Rabu, 01 Juli 2015

Demokrasi Membangkitkan Kaum Luth (1)
Selasa 13 Ramadhan 1436 / 30 Juni 2015 15:20


Oleh: Yan S. Prasetiadi, M.Ag, Penulis Buku Studi Islam Paradigma Komprehensif

DI kala umat Islam diseluruh dunia menghormati bulan suci Ramadhan dengan berbagai ibadah yang diperintahkan Allah SWT, sembari terus menerus meningkatkan keimanan dan ketakwaannya. Kabar kontroversial datang dari negara kampium Demokrasi, Amerika Serikat. Negara berpenduduk 320 juta lebih itu akhirnya melegalkan pernikahan sesama jenis (same-sex marriage) di seluruh negara bagiannya melalui keputusan Mahkamah Agung AS pada Jumat 26 Juni 2015 waktu setempat.

Presiden AS Barack Obama pun memuji keputusan ini, “Today is a big step in our march toward equality. Gay and lesbian couples now have the right to marry, just like anyone else.” (Hari ini kita mengambil langkah besar di dalam perjuangan mencapai kesetaraan. Pasangan gay dan lesbian sekarang memiliki hak untuk menikah seperti siapa pun) kata Obama. (twitter.com, 26/6/2015).

Dukungan serupa muncul dari calon presiden AS Partai Demokrat, Hillary Clinton. “Proud to celebrate a historic victory for marriage equality—& the courage & determination of LGBT Americans who made it possible.” (Saya bangga dapat ikut merayakan kemenangan bersejarah demi mencapai kesetaraan pernikahan ini –& keberanian serta tekad warga LGBT Amerika-lah yang membuat hal demikian menjadi mungkin) kata Hillary. (twitter.com, 26/6/2015).

Dilegalkannya pernikahan sesama jenis di AS, sebenarnya berbanding lurus dengan kondisi objektif masyarakat AS itu sendiri, yang beberapa tahun ini memang menunjukan dukungan yang tinggi terhadap LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender).

Tengok saja misalnya, survei Pew Research Center yang dirilis Maret 2014, menyatakan bahwa 54 % warga AS mendukung pernikahan sesama jenis, hanya 39 % yang menolak, dan sisa 7 % tidak tahu. (pewresearch.org, 7/3/2014). Tren ini semakin meningkat hingga 63 % pada tahun 2015 sebagaimana dirilis CNN/ORC International pada Februari kemarin. (cnn.com, 19/2/2015).

AS tentunya bukan negara Barat pertama yang mengesahkan hukum kontroversial ini. Menurut laporan washingtonpost.com (26/6/2015), ada lebih dari 20 negara yang melegalkan hal tersebut, diantaranya: Belanda (2001), Belgia (2003), Kanada (2005), Spanyol (2005), Afrika Selatan (2006), Norwegia (2009), Swedia (2009), Portugal (2010), Argentina (2010), Islandia (2010), Denmark (2012), Brazil (2013), Inggris (2013), Prancis (2013), Selandia Baru (2013), Uruguay (2013), Luxemburg (2014), Skotlandia (2014), Finlandia (2015), Slovenia (2015), Irlandia (2015), dan Meksiko (2015).

Peristiwa legalisasi pernikahan sesama jenis di AS dan negara Barat lainnya, sejatinya menunjukan kepada dunia secara pasti betapa rusaknya masyarakat yang dibangun dengan tatanan Demokrasi. Dengan mekanisme demokratis pelaku LGBT bisa bebas dan menyebarkan virusnya. Maka tak berlebihan jika kita sebut bahwa demokrasi telah membangkitkan kaum Luth modern.

Awas Kampanye Barat

Sebenarnya Amerika sendiri sebagai negara Demokrasi, sudah sejak lama melakukan kampanye mendukung LGBT, hal ini dimulai sejak Januari 2009, ketika HIllary Clinton masih menjadi menlu, dia mengarahkan Departemen Luar Negeri AS agar mendukung penuh diciptakannya sebuah agenda HAM yang komprehensif, yakni agenda yang meliputi perlindungan terhadap kaum LGBT. Deplu AS menggunakan segala perangkat diplomatik dan berbagai fasilitas bantuan pembangunannya untuk mendorong dihapuskannya kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum LGBT di seluruh dunia. (www.state.gov, 6/12/2011).

Sesuai dengan visi Menlu Clinton kala itu, Kedutaan Besar AS di Jakarta pun sejak 2011 telah berusaha mengintegrasikan hak-hak kaum LGBT melalui beragam upaya untuk mendukung HAM di Indonesia. (indonesian.jakarta.usembassy.gov, 15/05/12).

Karena itu bisa dikatakan, legalisasi pernikahan sesama jenis di AS, merupakan momentum propaganda Barat dalam memperkokoh tatanan Demokrasi dan menyebarkan kebebasan (liberalisme) di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Maka jangan heran, jika setelah ini akan semakin bermunculan propaganda besar-besaran dukungan terhadap LGBT di negeri muslim terbesar ini. Hingga akhir tahun 2013 saja, terdapat dua jaringan nasional organisasi LGBT yang terdiri dari 119 organisasi berlokasi di 28 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia (Lihat: Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia, UNDP. www.id.undp.org, 2014: 57).

Pelaku LGBT beserta para pendukungnya bisa bergerak bebas dan menyebarkan pikiran tak beradab tersebut, justru tentunya setelah mendapat justifkasi dari ide liberalisme, berupa kebebasan berekspresi dan berperilaku; berdasarkan ideologi sekuler yang menafikan agama dari kehidupan. Hal ini dilegitimasi juga oleh ide HAM, dan dilestarikan negara Demokrasi. Jadi, selama Indonesia menerapkan Demokrasi, maka ancaman propaganda LGBT akan terus menusuk sendi-sendi kehidupan umat Islam di Indonesia. []

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar: