin Ismail Al-Asy’ari. Ia dibesarkan dan dididik sebagai seorang mu’tazilah sampai mencapai usia lanjut. Ia telah membela mu’tazilah sebaik-sebaiknya, tetapi kemudian aliran ini ditinggalkannya, bahkan dianggapnya sebagai lawan. Ia merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran mu’tazilah yang semakin terlihat kelemahan-kelemahannya. Ia sangat mengkhawatirkan jika Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi akan menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan kekuatan akal pikiran dan juga dikhawatirkan akan menjadi korban sikap ahli hadits anthropomorphist (Al-Hasywiyyah) yang hanya memegangi lahir nash-nash agama dengan meninggalkan jiwanya dan hampir menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak dapat dibenarkan. Melihat keadaan demikian, maka Al-Asy’ari mengambil jalan tengah antara aliran rasionalis dan tekstualis yakni antara mu’tazilah dan Al-Hasywiyyah dan ternyata jalan tengah tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin. Dalam mengemukakan dalil dan alasan, aliran Asy’ariyyah memakai dalil aqli dan naqli secara bersama-sama. Sesudah ia mempercayai isi Qur’an dan hadits, ia mencari alasan-alasan dari akal pikiran untuk memperkuatnya. Sebagai orang yang pernah menganut paham mu’tazilah, Al-Asy’ari tidak dapat menjauhkan diri dari pemikiran akal dan argumentasi pikiran. Dalam kitabnya yang berjudul Istihsan Al Khawadhi fi Ilmil Kalam, ia menentang keras orang yang berkeberatan membela agama dengan Ilmu Kalam dan argumentasi pikiran.Sebaliknya ia juga mengingkari orang yang berlebih-lebihan menghargai akal pikiran yaitu aliran Mu’tazilah.
Al-Asy’ari menyatakan pula kesetiaannya terhadap aliran Ahlussunnah , suatu aliran yang menentang aliran mu’tazilah, yang apabila mereka mengahadapi sesuatu peristiwa, mereka mencari hukumnya dari Qur’an dan hadits dan apabila tidak didapatinya mereka diam saja karena tidak berani melampauinya, mereka tidak mengadakan pena’wilan, pengurangan atau melebihkan arti lahirnya. Namun para pengikut Al Asy’ari menyatakan bahwa yang disebut Ahlussannah adalah penggabungan antara paham diatas dengan diperkuat paham-paham dengan alasan-alasan ilmu kalam dalam bentuk yang lebih nyata seperti yang dilakukan oleh Al-Asy’ari. Memang pertama-tama sebutan Ahlussunnah dipakai untuk aliran Asy’ariyyah. Akan tetapi sebutan itu akhirnya diperluas arti kandungannya sehingga meliputi madzhab-madzhab fiqh dan lapangan-lapangan ilmu keislaman lainnya yang tidak tersangkut dengan aliran-aliran.
Namun sepeninggal Al Asy’ari, Asy’ariyyah mengalami perubahandan perkembangan yang cepat karena pada akhirnya Asy’ariyyah cenderung kepada Mu’tazilah karena kedua aliran tersebut memegangi prinsip yang mengatakan bahwa “Pengetahuan yang didasarkan atas unsur-unsur naqli tidak memberikan keyakinan kepada kita”. Asy’ariyyah menjadi lebih condong kepada segi akal pikiran. Kecenderungan inilah yang menyebabkan mengapa pengikut madzhab Ahlussunnah merasa tidak puas terhadap aliran Asy’ariyyah dan mengadakan perlawanan terhadap mereka, dan puncak perlawanannya terjadi pada masa Ibnu Taimiyyah. Meskipun demikian, tokoh pendiri Asy’ariyyah, Al-Asy’ari sangatberpengaruh besar terhadap perkembangan Ahlussunnah yang merupakan prinsip aliran Asy’ariyyah yang sebenarnya ia maksud kendati pun pada akhirnya aliran ini menjadi sedikit condong pada mu’tazilah yang merupakan lawan utamanya.
Pokok kepercayaan dan ajaran Asy’ariyyah (Ahlussunnah)
1. Tuhan bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat
2. Sifat-sifat tuhan adalah dari Dzat Tuhan, bukan dari lain dzat
3. Qur’an bersifat Qadim sebagai kalamullah, sedang Qur’an yang berupa huruf dan suara adalah baru.
4. Ciptaan Tuhan tidak karena tujuan atau kepentingan makhluk
5. Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan
6. Tuhan tidak berkewajiban membuat yang baik dan terbaik, mengutus rasul, dan memberi pahala kepada orang yang taat dan menjatuhkan sikasa kepada orang yang maksiyat
7. Tuhan boleh memberi beban diatas kesanggupan manusia
8. Kebaikan dan keburukan tidak dapat diketahui akal semata
9. Tuhan menciptakan pekerjaan manusia
10. Ada syafa’at pada hari kiamat
11. utusanNya Nabi Muhammad diperkuat dengan mukjizat-mukjizat
12. kebangkitan di akhirat, pengumpulan manusia di padang mahsyar, pertanyaan munkar dan nakir di kubur, siksa kubur, timbangan amal perbuatan manusia, shirathal mustaqim, kesemuanya adalah benar
13. semua sahabat Nabi adil dan baik.
14. Sepuluh sahabat yang dijanjikan Nabi masuk surga pasti terjadi
15. Ijma’ adalah suatu kebenaran yang harus diterima
16. Orang Islam yang mengerjakan dosa besar akan masuk neraka sampai selesaimenjalankan sikasa. Dan akhirnya akan masuk surga.
Ajaran Asy’ariyyah berasal dari isi Qur’an dan hadits yang kemudian mereka percayai sepenuhnya, dengan menjadikannya dasar, disamping menggunakan akal pikiran, dimana tugasnya tidak lebih sebagai penguat nash-nash tersebut.
Tokoh-tokoh aliran Asy’ariyyah
1. Al-Baqillani
2. Ibnu Faurak
3. Ibnu Ishak Al-Isfaraini
4. Abdul Kahir Al-Baghdadi
5. Imam Al-Haramain Al-Juwaini
6. Abdul Mudzaffar Al-Isfaraini
7. Al-Ghazali
8. Ibnu Tumar
9. As-Syihristani
10. Ar-Razi
11. Al-Iji
12. As-Sanusi
Perbedaan Pendapat Antara Mu’tazilah dan Asy’ariyyah
1. Sifat Tuhan
v Menurut mu’tazilah: tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqa’, dan wahdaniyah, sifat Zat yang lain, seperti sama’, bashar, dan lain-lain tidak lain hanya Zat Tuhan sendiri.
v Menurut golongan hasywiyyah dan mujassimah: menyamakan antara sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk.
v Menurut golongan Asy’ariyyah: mengakui adanya sifat-sifat Tuhan yang tersebut yang sesuai dengan Dzat Tuhan sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat makhluk.
2. Kekuasaan atau perbuatan tuhan
v Menurut mu’tazilah,tuhan memiliki kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia, termasuk kewajiban menepati janji-janjiNya, kewajiban mengirim Rasul dan kewajiban memberi rezeki kepada manusia. Adanya paham Al shalah wa al ashlah.
v Menurut Asy’ariyyah, tuhan berbuat sekehendakNya terhadap makhluk, artinya tuhan tidak memilikikewajiban apa-apa. Adanya penolakan terhadap paham al shalah waal ashlah.
3. Perbuatan manusia
v Menurut mu’tazilah, lebih mendekati kepada paham qadariyyah, manusia berkuasa menciptakan perbuatannya sesuai kemampuan dan kemauannya sendiri.
v Menurut Asy’ariyyah, manusia dalam kelemahannya bergantung kepada kehendak dankekuasaan tuhan, lebih mengarah kepada jabariyyah.
4. Keadilan tuhan
v Menurut mu’tazilah, perbuatan-perbuatan tuhan adalah untuk kepentingan makhluk.
v Menurut Asy’ariyyah, tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak Nya bukan karen akepentingan makhluk atau tujuan lainnya.
5. Melihat tuhan pada hari kiamat
v Menurut mu’tazilah, tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dimana pun dan kapan pun.
v Menurut Asy’ariyyah, tuhan dapat dilihat kelak di hari kiamat tidak dengan cara tertentu atau tempat tertentu
6. Dosa-dosa besar
v Menurut mu’tazilah, orang yang berbuat dosa besar bertobat, meskipun ia memiliki ketaatan, ia tidak akan keluar dari neraka.
v Menurut asy’ariyyah, orang yang berdosa besar terserah kepada Tuhan, akan diampuni kemudian masuk surga atau dijatuhi siksa dan masuk neraka.
7. Akal dan fungsi wahyu
v Menurut mu’tazilah, segala sesuatu dapat dicapai dengan akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam, termasuk mengetahui tuhan, kewajiban mengetahui tuhan,mengetahui baik dan buruk serta kewajiban mengerjakan baik dan buruk. Sebelum adanya wahyu semua itu sudah bisa diketahui lewat akal. Sehingga ketika wahyu muncul, wahyu tidak begitu dibutuhkan karena semuanya telah diketahui terlebih dahulu oleh akal.
v Menurut Asy’ariyyah, segal kewajiban manusia hanya dapat diketahui oleh wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dalah wajibbagi manusia. Wahyulah yang mewajibkan seseorang mengetahui tuhan dan berterima kasih kepadaNya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada tuhan akan mendapat pahala, dan yang tidak patuh akan mendapatkan hukuman.

Tidak ada komentar: