Minggu, 13 September 2015

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Ya Rabb, masih adakah kebaikan bagi diri yang suka mencela dan lisan yang suka menista ini? Maha Suci Engkau, ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu. Kepada-Mu hamba memohon ampun atas segala dosa.
Gemetar diri ini tatkala mendapati nasehat Fudhail bin ‘Iyadh rahimahuLlah ta'ala. Masih patutkah diri ini disebut mukmin jika hanya karena tidak satu pandangan organisasi, lalu mencela dan menyakiti. Fudhail bin 'Iyadh berkata:
والله ما يحلُّ لك أن تؤذي كلبا ولا خنزيرا بغير حق فكيف تؤذي مسلماً
“Demi Allah, tidak halal bagimu menyakiti anjing dan babi tanpa alasan yang benar, tapi mengapa engkau menyakiti seorang muslim?!”
Lalu, jika anjing dan babi pun tidak patut kita sakiti tanpa alasan yang haq, lalu atas alasan apa kita memudahkan lisan untuk menyakiti muslimin? Padahal dalam kedudukannya sebagai manusia saja, sungguh manusia adalah makhluk Allah Ta'ala yang paling sempurna.
Fudhail bin 'Iyadh juga pernah berkata:
لو أني أعلم أن لي دعوة مستجابة لصرفتها للسلطان
“Seandainya aku tahu bahwa aku memiliki doa yang mustajab (yang dikabulkan), maka aku akan gunakan untuk mendoakan penguasa.”
Mendo'akan kebaikan bagi penguasa tidak ada ruginya. Jika Allah Ta'ala kabulkan sementara ia pemimpin yang menurut kita sangat buruk, maka kebaikan itu juga untuk kita. Mendo'akan penguasa itu bukan berarti mendatanginya, tetapi mendo'akan sepenuh ketulusan di saat ia tidak mendengarnya. Bukankah kita memohonkan pinta itu kepada Allah Ta'ala Yang Maha Mendengar?
Adapun menasehati penguasa, sungguh yang demikian termasuk salah satu kebaikan yang disukai agama. Menasehati penguasa, memberi masukan dan bahkan teguran untuk hal-hal yang berkait dengan tugasnya sebagai penguasa. Bukan mentertawakan dan mengolok-olok. Lebih-lebih jika berhubungan dengan perbuatan Allah Ta'ala, semisal kondisi fisiknya.

Tidak ada komentar: