Minggu, 07 Oktober 2012

Nafkahi Isteri



Sebelum mengulas tentang judul di atas, saya akan berbagi cerita pengalaman saya sewaktu di Makkah saat umrah. Saat itu pukul 11 menjelang siang di bulan Ramadhan, suhu cua
ca mencapai 48 derajat Celcius. Memilih menanti zuhur dengan berdiam dalam masjid ketimbang plesiran di bawah terik matahari membawa saya pada perkenalan dengan seorang BMI asal Tasikmalaya, sebut saja ibu Mien. Ibu Mien bercerita bahwa ada beberapa laki-laki Arab yang memperlakukan isteri-isterinya (mayoritas di negara Arab, laki-laki beristeri lebih dari satu) dengan baik. Mereka memberikan secara adil uang belanja dan uang nafkah kepada isteri-isterinya secara adil. Laki-laki di Arab, membedakan uang belanja dengan uang nafkah. Apa bedanya ?
Uang belanja adalah uang sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan belanja, uang saku anak-anaknya. Sedangkan uang nafkah adalah memberikan sebagian harta yang dimilikinya, seperti tanah, kendaraan, tabungan, sebagai wujud tanggung jawabnya sesuai janji ijab qabul. Hal ini dimaksudkan agar isteri-isterinya dapat mandiri dengan memanfaatkan hasil nafkah yang diberikannya untuk keperluan pribadinya. Sehingga tidak berkesan isteri seolah hanya 'pelayan rumah tangga' atau 'pengemis' saat meminta satu keinginan dari sang suami. Kadang dalam sekali sebulan, mereka mengajak isteri-isterinya itu pergi bersama, misalkan ke toko emas. Di sanalah suami membebaskan isteri-isterinya untuk membeli apa yang di inginkannya. Sebagai wujud upaya menafkahi bukan membelanjai. Beda tipis maksud tapi luas pemahamannya. Saya cukup terpana dengan uraian ibu Mien. Betapa kalimat 'menafkahi' di sini begitu luas artinya. Langsung kesempatan ini saya pergunakan untuk berdoa di rumah-Nya agar mendapat suami yang mampu 'menafkahi'. Alhamdulillah, sesuatu. Ketip-ketip.

Begitulah, lepas sholat zuhur saya terlibat banyak pembicaraan mengenai rukun nikah. Kebetulan ibu Mien fasih berbahasa Arab, maka kesempatan tidak saya sia-siakan untuk bertanya tentang Nafkah tersebut dalam Islam. Kenapa sih saya matre banget membahas masalah nafkah? Kalau sudah cinta tokh susah senang ditanggung bersama? Ingat lagu dangdut "percuma saja berlayar kalau kau takut gelombang..nananana, dst".

Baik, saya seling dulu dengan menjawab pertanyaan itu. Kenapa saya matre? Begini, ilmu sewaktu saling mencinta terkadang absurd. Ada tapi tak nyata. Kita tahu tapi tak mau tahu. Permasalahan muncul saat hasil cinta, buah hati dan peran sosialisasi dan kewajiban lain yang harus dipenuhi sejalan dengan tujuan tidak saling menzalimi. Bagaimana kita bisa bercinta sedang kewajiban utama mendidik anak misalnya terkendala dengan kemiskinan, bukankan mengentaskan anak menjadi sholeh/ sholeha menjadi kewajiban kepada sang khalik? Bila sampai terlantar, bukankah itu menzalimi buah hati sendiri? Oleh sebab itu, mari kita nyanyi lagi (lho), "sebelum terlanjur, pikir-pikirlah dulu...sebelum engkau menyesal kemudian...naninuninaninu..dst."

Ibu Mien mengulas pendapat singkatnya tentang nafkah dari empat mazhab terkemuka, yaitu :

a. Madzhab Maliki

Nafkah ini wajib diberikan kepada istri yang tidak nusuz. Jika suami ada atau masih hidup tetapi dia tidak ada ditempat atau sedang bepergian suami tetap wajib mengeluarkan nafkah untuk istrinya.

b. Madzhab Hanafi

Pendapat Imam Hanafi menyebutkan bahwa nafkah wajib diberikan kepada istri yang tidak nusuz. Tetapi jika suami masih hidup dia tidak berada ditempat maka suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istri.

c. Madzhab Syafi'i

Menurut Imam Syafi'i hak istri sebagai kewajiban suami kepada istrinya adalah membayar nafkah. Nafkah tersebut meliputi, pangan, sandang, dan tempat tinggal. Mengenai ukuran nafkah yang wajib diberikan kepada istri berdasarkan kemampuan masing-masing. Adapun perinciannya yakni jika suami orang mampu maka nafkah yang wajib dikeluarkan setiap hari adalah 2 mud (saya misalkan 100 ribu/hari untuk yang mampu), menengah 1 ½ mud (75 ribu/hari), dan jika suami orang susah adalah 1 mud (50 ribu/hari). Nafkah tersebut wajib diberikan kepada istri yang tidak nusuz selama suami ada dan merdeka. Merdeka ini artinya waspada untuk menjauhi kejahatan supaya tidak di penjara. Kecuali mau lari dari tanggung jawab, masuk penjara saja. Heheu (just kiding).

d. Madzhab Hambali

Menurut Hambali suami wajib membayar atau memenuhi nafkah terhadap istrinya jika pertama istri tersebut sudah dewasa dan sudah dikumpuli oleh suami, kedua, istri (wanita) menyerahkan diri sepenuhnya kepada suaminya. Nafkah yang wajib dipenuhi oleh suami meliputi makanan, pakaian, dan tepat tinggal. Memberikan makanan ini wajib, setiap harinya yaitu dimulai sejak terbitnya matahari. Sedangkan mengenai nafkah yang berwujud pakaian, dll., itu disesuaikan dengan kondisi perekonomian suami, untuk tempat tinggal kewajiban disesuaikan menurut kondisi suami.

Lantas ingatan saya melayang ke tetangga saya, mpok Ipeh. Saya pernah lihat kehidupannya yang mengandalkan cinta nafsu tanpa mempelajari tujuan pernikahan tampak kusam. Sejak jam 3 pagi bekerja, suami tidur, tak ada rokok di bentak. Pulang malam, suami selingkuh. Duh, komplit banget derita hidupnya.

Oleh karena itu sahabat tercinta, nafkahilah isteri untuk memuliakannya. Besar kecilnya tertu tergantung kemampuan. Insyaallah kita menjadi umat yang selalu mendapat ridha dan rahmat-Nya. Aamiin.

(Ilustrasi: Internet)

Tidak ada komentar: