Sabtu, 13 Oktober 2012

Ketika Virus Pornografi Meracuni ABG-ku


Ini kisah tentang putra sulungku. Anak yang sedang beranjak dewasa. Anak Baru Gede (ABG) demikian orang biasa menyebutnya. Usianya 14tahun. Sekarang naik kelas IX. Usia yang katanya mencari jati diri. Selalu ingin tahu dan coba-coba. Tentang segala hal, tak terkecuali tentang seks.
Sejujurnya, awalnya  aku orang tua yang tabu membicarakan persoalan seks secara gamblang pada anak. Entah kenapa, perasaan risih selalu mendera bila memulai untuk berbicara masalah ini. Karenanya ketika kelas VI SD, ia kuikutkan menjadi peserta seminar seks pra remaja, yang diadakan oleh Yayasan Buah Hati, pimpinan psikolog ibu Elly Risman. Lembaga yang sangat concern menjadi pemerhati masalah seks bebas di kalangan remaja.
Aku pikir dengan begitu bekalnya sudah cukup. Hingga aku tak perlu mengulang kembali menjelaskan hal yang kuanggap tabu itu. Karena seminar itu pasti akan membuka wawasannya tentang apa dan bagaimana seks pada kehidupan remaja. Menjadikannya mawas diri untuk tidak berbuat hal yang menyimpang. Membukakan pikirannya akan akibatnya buruk seks bebas yang bisa  merugikan dirinya sendiri. Karenanya aku merasa aman-aman saja. Pikirku anakku telah cukup terlindungi.
Sampai pada suatu hari, saat bersantai dikamar, ponsel anakku tergeletak begitu saja di tempat tidurku. Iseng aku membukanya. Bak disambar petir disiang bolong, betapa terkejutnya,  ketika kutemukan jejak konten porno yang belum diclose setelah diakses. Entah ia lupa. Hingga bisa begitu cerobohnya meletakkan ponselnya dikamarku. Awalnya apa yang kulihat tampak samar dan kurang jelas, mengingat sebenarnya itu bukan ponsel canggih berlayar besar. Hanya ponsel sederhana berlayar kecil, namun memang ada fitur untuk browsing internet didalamnya.
Saat itu panik tak terkira. Lemas seketika. Bingung dan gelisah. Bertanya-tanya didalam hati sudah berapa jauh anakku mengenalnya. Akupun kembali mengingat prilaku anakku akhir-akhir ini. Yang kerap senang mengurung diri berlama-lama mengunci kamar bersama ponsel kesayangannya. Begitu sering mengisi pulsa senilai 5 ribu rupiah, hanya untuk browsing katanya. Prestasi dan nilai pelajaran di sekolahnya juga menurun drastis. Pantas saja pikirku.
Dari seminar ibu Elly Risman juga aku tahu bahayanya konten porno yang meracuni anak jauh lebih dahsyat dari bahaya narkoba. Kerusakan otak akibat kecanduan pornografi adalah yang paling berat, lebih berat dari kecanduan kokain, Adiktifnya berkali lipat. Pornografi mengenalkan fantasi seksual sebelum waktunya. Memapar jiwa anak-anak belia yang belum siap menerimanya.
Pornografi menimbulkan perubahan konstan pada neorotransmiter, melemahkan fungsi kontrol, juga menimbulkan gangguan memori. Ini yang membuat mereka yang sudah kecanduan tidak bisa lagi mengontrol perilakunya. Perubahan ini memang tidak instant dalam waktu singkat tapi perlahan melalui beberapa tahap yakni kecanduan yang ditandai dengan tindakan impulsif, ekskalasi kecanduan dan akhirnya penurunan perilaku. Dan yang lebih dahsyat, porngrafi dapat memperburuk kemampuan kesehatan fisik, mental, sosial dan disertai pula penurunan kemampuan intelegensia secara umum.
Sebagai anak sulung, tentu banyak harapan indah kusandarkan padanya. Klise mungkin. Menjadi  anak sholeh, berbakti, dan bisa menjadi panutan bagi kedua adikknya. Ya…sederet doa dan harapan yang lazim dicita-citakan kebanyakan orang tua. Untuk itu sejak dini ku masukkan dia ke SD Islam Terpadu, sebagai upaya agar fondasi keagamaannya terpatri kuat dalam dirinya. Kupikir waktu 6 tahun cukuplah untuk menancapkan nilai moral di sekolah dasar berbasis agama. Selain itu dirumah aku mendatangkan guru les mengaji, baca dan hafal Al Qur’an. Karena, bila belajar denganku ia segan dan tak mau tertib. Berbeda bila diajar seorang guru. Aku juga tak memberinya fasilitas ponsel selama ia di Sekolah Dasar.
Ketika lulus SD, anakku diterima di SMP Negeri. Inginnya memasukkannya ke pesantren. Kupikir bila bersekolah di SMP Neheri, sayang bila hafalan-hafalan Qur’annya akan hilang menguap begitu saja. Karena selama di SDIT dia berhasil menghapal 3 juz Al Qur’an. Alhamdulillah. Dan aku tahu pasti ini tak mudah. Tapi  anakku tak bersedia masuk pesantren. Hingga aku tak bisa memaksanya dan akhirnya mengijinkannya bersekolah di SMP Negeri. Selama di SMP Negeri, demi menjaga tilawah dan hafalan Qur’annya aku tetap memanggilkan guru kerumah, seminggu 3 kali. Demikian upayaku menjaga fitrahnya agar tetap hanif, lurus, dan bersih.
Namun apa lacur, semula kupikir semua yang kuproteksi dirumah, semua upayaku memberi bekal, akan mampu menjaganya dari gempuran pornografi diluar sana. Ternyata aku salah besar. Ia justru terpapar semua itu  dari lingkungan sekolah yang menjadi tempatnya menimba ilmu. Dan semua paparan virus itu mengalahkan suntikan imun berlabel iman yang telah kutanamkan padanya sejak kecil. Ternyata ia tidak steril adanya. Jujur aku shock. Aku merasa sudah menjaganya bak menjaga batu pualam.  Kuasuh dengan sangat hati-hati. Namun toh aku kecolongan juga. Satu lagi tantangan menjadi orang tua. Pengalaman buruk ini mengajarkanku.
Perlu waktu lama untuk merenung atas apa yang terjadi. Betapa naifnya aku selama ini. Saat itu, aku tak langsung mencari dan menginterogasi sulungku. Keterkejutan dan kesedihan yang mendalam begitu menyesakkan dadaku. Hingga aku rehat sejenak. Berdiskusi dengan ayahnya. Berkonsultasi pada guru mengajinya. Bagaimana menyelesaikan semua ini. Akhirnya diputuskan akulah yang harus bicara padanya. Karena memang dia lebih dekat padaku.
Selang kurang lebih 1 minggu, saat ada waktu lengang, aku ajak sulungku berbicara dari hati ke hati. Sebagai teman dan sahabat. Saat itu tak ada lagi kemarahan dihatiku. Aku lebih tenang menghadapinya. Setelah menyampaikan prolog, aku langsung bertanya to the point padanya tentang segala kekhawatiran akan prilakunya. Tentu saja ia kaget dan risih. Awalnya ia mengelak, dan seperti takut untuk ditanya lebih lanjut. Namun aku meyakinkannya kalau aku takkan marah bila ia jujur dan berterus terang. Begini kira-kira sekilas dialogku dengannya.
Ummi  :   Boleh tau ga, bang? Berapa sering Abang liat konten porno itu?
Abang :  Ya…udah beberapa kali, Ummi…
Ummi :  Liat konten apa aja? Video atau foto??
Abang :  Hmm…2-2 nya ummi…(sambil terus menunduk)
Ummi :  O…(sambil berusaha tetap tenang). Darimana Abang tau gambar dan video itu?
Abang : Dari teman, Ummi. Yang gambar dikirim lewat bluetooth, websitenya juga dikasih tau temen…waktu itu awalnya pas rame video Ariel, Ummi…
Ummi :  Hmmm… (nahan nafas). Terus…kalo udah nonton, Abang mau apa?
Abang : Ya…pengen juga kayak gitu, tapi ga tau harus gimana…(makin menunduk menyembunyikan wajahnya)
Aku mau pingsan lagi mendengar pengakuan lugunya. Tapi berusaha untuk tetap tegar dihadapannya..
Sambil menahan tangis…bla bla..bla…kunasehati ia dengan sepenuh sayangku akan bahaya pornografi yang kutahu. Aku bukakan padanya situs yang menceritakan bahaya pornografi bagi seorang anak remaja sepertinya. Kusuruh ia membacanya, kemudian kami berdiskusi membahasnya. Semua kubuka saja. Tanpa tedeng aling-aling lagi. Toh aku pikir ia sudah tahu semua yang terlarang selama ini. Dengan sepenuh hati pula aku memeluknya, dan mengatakan betapa aku sayang padanya, tak ingin ia terperosok dalam keburukan.  Dan minta ia berjanji memutus semua prilakunya demi masa depannya sendiri.
Abang : (kali ini sambil menangis) Maafin Abang ya, Ummi… Abang janji ga akan berbuat lagi. Abang malu sama Ummi. Malu juga sama Allah. Ini HP-nya Ummi sita aja. Abang ga mau pake HP lagi, ga internetan di warnet lagi, kalo ngenet dirumah aja, Ummi liatin aja deh. Abang janji, Abang ga mau kecewain Ummi lagi… Beneran, Ummi… Abang janji…
Tangisnya terus berurai..
Demikian sekilas dialogku dengannya. Sesaat lega karena bisa mengorek kejujuran darinya . Betapapun pahit mendengarnya, itu adalah tamparan sekaligus tantangan bagiku dalam menjalani lakon sebagai orang tua. Apa yang kuberi selama ini padanya, ternyata masih jauh dari cukup. Kejadian ini menggambarkan betapa menjadi orang tua di era ini tidaklah mudah . Orang tua perlu menjadi sahabat bagi anak. Menjadi teman yang menyenangkan untuk diajak bicara.
Sejak itu aku selalu memantau hari-harinya. Pulang sekolah tepat waktu. Akupun memfasilitasinya untuk menekuni hobinya memelihara binatang dan bermain gitar. Aku jadikan ini terapi pemulihan bagi ingatan buruknya.
Seperti saat ini ia sedang hobi memelihara hamster. Hingga hari-harinya sepulang sekolah banyak dihabiskan bermain sambil mengurus binatang peliharaannya. Hamsternya berkembang biak. Dari 2 ekor menjadi puluhan ekor. Ia tak lagi senang berlama-lama mengurung dirinya dikamar. Seperti sebelum kejadian ini. Tak lagi minta uang untuk mengisi pulsa sekedar untuk browsing. Ia juga yang meminta dibelikan ponsel yang tak ada fasilitas multi medianya. HP yang hanya bisa digunakan untuk ber-sms dan telepon. Ia menepati semua janjinya. Tentu saja aku senang dengan semua perubahannya.
Sejak itu pula, sepenuh hati kutemani hari-harinya hingga ia menjadi semakin dekat denganku. Sering ia bermanja tidur dipangkuanku, terkadang minta difacial wajahnya, karena sudah mulai berjerawat.  Kini aku benar-benar sahabat baginya. Akupun leluasa dan tak canggung lagi bertanya mengenai teman-temannya dan siapa wanita yang ditaksirnya. Meski masih malu-malu bercerita, aku tetap bersyukur semua hal buruk itu berlalu. Tak henti aku berdoa, semoga Allah berkenan menghapus semua gambaran buruk itu dari pikirannya. Mengembalikan lagi ia pada fitrah sucinya.
Akhirnya, aku hanya mampu memohon pada Sang Maha Pemilik. Semoga Allah menjaga anakku selalu. Dimanapun ia berada. Tak mungkin aku mengekornya setiap saat. Tak mungkin mengawalnya 24jam. Aku hanyalah orangtua yang dititipkan. Pasti tak berdaya melawan derasnya arus informasi yang mengepung kehidupannya. Hanya mampu memberinya bekal Iman dan Taqwa. Hanya punya sejumput cinta, untuk mengantarnya menuju kehidupan esoknya yang gemilang…      
   
    Aulia Guardi

Akhir Tragis Sang Penyelamat Republik

 Akhir Tragis Sang Penyelamat Republik

triharyo.com
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 30 September 1965 tidak terlepas dari melemahnya kekuatan Islamis dan semakin condongnya rezim Soekarno pada komunisme. Kesempatan besar itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Partai Komunis Indonesia untuk merebut tampuk kekuasaan dalam rangka mencengkeram Republik dengan paham atheisme dan komunisme.
Jauh sebelum memiliki kesempatan untuk memberontak secara nasional, PKI memiliki musuh yang tangguh, yakni kelompok yang membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PDRI dan PRRI) . Kami nukilkan secara utuh sejarahnya dari Majalah Suara Hidayatullah edisi November 2008.
***
PDRI terbentuk, ketimpangan antara daerah dan pusat malah mencolok. Pusat acuh tak acuh kepada daerah. Protes pun menjadi marak
Dalam untaian sejarah Indonesia, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) tak bisa dipisah satu sama lain. Kedua peristiwa ini bagai mata rantai yang saling melengkapi.
PDRI dibentuk pada 19 Desember 1948 di Bukittingi, Sumatera Barat, oleh Syafruddin Prawiranegara. Sedang PRRI dicetuskan 10 tahun kemudian, tepatnya tanggal 15 Pebruari 1958, di Padang, Sumatera Barat, oleh Ahmad Husein. Syafruddin sendiri kemudian diangkat sebagai Perdana Menteri dalam pemerintahan yang baru ini.
Ihwal terbentuknya PDRI bermula ketika Belanda melancarkan agresi kedua dengan menduduki ibukota negara yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta. Ketika itu, Belanda juga menawan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Beberapa jam sebelum ditawan, Soekarno sempat menyurati Syafruddin selaku Menteri Kemakmuran RI yang saat itu sedang menjalankan tugas di Bukittinggi, Sumatera Barat. Surat itu berisi mandat kepada Syafruddin agar segera membentuk PDRI. Tanpa ada hambatan, sehari setelah itu, pemerintahan darurat terbentuk.
Perjalanan PDRI selanjutnya jelas tak mulus. Syafruddin dan kawan-kawan terus diburu Belanda yang tak senang dengan berdirinya pemerintahan baru. Roda pemerintahan terpaksa digerakkan dengan cara bergerilya di hutan-hutan Sumatera Barat.
Upaya Syafruddin menyelamatkan bangsa dari ketiadaan pemerintahan boleh dikata berhasil. Melalui pemancar radio di Koto Tinggi, PDRI telah membukakan mata internasional untuk mengakui kedaulatan RI.
Agresi militer Belanda berhenti. Soekarno dan Hatta dibebaskan. PBB mengakui kedaulatan Indonesia.
Seiring keberhasilan ini, cerita tentang PDRI juga ditutup dengan happy anding yang mengharu-biru. Setelah dijemput oleh Muhammad Natsir ke Payakumbuh, Syafruddin berangkat ke Yogyakarta untuk mengembalikan mandat pemerintahan kepada Presiden Soekarno.
Di Lapangan Koto Kaciak, keberangkatan Syafruddin dilepas dengan tangis haru ribuan masyarakat dan para pejuang yang telah berbulan-bulan keluar masuk hutan demi menyelamatkan PDRI. Selama berada di hutan, mereka mengandalkan budi baik masyarakat yang kerap mengirimi mereka nasi bungkus untuk menunjang hidup.
Sejarawan Dr Mestika Zed menyatakan, negara dan pemerintahan Indonesia tidak akan ada tanpa PDRI. “PDRI adalah pemerintah darurat yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara sebagai bentuk kesuksesan orang daerah menyelamatkan negara dari ancaman disintegrasi bangsa dan kembali menyerahkan tampuk kekuasaan setelah tugasnya selesai.” kata Mestika.
Pengembalian mandat PDRI oleh Syafruddin kepada Soekarno ternyata bukan awal bagi terwujudnya pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita proklamasi. Sebaliknya, ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah kian menganga.
Ketika Presiden Soekarno menggulirkan proyek pembangunan Tugu Monas serta berhala-berhala lain di Jakarta, rakyat di daerah, baik di Jawa maupun di luar Jawa, justru kian dibelenggu oleh kemiskinan, kelaparan, dan didera penyakit tukak dan cacing tambang.
Akibat ketimpangan itu, gelombang ketidakpuasan di daerah mulai membesar. Di Bukittinggi, bekas ibukota PDRI, misalnya, untuk pertamakali terjadi unjuk rasa yang diikuti 10 ribu orang. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Demontrasi Nasi Bungkus”.
Istilah “Nasi Bungkus” menggambarkan simbol bahwa rakyatlah yang dulu mendukung tentara dengan logistik sehingga tetap bisa mempertahankan PDRI hingga bangsa ini bisa terselamatkan.
Berawal dari Dewan Banteng
Bersamaan dengan kian memuncaknya protes atas ketimpangan pembangunan wilayah pusat dan daerah, pada Desember 1956 berdirilah Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, dan Dewan Garuda di Sumatera Selatan.
Bermunculannya dewan-dewan itu merupakan wujud ketidakpuasan daerah kepada pemerintah pusat atas penciutan struktur militer dan kian diberi tempatnya PKI di pemerintahan. Saat itu Soekarno dinilai lebih condong ke “kiri“.
Menurut Kahin (1979), Resimen 6 Devisi IX Banteng sebelumnya merupakan pasukan terbaik di Sumatera. PRRI kala itu menunjuk Ahmad Husein sebagai panglima pasukan ini.
Namun, nasib Divisi Banteng menjadi kucar-kacir ketika pemerintah Soekarno melaksanakan penyerderhanaan struktur militer secara nasional.
Kemudian, perwira Akademi Militer Hukum di Jakarta, Jusuf Nur dan Djamhuri Djamin, pengusaha Ramawi Izhar, serta Badar Gafar dari pusat pendidikan infanteri, berencana menggelar reuni mantan Divisi Banteng, baik yang masih aktif maupun yang tidak.
Rencana reuni dimatangkan dalam dua kali pertemuan. Pertama, di Jakarta pada 21 September 1956. Kedua, di Padang, Sumatera Barat, pada 11 Oktober 1956.
Reuni akhirnya terlaksana di Padang tanggal 20 hingga 24 Nopember 1956. Reuni ini membahas masalah politik dan sosial ekonomi rakyat di Sumatera Tengah.
Reuni dihadiri sekitar 612 perwira aktif dan pensiunan. Reuni membuat sejumlah rekomendasi, yakni perbaikan masalah kepimpinan negara secara progresif dan radikal, perbaikan kabinet yang telah dimasuki unsur komunis, penyelesaian perpecahan di tubuh Angkatan Darat, pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Sumatera Tengah, serta menghapuskan birokrasi sentralistik. Rekomendasi ini dinamakan tuntutan Dewan Banteng.
Selain itu dibentuk pula dewan yang bertugas menindaklanjuti dan memperjuangkan hasil reuni ini. Dewan tersebut bernama Dewan Banteng, terdiri dari unsur militer, pemerintah daerah, alim ulama, dan pemuka adat. Jumlahnya ada 17 orang, mengacu pada semangat proklamasi 17 Agustus 45.
Tetapi oleh PKI dan sebagian tokoh PNI, rumusan perjuangan Dewan Banteng itu dicap sebagai pemberontakan. Ahmad Husein, ketua Dewan Banteng, langsung membantah tuduhan ini. Ia berpidato di depan corong Radio Republik Indonesia Padang, mengutarakan bahwa perjuangan Dewan Banteng bukan untuk memberontak, justru untuk membela keutuhan Republik Indonesia dan menegakan konstitusi.
Dewan Banteng menilai Soekarno telah mengkhianati konstitusi dengan membubarkan konstituante. Soekarno juga dikecam karena kian memihak kepada komunis. Puncaknya adalah mundurnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956. Ia tidak setuju dengan cara Soekarno mengatasi keadaan negara.
Sayangnya, peristiwa itu tak membuat Soekarno mengoreksi sikapnya. Malah, aksi pelemparan granat pada malam 30 Nopember 1957, di saat Soekarno menghadiri ulang tahun sekolah Cikini, tempat anaknya bersekolah, dijadikan alasan untuk menangkapi lawan-lawan politiknya dan mengeluarkan Dekrit Presdien 5 Juli 1959. Dekrit ini berisi permintaan agar konstituante hasil Pemilu 1955 dibubarkan.
Pasca peristiwa Cikini, Jakarta menjadi bara api yang setiap saat siap membakar para lawan politik Soekarno, terlebih bagi siapa saja yang sejak awal telah menentang keberadaan PKI. Surat kabar yang menjadi corong PKI seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti, Bintang Timur dan Harian Pemuda menuding sejumlah tokoh politik dari partai Masyumi dikait-kaitkan dengan peristiwa Cikini. Mereka kemudian diteror dan diancam akan dihabisi.
Rumah Mohammad Rum sempat dikepung massa. Untunglah Rum dan keluarganya selamat. Demikian juga rumah Natsir. Para politisi dari partai Masyumi merasa tidak aman lagi tinggal di Jakarta. Satu demi satu mereka ‘hijrah’ ke daerah. Bahkan, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI), turut hijrah ke Padang.
Jadi, kedatangan Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap ke Padang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan terbentuknya Dewan Banteng atau berbagai gerakan protes yang sedang marak di daerah.
“Pak Natsir dan sejumlah tokoh Masyumi murni mengungsi ke daerah untuk menyelamatkan diri dari aksi penculikan,” ungkap Dt Tankabasaran, pengawal Natsir pada waktu itu.
Namun, Soekarno tidak peduli. Para tokoh Masyumi tetap dianggap ikut memberontak.
Pemberontakan Setengah Hati
Tokoh Masyumi mampu meredam keinginan masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI. Namun, Soekarno tetap menilainya sebagai pemberontak.
Gagasan melawan Soekarno yang dituduh kian condong pada PKI semakin menguat ketika para tokoh militer dan politisi sipil mengadakan rapat rahasia di Sungai Dareh, Sumatera Barat. Rapat rahasia itu berlangsung dalam dua putaran.
Putaran pertama tanggal 8 Januari 1958, dihadiri tokoh-tokoh militer plus seorang politisi sipil Soemitro Djojohadikoesoemo. Rapat putaran pertama ini penuh semangat ‘kemarahan’ kepada pemerintah pusat. Bahkan, sempat terlontar beberapa kali ancaman akan memisahkan diri dari NKRI dan mendirikan negara Sumatera jika pemerintah pusat tak mau berbenah.
Untunglah, dalam rapat kedua tanggal 10 Januari 1958, tokoh sipil seperti Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Boerhanuddin Harahap, bisa meredam keinginan itu. Pertemuan tertutup yang disebut rapat rahasia Sungai Dareh itu cuma menyempurnakan susunan pengurus Dewan Perjuangan.
Sebulan setelah rapat rahasia berlangsung, tepatnya tanggal 10 Pebruari 1958, Ahmad Husein, selaku Ketua Dewan Perjuangan, menyampaikan ultimatum kepada pemerintahan Soekarno melalui Radio Republik Indonesia Padang. Ultimatum yang disebut Piagam Perjuangan ini berisi 8 poin tuntutan. Intinya, menuntut agar dalam waktu 5 x 24 jam sejak diumumkannya ultimatum ini, presiden segara membubarkan Kabinet Djuanda.
Tuntutan lainnya, pemerintah harus membentuk Zaken Kabinet Nasional yang jujur dan bersih dari unsur-unsur PKI. Kemudian, Soekarno harus memberi dukungan kepada Zaken Kabinet, dan Hatta bersama Hamengku Buwono harus diberi mandat untuk bertugas di Zaken Kabinet ini.
Jika ternyata Soekarno enggan memenuhi tuntutan ini dan tidak memberikan kesempatan kepada Zaken Kabinet untuk bekerja, maka Dewan Perjuangan menyatakan terbebas dari kewajiban taat kepada Soekarno sebagai kepala negara.
Tak ada satu kalimat pun dalam ultimatum yang menyatakan bakal memisahkan diri dari Republik Indonesia. Saat ditanya oleh Kapten Zaidin Bakry apa yang akan dilakukan Dewan Perjuangan ke depan, Husein sama sekali tak menjawab bakal mendirikan negera sendiri. Ia hanya menjawab, “Kita buat organisasi. Kita gertak Soekarno sampai kelak dia undang kita untuk membicarakan nasib bangsa ini.”
Namun, ultimatum yang hanya sekadar ”gertakan sambal” itu tidak membuahkan hasil. Esok harinya, 11 Februari 1958, di Jakarta, Djuanda mengumumkan menolak ultimatum Dewan Perjuangan. Bahkan, ia memerintahkan KSAD untuk memecat Letkol Ahmad Husein dan Kolonel Simbolon dari kemiliteran, membekukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah (KDMST), serta memutuskan hubungan darat dan udara dengan Sumatera Tengah.
Sikap yang ditunjukkan Djuanda ini jelas memberi jawaban bahwa ultimatum tak akan dipenuhi. Bahkan, Djuanda memberikan reaksi yang sangat keras.
Itu berarti, tak ada lagi jalan menuju negosiasi. Tindakan harus segera dilakukan. Maka, pada tanggal 15 Pebruari 1958, Husein segera membentuk ”kabinet tandingan” yang berkedudukan di Padang. Mereka juga mengumumkan tak mengakui lagi kabinet Djuanda.
Kabinet baru itu bernama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dalam kabinet itu, Mr Syafruddin Prawiranegara diamanahi sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan. Maludin Simbolon menjabat Menteri Luar Negeri., Kolonel Dahlan Djambek menjabat Menteri Dalam Negeri. Mr Burhanuddin Harahap menjadi Menteri Pertahanan sekaligus Menteri Kehakiman. Dr Soemitro Djojohadikoesemo menjabat Menteri Perhubungan dan Pelayaran.
Adapun Menteri Agama dijabat Saleh Lintang. Menteri Penerangan dijabat Saleh Lahade. Menteri Sosial dijabat A. Gani Usman. Menteri Pertanian dijabat S. Sarumpaet. Menteri Pembangunan dijabat JF Warouw. Dan, Menteri PP&K dijabat Mohammad Syafei.
Tak lama kemudian terjadilah ”tragedi”. Tragedi ini berawal saat Presiden Soekarno pulang dari lawatan ke Eropa Timur dan Peking pada 16 Pebruari 1958. Djuanda langsung menghadap Soekarno dan melaporkan gerakan yang ia sebut ‘pemberontakan’ PRRI di Sumatera Tengah dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi. Hari itu juga keluar perintah Soekarno agar menangkap para tokoh PRRI dan Permesta.
Ancaman penangkapan “dijawab” oleh Ahmad Husein dengan mengelar Rapat Umum PRRI di Padang pada 20 Pebruari 1958. Di hadapan peserta rapat, Husein menyatakan tidak gentar dengan ancaman Soekarno. Sambil melemparkan tanda pangkatnya ke tanah, Husein berkata, “Apabila saudara-saudara tidak mendukung perjuangan PRRI, maka saat ini juga saudara-saudara boleh menangkap saya dan menyerahkan saya ke pemerintahan Soekarno.”
Beberapa tokoh lalu menenangkan Husein. Tanda pangkat yang tadi dilempar, diambil lagi dan dilekatkan kembali ke tempatnya.
Sejak saat itu dukungan terus mengalir kepada PRRI. Bahkan dilaporkan, sekitar 400 mahasiswa dan pelajar Minang yang sedang kuliah di Jawa memutuskan pulang untuk bergabung bersama Tentara Pelajar (TP), sebuah kekuatan penyeimbang terhadap OPR (Organisasi Pemuda Rakyat) dan OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) bentukan PKI.
Dukungan mayoritas dari masyarakat Sumatera Tengah dan Sumatera Barat terhadap PRRI adalah wajar. Sebab, wilayah ini merupakan basis Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi sendiri banyak yang menjadi tokoh PRRI.
Lagi pula, di Sumatera Tengah, partai Masyumi meraih kemenangan mutlak (58 persen) pada Pemilu 1955, jauh meninggalkan PNI, apa lagi PKI.
Para tokoh PRRI di daerah Sumatera Tengah juga ‘menjawab’ ultimatum Soekarno dengan melancarkan operasi penangkapan terhadap ratusan tokoh ‘kiri’ dan anggota PKI. Mereka ditahan di tiga tempat: Muaro Labuh, Situjuh, dan Suliki.
Keesokan harinya, tanggal 21 Pebruari 1958, Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) mulai melancarkan operasi penumpasan PRRI dengan kekuatan penuh. Operasi ini diberi sandi “Operasi 17 Agustus”, dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani.
Pesawat AURI langsung menghujani Kota Padang dan Bukittinggi dengan bom. Bersamaan dengan itu, puluhan kapal perang membombardir Pantai Padang.
Anehnya, tak ada perlawan dari pihak ”pemberontak”. Tak ada serangan balasan meski mereka bertubi-tubi diserang APRI. Tak ada satu pun ”pemberontak” yang berusaha meletuskan senjatanya. Ada apa gerangan?
Rupanya sehari setelah ”rapat rahasia Sungai Dareh” ditutup, Natsir memberi perintah agar PRRI menerapkan ‘gerakan tanpa perang’ untuk melawan pemerintah Soekarno. Seruan ini betul-betul diikuti.
PRRI bukannya membalas serangan tapi justru mundur ke kampung-kampung, terus ke hutan-hutan. Rute gerakan mundur ini tak jauh berbeda dengan rute perjuangan PDRI dulu, yaitu belantara di sekitar Agam, Pasaman, Payakumbuh, dan Solok.
Inilah adegan ”pemberontakan setengah hati” PRRI.
Balas Dendam Si Palu Arit
Karena PRRI sangat memusuhi komunis, PKI ikut serta dalam operasi penumpasan garakan ini. Korban pun berjatuhan.
Sejatinya, bukan hanya faktor kesenjangan yang menyebabkan PRRI lahir. Namun, hadirnya komunis di Indonesia juga menjadi salah satu sebabnya. Ini bisa diketahui dari ultimatum PRRI yang dikeluarkan tanggal 10 Februari 1958. Isi ultimatum tersebut antara lain menuntut agar pemerintah pusat membersihkan kabinetnya dari unsur-unsur PKI.
Nuansa anti-PKI juga terlihat dari respon pribadi para tokoh PRRI terhadap gerakan komunisme. Simbolon, panglima Tentara dan Teritorium I (TT-I) Bukit Barisan, yang menjabat Menteri Luar Negeri PRRI, misalnya, sejak awal sudah menyadari bahaya komunis mengintai Sumatera Timur.
Perkebunan-perkebunan raksasa yang saat itu berada di bawah pengawasannya rawan untuk disusupi komunis. Sebab, para buruh merupakan ”ladang emas” bagi mereka untuk digarap.
Para buruh yang sudah terasuki paham komunis ini mendirikan organisasi bernama SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Organisasi ini bertugas melumpuhkan usaha perkebunan, transportasi, dan pelabuhan di Belawan, Sumatera Utara, sehingga pemasukan negara terhambat dan pemerintah mengalami kesulitan ekonomi. Rencana berikutnya, mereka akan menuntut kekuasaan.
Begitu pula Saleh Lahade yang menjabat Menteri Sosial di kabinet PRRI. Kewaspadaan perwira yang mendapat tugas mengurusi transmigrasi ini terhadap gerakan komunis sudah ia perlihatkan lewat sebuah tulisan pada 15 Oktober 1957.
Dalam tulisan itu ia tumpahkan semua konsep mengenai cara mengatasi problem yang menimpa Angkatan Darat. Cara itu, menurutnya, menumpas sumber masalah yang menyebabkan pertikaian dalam militer terjadi. Sumber masalah itu tak lain adalah komunis. Tulisan itu selanjutnya ia sampaikan ke Panitia 7 di Jakarta.
Sedangkan Syafruddin Prawinagera yang menjabat Perdana Menteri PRRI, Burhanuddin Harahap yang menjabat Menteri Pertahanan, serta Natsir, adalah tokoh-tokoh Masyumi yang memang amat keras menentang komunis.
Jadi, bisa dimaklumi jika mereka semua kemudian bergabung dengan PRRI ketika “hijrah” ke Padang.
Bahkan, PRRI pernah pula mendapat bantuan persenjataan dari CIA (Central Intelligence Agency) Amerika Serikat karena memusuhi komunis. RZ Leirissa dalam buknya PRRI Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis menilai hubungan ini terbangun karena PRRI dan CIA sama-sama memiliki kepentingan. PRRI memerlukan senjata untuk menghadapai serangan pemerintah pusat, sedangan CIA perlu saluran untuk menggertak Soekarno. Ini bisa dipahami karena Barat sangat memusuhi komunis.
Akan tetapi, setelah AS melihat masih ada sekelompok orang yang anti-komunis di jajaran pemerintahan, dukungan terhadap PRRI dialihkan kepada kelompok ini.
Balas dendam
Dendam PKI kepada PRRI kian lama kian membuncah. Kesempatan untuk membalaskan dendam ini terbuka lebar ketika terjadi operasi penumpasan PRRI. Apalagi setelah Kolonel Pranoto diangkat menggantikan Kolonel Ahmad Yani sebagai Panglima Kodam III dan Komandan Operasi 17 Agustus.
Syafrudin Bahar, dalam Kaharoeddin Gubernur di Tengah Pergolakan, 1998, memaparkan bagaimana Pranoto mengerahkan sekitar 6.341 OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) dan OPR (Organisasi Pemuda Rakyat) untuk menyerang PRRI. Jumlah ini hampir setara dengan sembilan batalyon tentara.
Kenyataannya, OKR menjelma menjadi Pemuda Rakyat yang dijadikan ujung tombak PKI melakukan berbagai teror, intimidasi, dan tindakan brutal. Banyak korban berjatuhan di Minang. Mereka semua pendukung PRRI.
Kebiadaban kian menjadi-jadi dengan ikutnya Mayor Latif sebagai Perwira Seksi I/Intelijen, Letnan Untung (kelak memimpim kudeta G30S/PKI) sebagai Komandan Kompi, dan anggota Biro Khusus Komite CC-PKI, Djajusman. Jadilah penumpasan PRRI sebagai ajang balas dendam menghabisi mereka yang dulu gencar menuntut pembubaran PKI.
Tiap daerah punya cerita hampir sama tentang kekejaman PKI. Pendukung PRRI yang tidak lari ke hutan sering ditemukan dalam karung tanpa kepala atau mata. Di Matur Mudik, tentara pelajar yang dijemput malam oleh OPR banyak yang tak pernah kembali lagi.
Di Mahek Suliki, anggota PRRI yang bersiap kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi ditembaki hingga tewas. Di desa Lariang, Bonjol Pasaman, Kolonel Dahlan Djambek yang bersiap turun gunung memenuhi panggilan pemerintahan Soekarno pada 13 September 1961 diberondong sampai tewas.
Dengan adanya kasus-kasus itu, Amnesti Umum berupa pengampunan dan jaminan keselamatan bagi anggota PRRI yang bersedia keluar hutan, seperti diumumkan Presiden Soerkarno melalui Kepres No 332 tanggal 22 Juni 1961, omong kosong.
Kebiadaban demi kebiadan yang dialami masyarakat Minang benar-benar menimbulkan trauma yang mendalam sampai hari ini. Masyarakat Minang kehilangan inisiatif dan daya kritis. Demikian parahnya rasa trauma itu sampai-sampai tradisi pemberian nama yang berbau Minang sempat dihapus. Banyak putra Minang yang lahir pasca penumpasan PRRI diberi tambahan nama Prayitno, Sutarjo, atau Hamiwanto.
Setelah PRRI jatuh, posisi PKI semakin menguat. Pada tahun 1965, tepatnya tanggal 30 September, partai komunis semakin berani bergerak. Enam pejabat tinggi militer dan seorang pengawal mereka bunuh. Peristiwa ini tersohor dengan sebutan Gerakan 30 September. Rupanya, inilah akhir dari cerita kekejaman ”Si Palu Arit”.

Sumber: Suara Hidayatullah

Stev Jobs dan Kematian : iPhone dan iMuslim

 Steve Jobs dan Kematian: iPhone dan iMuslim

Siapa yang tak kenal Steve Jobs? Si Jenius di balik suksesnya perusahaan teknologi Apple (juga Pixar) ini bisa disepadankan dengan Bill Gates, si Jenius lain di balik suksesnya Microsoft. Keduanya adalah inovator dengan segudang ide brilian dan karya yang mengubah dunia. Dunia maya dengan aneka perangkat dan aksesorinya tak lepas dari buah karya mereka berdua.
Tanggal 5 Oktober 2011, Steve Jobs meninggal dalam usia 56 tahun setelah terdiagnosa kanker pankreas 7 tahun silam.
iPhone menjadi penentu tren ketika ia memperkenalkannya ke masyarakat dunia di awal tahun 2007. Telepon pintar dengan layar sentuhnya itu benar-benar memukau penggemar teknologi dan terjual lebih dari 100 juta keping. Bagaimana ia memperagakan kecanggihan iPhone dengan menggerakkan jari telunjuknya di atas layar untuk menekan tombol atau menggeser tampilan layar dan memperbesar gambar, segera menjadi inspirasi bagi perusahaan lain untuk menghasilkan teknologi dan tampilan serupa. Kini, jutaan produk lain telah muncul dengan berkiblat kepada kesuksesan iPhone.
Jutaan orang telah merasakan manfaat dari karya dan inovasi Steve Jobs. Ide-idenya pun mungkin akan terus menginspirasi orang lain sepeninggalnya. Bagi Steve Jobs sendiri, kesuksesannya itu tentu telah ia rasakan hasilnya di dunia ini. Kekayaannya tak perlu ditanyakan lagi karena kini perusahaan Apple telah mengungguli Microsoft dan menjadi nomor dua perusahaan teknologi terbesar di bawah Exxon Mobile.
Ya, bagi mereka yang menginginkan kesuksesan di dunia ini, Steve Jobs pantas untuk ditiru. Prinsip dan gaya manajerial serta inovasinya sangat khas.
Ia berani gagal: ia pernah didepak dari Apple di masa kejayaannya pada 1985. Tidak semua produk inovasinya sukses di pasaran. Kesuksesan iPhone dianggap sebagian orang meng-kanibali, memakan korban iPod yang telah sukses sebelumnya.
Ia berani sempurna: lihatlah desain-desain produk Apple, sangat keren, sederhana namun elegan. Untuk hal ini ia berani menyewa para ahli desain dan mencoba prototipe produknya hingga maksimal. Para insinyur perancang iPod harus semalaman mengganti colokan headphone berulang-ulang karena Steve Jobs menganggap ‘klik’-nya kurang pas.
Ia tak pernah berhenti belajar: ketika dikeluarkan dari Apple, ia membuat perusahaan baru, tidak hanya bergerak di bidang komputer tetapi juga desain grafis. Ia mempelajari bagaimana Sony mendesain jenis huruf, tata letak dan berat kertas dalam pengepakan produknya. Ia berkeliling ke halaman parkir untuk mempelajari desain badan mobil Jerman dan Italia ketika memikirkan bentuk iMac.
Ia suka kesederhanaan: dalam desain produknya, salah satu elemen utama adalah sederhana, bersih namun elegan. Ia pernah memerintahkan perancang iPod untuk melepas semua tombol termasuk on/off pada desain awal. Para perancang mengeluh, namun akhirnya mereka menemukan ‘roda gulung’ (tombol melingkar) yang menjadi ikon iPod itu.
Kanker yang dideritanya sepertinya memberi kesan mendalam bagi Steve Jobs pribadi. Ia mulai memikirkan kematian, arti kekayaan dan kesuksesan yang sebenarnya. Dalam pidatonya di Universitas Stanford pada 2005, ia menyampaikan sebuah pernyataan indah di bagian akhir:
Karena hampir segalanya – semua harapan dan pujian dari luar, semua kebanggaan, semua ketakutan akan malu atau kegagalan – semua ini akan sirna di depan kematian, meninggalkan hanya satu yang benar-benar penting… Tak ada alasan untuk tidak mengikuti nuranimu.
Hati kecil atau nurani manusia itu cenderung kepada kebaikan dan petunjuk dari Allah, karena sebenarnya ketika kita masih di alam ruh, sebelum dilahirkan melalui rahim ibu kita, Allah telah mengambil sumpah kepada kita semua:
Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari (tulang) belakang mereka dan Dia jadikan mereka saksi terhadap diri mereka sendiri: Bukankah Aku Tuhan kamu? Mereka semua menjawab: Benar, kami menjadi saksi. Yang demikian supaya kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak: Sesungguhnya kami adalah lalai (tidak diberi peringatan) tentang (hakikat tauhid) ini. (Al Isra: 127)
Tak ada alasan untuk tidak mengikuti nuranimu, demikian ujar Steve Jobs. Ungkapan ini mengingatkan kita kepada nasehat Rasulullah saw.:
Dari Wabishah bin Ma’bad ra, ia berkata, “Saya mendatangi Rasulullah saw, lalu beliau bertanya, ‘Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?’ Saya menjawab,’Ya.’ Beliau bersabda, ‘Mintalah fatwa kepada hatimu; kebajikan adalah sesuatu yang jiwamu tenteram kepadanya dan hatimu menjadi tenang, dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal di dalam jiwa dan ragu di dada, meski manusia memberi fatwa kepadamu’” (Imam Nawawi berkata, “Hadits hasan, kami meriwayatkannya dalam dua kitab Musnad; Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi dengan isnad hasan“).
Jika saja Steve Jobs seorang muslim, semua karya, inovasi dan ide-idenya akan menjadi ladang pahala yang tak terkira besarnya. Ia bisa menjadi salah satu dari muslim terbaik sebagaimana yang disabdakan Rasulullaah saw.:
Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya, baik amalnya. (HR. Ahmad).
Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. (HR Bukhari)
Sayang beribu sayang, Steve Jobs bukanlah seorang muslim. Belum pernah terdengar kabar berita bahwa ia menemukan hidayah agama yang lurus ini. Wallahu a’lam. Dari silsilahnya, sebenarnya ia memiliki ayah seorang imigran, mahasiswa doktoral ilmu politik di Universitas Wisconsin asal Suriah, Abdulfattah Jandali. Namun ia kemudian diadopsi oleh keluarga Jobs di San Fransisco.
Perumpamaan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. (Ibrahim: 18)
Semoga kita bisa mengambil hikmah dan ibrah dari kisah (Steve Jobs) ini.

Jumat, 12 Oktober 2012

Hikmah mengapa daging anjing diharamkan



 Setiap yang Allah perintahkan atau larang pasti terdapat hikmah atasnya. Jika Allah mengharamkan sesuatu pasti terdapat keburukan di dalamnya, jika Allah menghalalkan sesuatu pasti ada kebaikan di dalamnya untuk kelangsungan hidup manusia di bumi ini. Kali ini, kita akan membahas mengapa daging anjing diharamkan? adakah sebab ilmiah yang dapat kita ketahui? Berikut penjelasannya.
Prof. Thabârah dalam kitab Rûh ad-Dîn al-Islâmi menyatakan, "Di antara hukum Islam bagi perlindungan badan adalah penetapan najisnya anjing. Ini adalah mu'jizat ilmiyah yang dimiliki Islam yang mendahului kedokteran modern. Kedokteran modern menetapkan bahwa anjing menyebarkan banyak penyakit kepada manusia, karena anjing mengandung cacing pita yang menularkannya kepada manusia dan menjadi sebab manusia terjangkit penyakit yang berbahaya, bisa sampai mematikan. Sudah ditetapkan bahwa seluruh anjing tidak lepas dari cacing pita sehingga wajib menjauhkannya dari semua yang berhubungan dengan makanan dan minuman manusia. [Taudhîhul-Ahkam, Syaikh Ali Bassâm, 1/137].
Benarlah sabda Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِ كُم فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka tumpahkanlah, lalu cucilah 7 kali. [HR al-Bukhâri no 418, Muslim no. 422.]
Dalam riwayat lain:
طَهُروْرُ إِنَاَءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ اُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, " Sucinya bejana kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali, salah satunya dengan tanah" [HR Muslim no. 420 dan Ahmad 2/427]
مَنِ اقْتَنَى كَمبًا إِلاَّ كَلْبَ مَا شِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمِ قِيْرَاطُ
Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak dan anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qirâth (satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud)." [HR. Muslim no. 2941].
Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :
أَيُّمَا أَهلِ دَارٍ اتَّخَذُواكَلْبُا إِلاَّ كَلْب مَا شِيَةٍ أَوْ كَلبَ صَا ئِدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِمْ كُلَّ يَوْمٍ قِيْرَاطَانِ
Penghuni rumah mana saja yang memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth.[HR. Muslim no. 2945].
Demikian juga Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ أَمْسَكَ كَلْبًا فَإِنَّهُ يَنْقُصُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيْرَاطُ إِلاَّ كَلْبَ حَرْثٍ اَوْ مَا شِيَةٍ
Barangsiapa memelihara anjing, maka amalan shalehnya akan berkurang setiap harinya sebesar satu qirâth, selain anjing untuk menjaga tanaman atau hewan ternak. [HR Muslim no. 2949].
Dari Abu Mas'ûd Radhiyallahu 'anhu beliau berkata:
أَنَّ رَسُو لَاللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلوَانِ الْكَا هِنِ
Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun. [Diriwayatkan oleh Imam, Ahmad 4/118-119, 120, al-Bukhâri 7/28 dan Muslim no. 1567.]
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
كُلُّ ذِينَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامُ
Semua yang memiliki gigi taring dari hewan buas maka memakannya haram. [HR Muslim 1933]
Meskipun demikian, bukan berarti apa yang Allah ciptakan adalah sia-sia atau tidak ada manfaatnya. Karena Allah menciptakan alam semesta ini dengan tujuan yang haq (benar), dan Allah hendak menguji dari hamba-hambaNya siapa yang terbaik perbuatannya, dan Allah menguji siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang masih ragu-ragu.
Lalu apa manfaat anjing? binatang yang satu ini dapat dimanfaatkan untuk menjaga hewan ternak atau juga bisa dijadikan hewan pemburu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ
"Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak dan anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud)." [HR. Muslim]. 'Abdullah mengatakan bahwa Abu Hurairah juga mengatakan, "Atau anjing untuk menjaga tanaman."
Jadi anjing dapat dimanfaatkan untuk menjaga binatang ternak dan khusus untuk berburu setelah dilatih terlebih dahulu. "Jika kamu melepas anjingmu, maka sebutlah asma' Allah atasnya (Bissmillah), maka jika anjing itu menangkap untuk kamu dan kamu dapati dia masih hidup, maka sembelihlah." [HR. Bukhari dan Muslim]
*Keterangan foto: Cacing-cacing pita kotor nan mematikan di celah daging anjing
Wallahu a'lam bishshawab

Rabu, 10 Oktober 2012

NATAL

Natal

Setiap tahun menjelang Natal, selalu muncul perdebatan yang tidak pernah jauh dari masalah toleransi. Aparat kepolisian akan sibuk mengamankan gereja-gereja, dan selalu ada saja berita tentang ormas kepemudaan Islam yang begitu bersemangat dan sukarela ikut menjaga gereja. Dan, tentu saja, akan ada saja perdebatan tentang boleh-tidaknya seorang Muslim terlibat dalam seluruh kegiatan seputar Natal, mulai dari mengucapkan selamat Natal hingga ikut betul-betul dalam perayaannya.

Toleransi beragama senantiasa menjadi bara dalam sekam, barangkali karena memang ada yang sengaja memelihara bara itu. Indonesia memang sebuah paradoks besar; ia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di Indonesia, tapi identitas keislaman selalu mengalami tekanan. Orang dapat melihat wajah Budha dari imej Borobudur yang selalu dijadikan ikon Indonesia. Wajah Hindu dapat terlihat jelas dalam promosi-promosi pariwisata Bali. Menjelang Natal, semua mall menghias dirinya dengan pohon-pohon Natal dan aksesoris khas Sinterklas. Tapi di negeri ini, mengenakan pakaian yang sempurna menutup aurat sesuai aturan Islam saja harus bersusah payah. Bertahun-tahun lamanya para penghulu dakwah di Indonesia memperjuangkan agar para siswi di sekolah-sekolah umum boleh mengenakan jilbab, dan perjuangan itu baru berhasil di akhir era Orde Baru. Sekarang pun perjuangan jilbab belum menemukan hasil sempurna, karena kebanyakan sekolah umum masih memaksa para siswinya yang berjilbab untuk memasukkan kemeja ke dalam roknya; artinya, pinggulnya masih belum tertutup dengan sempurna. Menjadi Muslimah yang baik sejak di sekolah rupanya memang begitu sulitnya.

Dalam artikelnya yang berjudul Toleransi dan Kerukunan, Adian Husaini memperlihatkan suatu fakta menarik. Menurutnya, problem kerukunan umat beragama di Indonesia memang ada, sebagaimana juga di setiap negara di belahan dunia lainnya. Hanya saja, tidak jarang masalah yang ada dibesar-besarkan sedemikian rupa, bahkan adakalanya juga fakta dijungkirbalikkan, sehingga muncul kesan bahwa di kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia begitu rapuh dan gawatnya.
Pada tahun 90-an, dunia dibikin geger dengan munculnya provokasi dari Uskup Belo yang bertugas di Timor Timur (kini Timor Leste) yang mengatakan bahwa di wilayah Timor Timur telah terjadi Islamisasi besar-besaran yang dilakukan secara sistematis oleh Indonesia. Padahal, hasil penelitian Prof. Bilver Singh dari Singapore National University justru menunjukkan fakta sebaliknya. Pada 1972, jumlah warga beragama Katolik di wilayah itu hanya 27,8%. Setelah 22 tahun di bawah pemerintahan Indonesia, yaitu pada tahun 1994, jumlah ini melonjak menjadi 92,3%. Pada tahun 1994 ini, jumlah penganut agama Islam hanya 3,1%. Peningkatan jumlah penganut agama Katolik hingga sebanyak 356,3% ini bukan hanya menunjukkan bahwa Islamisasi hanya sebuah mitos belaka, tapi juga memastikan bahwa yang terjadi sebenarnya di negeri itu adalah Katolikisasi. Bagaimana pun, dunia internasional termakan isu Islamisasi, dan akhirnya Indonesia pun menerima tekanan politik yang bertubi-tubi lantaran masalah Timtim ini.

Adian Husaini juga membandingkan betapa kompaknya media massa internasional mem-blow up sebagian kasus dan diam seribu bahasa untuk kasus-kasus lainnya. Kasus Dr. Marwa El-Sherbini, Muslimah Jerman asal Mesir, dapat menjadi contoh. Muslimah cerdas berkarir tinggi ini menuntut seorang lelaki Jerman karena ia menjulukinya sebagai teroris hanya lantaran mengenakan jilbab. Apa dinyana, justru di pengadilan yang mendudukkan Marwa sebagai korban itulah ia justru menerima serangan fatal yang menyebabkan kematiannya. Marwa, yang saat itu sedang hamil tiga bulan, dihujani tusukan sebanyak 18 kali hingga menghembuskan napas terakhirnya di ruang sidang. Ironisnya, petugas yang menjaga ruang sidang justru menggunakan refleksnya untuk menembak suami Marwa yang berusaha menolong istrinya, sementara tak satu pun peluru ditujukan kepada penyerangnya.
Jika media massa internasional dan para pemimpin bangsa-bangsa tidak angkat suara, maka justru itulah persoalannya. Perlakuan terhadap Muslimah di Jerman ini jauh sekali dengan yang diterima oleh seorang Pendeta Kristen HKBP yang ditusuk di Ciketing. Meskipun kasus ini tidak berkembang menjadi fatal (tidak seperti Marwa yang sampai ditusuk 18 kali dan meninggal di ruang sidang), namun respon global sungguh luar biasa. Tidak kurang dari Hillary Clinton (Menlu AS) dan International Crisis Group (ICG) yang menyatakan keprihatinannya, seolah-olah masalah toleransi di Indonesia jauh lebih gawat daripada di Jerman.

Begitu dahsyatnya peristiwa penusukan di Ciketing, sampai-sampai konon Hanung Bramantyo pun terinspirasi olehnya dan memperlihatkan bagaimana kejadian tersebut mempengaruhi pemikirannya dalam film Tanda Tanya (?) yang digarapnya. Film kontroversial ini memang secara eksplisit mengemukakan nilai-nilai pluralisme agama. Sebagai adegan pembuka, Hanung memperlihatkan adegan seorang pendeta yang ditusuk orang tak dikenal saat sedang menyalami para jemaatnya di depan sebuah gereja. Ketika melakukan hal ini, sebenarnya Hanung tengah mempertaruhkan kredibilitasnya sendiri sebagai pekerja film. Pasalnya, adegan itu justru menjadi noda yang begitu sulit untuk diabaikan dalam penilaian kualitas keseluruhan filmnya, justru karena ia tidak memiliki hubungan langsung apa pun dengan adegan-adegan sesudahnya. Dengan kata lain, penempatan adegan pertama tadi seharusnya tidak terjadi, karena jika adegan itu dihilangkan, keseluruhan ceritanya tidak terganggu. Sebaliknya, banyak orang menganggap bahwa adegan pertama tersebut adalah murni propaganda; sekedar penggambaran kontroversial untuk membuat penonton percaya bahwa toleransi di Indonesia memang rapuh dan dalam bahaya. Di luar adegan itu, masih banyak kelemahan-kelemahan fatal lainnya dalam film Tanda Tanya, sebagaimana yang pernah dikemukakan antara lain oleh Helvy Tiana Rosa.
Masalah toleransi antara umat Muslim dan Kristen memang lebih sering mendapat sorotan. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, kata “toleransi” dan “Pancasilais” memang menjadi senjata ampuh untuk membungkam ghirah umat Muslim. Buya Hamka pernah menceritakan pengalaman Kyai Djam’an yang diperkarakan oleh para pemuda Kristen hanya lantaran ia menjelaskan dalam pengajiannya bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Hanya karena “lam yalid wa lam yuulad”, buku pelajaran sekolah pun pernah digugat. Kaum misionaris kerap mendatangi rumah-rumah warga Muslim pada masa itu, sengaja mengambil waktu ketika para kepala keluarga telah pergi bekerja. Kepada para ibu rumah tangga (yang biasanya merasa tidak enak kalau harus mengecewakan tamu-tamunya) itu, mereka menawarkan berbagai buku yang mempropagandakan ajaran agama Kristen. Kalau ditolak, mereka pun marah-marah dan menuding tuan rumah “tidak Pancasilais” atau “tidak toleran”. Di tempat lain, ada pula warga Kristen yang memelihara babi-babi dan melepasnya begitu saja sehingga masuk ke pekarangan warga Muslim. Karena orang Islam biasanya tidak mau cari ribut, banyak yang memutuskan untuk pergi saja dan menjual tanahnya. Akibatnya, lambat laun warga Muslim menjadi minoritas di tempat itu. Banyak sekali kisah semacam ini yang dirangkum oleh Hamka dalam bukunya yang berjudul Dari Hati ke Hati.

Meruncingnya hubungan antara Hamka dan pemerintah Orde Baru pun tidak lepas dari masalah toleransi, dan berujung pada masalah Natal. Pada tahun 1968, umat Muslim merayakan dua kali Idul Fitri, yaitu pada 1 Januari dan 21 Desember. Karena Hari Raya Idul Fitri pada 21 Desember itu dekat sekali dengan Natal, maka banyak instansi pemerintah yang tiba-tiba berinisiatif menyerukan perayaan Lebaran-Natal, yaitu penggabungan antara perayaan Idul Fitri dan Natal. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespon gagasan ini dengan mengeluarkan fatwa haramnya perayaan Natal bersama. Karena tekanan politik yang bertubi-tubi, Hamka sebagai Ketua MUI pada masa itu memutuskan untuk menarik fatwa tersebut dari peredaran, namun tidak mencabut keabsahannya. Artinya, fatwa tersebut tetap berlaku, meski tidak lagi diedarkan. Di kemudian hari, Hamka menyatakan pendiriannya sendiri. Menurutnya, Fatwa MUI dalam hal perayaan Natal bersama masih sangat halus. Dalam pendirian Hamka, menghadiri perayaan Natal bagi seorang Muslim tidak hanya haram, tapi juga mengakibatkan kemurtadan.

Hingga saat ini pun, masalah pendirian gereja masih cukup ampuh untuk mengundang konflik antara umat Islam dan Kristen. Di Bekasi, Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dipermasalahkan karena kebaktian dilakukan di rumah warga di wilayah yang hanya sedikit sekali jemaat HKBP-nya. Kedatangan banyak jemaat ke tempat itu setiap pekannya juga meresahkan warga karena selalu membuat ramai dan bahkan jemaat berani menutup jalan secara sepihak. Di Bogor, polemik seputar Gereja GKI Yasmin masih bergulir hingga kini. Media massa senantiasa mengangkat isu kebebasan beragama dan bungkam sepenuhnya pada fakta bahwa pihak pengurus gereja sebelumnya telah melakukan penipuan dengan memalsukan tanda tangan warga sekitar untuk mendapatkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Dengan demikian, ketika IMB akhirnya dicabut (karena sudah terbukti kecurangan dalam pengurusannya), masyarakat Indonesia seolah didoktrin untuk mengakui bahwa warga Bogor telah bersikap tidak toleran. Ironisnya, sebagian umat Muslim pun ikut-ikutan menghujat saudaranya sebagai ‘warga yang tidak toleran’.

Dalam hal ucapan selamat Natal, tidak dipungkiri adanya perdebatan ulama. Masalah muncul tidak lain karena penafsiran ucapan “selamat” tersebut; apakah ucapan ini hanya ungkapan salam kepada umat Kristen yang tengah merayakan Natal, sehingga maknanya menjadi “selamat merayakan Natal”, ataukah ia mengandung pengakuan akan kebenaran Natal dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya? Makna yang terakhir jelas-jelas diharamkan oleh ulama, sedangkan makna yang pertama masih dibenarkan oleh sebagian ulama.

Ada pula yang beralasan bahwa umat Kristen pun tidak ragu menyampaikan ucapan selamat pada Hari Raya Idul Fitri. Oleh karena itu, seharusnya umat Islam pun tidak berat menyampaikan ucapan selamat pada Hari Natal. Perbandingan ini pun seharusnya didudukkan dengan jelas. Pada Hari Raya Idul Fitri, yang umum diperkatakan orang di negeri ini adalah “Mohon maaf lahir dan batin”. Ucapan ini sebenarnya tidak memiliki kaitan khusus dengan hari rayanya. Lebih jauh, ucapan ini juga tidak eksklusif bagi umat Muslim, karena Islam tidak melarang pemeluknya untuk memohon maaf kepada pemeluk agama lain. Demikian juga jika ada seorang Non-Muslim mengucapkannya kepada seorang Muslim, maka itu tidaklah masalah. Adapun ucapan yang dikhususkan pada Hari Raya Idul Fitri sebenarnya adalah “Taqabbalallaahu minnaa wa minkum, shiyaamanaa wa shiyaamakum” (Semoga Allah menerima (ibadah) dariku dan darimu, shaum-ku dan shaum-mu). Ucapan ini jelas-jelas tidak diperuntukkan bagi umat agama lain, dan tentu saja tak ada orang Kristen yang mengucapkannya kepada orang Muslim. Oleh karena itu, ucapan “Selamat Natal” tidak bisa diperbandingkan dengan “Mohon Maaf Lahir dan Batin”.

Tidak kurang dari tokoh sekaliber Quraish Shihab pun ikut bersuara tentang ucapan “Selamat Natal” ini. Dalam bukunya “Membumikan” Al-Qur’an, Quraish mengawali penuturannya dengan menjelaskan ‘kisah Natal’ dalam Surah Maryam. Penekanan lebih diberikan pada ungkapan dalam al-Qur’an yang diterjemahkan “Kemudian sang bayi berdoa: ‘Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan kembali.” Menurut Quraish, Nabi ‘Isa ‘alaihissalaam pun mengatakan hal demikian, dan karenanya, kita pun tidak dilarang untuk mengucapkan selamat pada hari kelahiran beliau.

Jika ditelisik, ada sebuah kontradiksi serius dalam pemikiran Quraish Shihab yang satu ini. Di satu sisi, Quraish mengakui bahwa umat Muslim dan Kristen mengenali sosok Nabi ‘Isa ‘alaihissalaam secara berbeda; umat Muslim mengenalinya sebagai Nabi Allah yang mulia, sedangkan umat Kristen umumnya mengidentifikasinya sebagai salah satu sosok dalam Trinitas yang kerap disebut sebagai Tuhan Anak. Di sisi lain, Quraish justru gagal mengaplikasikan perbedaan pandangan tersebut dalam memformulasikan sikapnya. Jika Nabi ‘Isa ‘alaihissalaam dan Yesus adalah dua sosok yang berbeda, lantas mengapa umat Muslim harus mengikuti tradisi umat Kristen sehingga mengucapkan selamat pada hari kelahirannya? Ucapan “Selamat Natal” akan menjadi rancu, tidak lain karena adanya perbedaan pandangan tadi; apakah kita merayakan kelahiran seorang Nabi yang mulia, ataukah Tuhan Anak? Quraish juga nampaknya tidak mendalami temuan-temuan ilmiah jaman sekarang yang memastikan bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihissalaam jelas tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember. Pendapat ini bahkan sudah dibenarkan oleh para teolog Kristen. Penggunaan tanggal 25 Desember ini diidentifikasi sebagai bagian dari sinkretisasi ajaran Pagan Romawi dengan agama Nasrani berkat campur tangan Kaisar Konstantin. Oleh karena itu, ucapan “Selamat Natal”, jika dimaknai sebagai perayaan kelahiran Nabi ‘Isa ‘alaihissalaam, jelas tidak tepat jika diucapkan pada tanggal 25 Desember.

Di dunia maya, ada saja yang masih berusaha memperkeruh suasana menjelang Hari Natal tahun ini. Sebutlah akun @albertuspatty – yang kejelasan identitasnya masih dipertanyakan – yang tiba-tiba berseloroh, “Alhamdulillaah, NU & Muhammadiyah telah sepakat bahwa Hari Raya Natal tahun ini jatuh pada tanggal 25 Desember!” Bagi yang sudah sering mengamati sepak terjang para aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) di Twitter, tentu takkan terlalu kaget jika menyaksikan akun Guntur Romli (@GunturRomli) yang menimpali seloroh di atas dengan mengatakan, “berbahagialah mrk yg tdk rayakan hari raya dgn hisab/ru’yah tp dgn kalender, maka mrk tdk kebingungan” (padahal, sekali lagi, penentuan Hari Natal pada tanggal 25 Desember adalah sebuah kekeliruan).

Tahun ini, lagi-lagi masalah toleransi diangkat ke permukaan, dan lagi-lagi umat Islam selalu dikambinghitamkan, bahkan sebelum masalah benar-benar muncul. Sebelum 25 Desember, provokasi terhadap umat Muslim sudah terjadi, antara lain seperti yang dilakukan oleh akun @albertuspatty dan Guntur Romli di atas. Sekali lagi, sikap toleran umat Muslim dipertanyakan hanya lantaran tidak mau mengucapkan “Selamat Natal” dan menghadiri perayaan Natal. Padahal, di Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, tidak pernah ada Muslim yang bertanya-tanya mengapa umat lain tidak ikut keliling bersalam-salaman, tidak ikut Shalat ‘Ied, dan tidak ikut menyembelih hewan kurban. Tidak bisakah kita saling menghormati tanpa saling menuntut? Bukankah keimanan yang sejati tidak memerlukan pengakuan dari pihak lain? Dan yang paling penting, bukankah tuntutan kepada umat Muslim untuk mengucapkan “Selamat Natal” dan menghadiri perayaan Natal itu adalah suatu bentuk pemaksaan dan ancaman terhadap kebebasan beragama di negeri ini?

Selasa, 09 Oktober 2012

Menjejak Peradapan Rabbani

 

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS Yusuf: 111)
Masa ini, kiblat peradaban mengarah ke Barat. Di kumpulan bangsa bermental materialistis dan meninggalkan nilai-nilai fithrah kemanusiaan. Berbagai macam ketinggian adab diukur dengan takaran materi dan teknologi. Sementara di sebarang lini dimensi lain, kehancuran kebobrokan peradaban itu seakan tidak dipedulikan. Maka, muncullah kezhaliman di segala bidang penyusun peradaban mereka. Muncul isme-isme yang dibuat sekelompok orang atas nama kepentingan dan kemaslahatan orang banyak. Namun sejatinya malah memberikan kemudharatan kepada manusia-manusia yang mengekor di belakang laju peradaban itu.
Kaum Muslimin yang jumlahnya sangat banyak pun rasanya turut terbawa serta dalam euforia masa modern. Menasbihkan diri menjadi pengikut dari peradaban Barat. Seakan mereka malu untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki peradaban tersendiri yang kemuliaannya dijamin dari langit. Di sisi lain, segerombol kaum Muslimin yang lain menjadi pengikut dan memberhalakan peradaban Barat atas dasar keawaman mereka, karena tidak memahami, karena tidak mengetahui bahwa ada Islam yang menjadi ciri kemuliaannya.
Saat ini, kaum Muslimin menjadi manusia kelas rendah dalam pandangan umum dunia. Tingkah laku dan gerak langkah mereka tidak mencerminkan pengejawantahan ajaran Islam yang dianutnya. Bahkan, menyitir ungkapan seorang ulama, kemuliaan Islam tertutupi oleh pengikutnya sendiri. Penyebabnya sederhana, karena mereka lebih memilih meninggalkan dua pegangan utama kaum Muslimin, yaitu Al Qura’n dan As Sunnah. Mereka melupakan bagaimana keadaan generasi awal umat ini yang pernah menjadi mercusuar peradaban dunia, para shalafus shalih. Mereka melupakan kegemilangan generasi terbaik manusia menjadi mutiara dalam rangkaian sirah kehidupan mereka, terutama mengenai perjalanan hidup Sang Pembawa Risalah: Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam.
Umat ini terlena oleh jalannya masa yang cepat, sedangkan mereka tidak memiliki pondasi aqidah tauhid yang kuat. Jiwa mereka telah menjadi kerdil oleh gunung materialisme yang nampak di pelupuk mata mereka. Hingga untuk bangkit dan melawan imperialisme di dalam jiwa mereka pun tidak sanggup, kecuali segelintir manusia yang memperoleh cahaya keimanan dan hidayah ilahi.
Tali Nan Kokoh
Ustadz Rahmat Abdullah, dalam pengantar buku Al Manhaj Al Haraki lis Siratin Nabawiyah, menerangkan bahwa umumnya kajian keilmuan terbagi dalam tiga kerangka besar: aqidah, fiqih, dan akhlak. Ketiga kajian ini awalnya dirasa cukup untuk membentuk manusia muslim yang paripurna, insan kamil. Manusia yang memiliki perasaan, pemikiran, dan penghambaan atas dasar tauhid kepada Allah. Manusia yang bergerak dan beribadah dengan cara yang benar dan shahih kepada Allah. Manusia yang memiliki moralitas dan jiwa yang berpendar di atas jalan kefithrahannya.
Namun, pada ketiga kajian itu ada hal yang terputus. Yakni satu tali rantai pengikat nan kokoh yang menghubungkan ketiga kerangka kajian keislaman itu. Tali itu adalah sirah nabawiyah. Sebuah kajian yang menjadi alur bagi penerapan dan kontekstualisasi ketiga konsep kerangka kajian tersebut.
Menurut proses dan gaya penulisannya, sirah nabawiyah tentang perjalanan hidup Rasulullah terbagi menjadi beberapa bentuk penulisan. Pertama, para sejarawan klasik cenderung menulis sirah nabawiyah dengan cara lebih banyak menyuguhkan data, fakta tentang Rasulullah, dan sumber-sumbernya hingga detil-detil kecil. Kedua, para sasterawan klasik yang menceritakan sirah dalam bentuk bait-bait sastera hingga bisa dinikmati oleh masyarakat umum dengan keindahan tata bahasanya. Ketiga, sejarawan modern cenderung menulis dalam bentuk narasi terpadu. Keempat, sejarawan dan praktisi pergerakan Islam yang menulis dalam bentuk analisis, perbandingan, dan pengambilan hukum dan hikmah dari suatu kejadian, serta bagaimana penerapannya dalam dunia modern. Poin keempat ini dikenal dengan fikih sirah, yang menjadi pengikat sirah kehidupan Rasulullah dan dunia masa kini.
Dewasa ini, sebagian masyarakat Islam hanya mengenal sirah nabawiyah sebagai sebuah biografi yang dangkal tentang kehidupan seorang tokoh besar semata. Sementara, sebagian yang lain menganggap bahwa sirah nabawiyah hanyalah ritus dalam acara-acara di peringatan hari tertentu dengan syair barzanji, diba’i, burdah, dan ‘azb. Ritus rutin tanpa semangat juang dan gelora jihad yang mengiringi kisah-kisah peperangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam. Sedangkan sebagian kecil kaum cendekiawan Muslim yang mengekor peradaban Barat, yang mengagungkan ‘keilmiahan dan keobjektifitasan’, menulis sirah nabawiyah tanpa ruh Islam. Semata-mata menulis untuk tujuan karya pribadi, bukan untuk membangkitkan ummat yang tengah lelap dan kekerdilan jiwa yang akut.
Karena itu, para ulama yang sadar akan perjuangan Islam menulis sirah nabawiyah dengan semangat keberislaman yang tinggi, dengan tujuan mampu menjadi salah satu sarana utama dalam menumbuhkan iman di dada ummat, membersihkan perangai buruk, membangun moralitas, mengobarkan api perjuangan, memberikan keteguhan di jalan dakwah, mengokohkan kesetiaan pengabdian, membakar ruhul jihad, dan memperdalam rasa cinta pada Allah dan Rasul-Nya.
Satu Batu Lain
“Tujuan mengkaji sirah nabawiyah,” kata DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi dalam Fiqhus Sirah, Dirasat Manhajiyah ‘Ilmiayah lis Siratil Musthafa ‘Alaihi was Salam, “Ialah agar setiap Muslim memperoleh gambaran tentang hakikat Islam secara paripurna, yang tercermin dalam kehidupan Nabi shalallahu ‘alaihi was salam, sesudah ia dipahami secara konsepsional sebagai prinsip, kaidah, dan hukum. Sirah nabawiyah hanya merupakan upaya aplikatif yang bertujuan untuk memperjelas hakikat Islam secara utuh dan keteladanannya yang tertinggi, Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam.”
Hal ini merupakan konsep pengejawantahan Al Qur’an di dalam kehidupan, yang dipraktikkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam sebagai teladan tertinggi yang menyampaikan risalah Allah di muka bumi. Tidaklah mungkin sebuah dapat diterima dan dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya prototype yang menjadi teladan bagi pengikutnya. Dengan kata lain, sirah nabawiyah merupakan aplikasi nyata dari nilai-nilai qur’ani.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka..” (QS An Nahl: 44)
Secara ringkas, manfaat dan pentingnya mempelajari sirah nabawiyah, menurut Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az Zaid, adalah sebagai berikut.
1. Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam dapat dijadikan suri teladan dengan cara mengenal perjalanan hidup dan petunjuk-petunjuknya.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al Ahzab: 21)
2. Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam adalah manusia paling mulia sepanjang sejarah. Sosok manusia ideal di dalam seluruh dimensi kehidupan.
“Aku adalah penghulu anak cucu Adam pada hari kiamat,”sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam dalam Shahih Bukhari.
3. Mempelajari sirah nabawiyah berguna untuk memahami Kitab Allah, karena banyak ayat Al Qur’an turun disebabkan oleh kejadian yang terjadi pada periode sejarah perjalanan Nabi. Dan setelah turunnya ayat tersebut, maka respon Nabi terhadap substansi ayat tersebut adalah penjelasan langsung dan konkret tentang cara mengamalkan isi kandungannya. Dalam disiplin kajian Islam, ini dikenal dengan asbabun nuzul.
4. Diantara prinsip-prinsip yang wajib diketahui oleh seorang Muslim setelah Allah dan Islam adalah kewajibannya mengenal Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam. Ketiganya merupakan bagian dari kajian Tiga Dasar atau Ushuluts Tsalasa.
5. Sirah nabawiyah mencakup banyak tsaqafah dan ilmu keislaman, seperti aqidah, hukum, akhlak dan moral, serta metode da’wah.
Hal penting tentang sirah nabawiyah adalah cakupannya yang sangat luas dalam dimensi kehidupan. Sirah Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam tidak hanya mencakup dimensi ukhrawi semata, tapi juga dimensi sosial dan material yang ada pada manusia. Dimensi kehidupan Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam ini seharusnya memberikan inspirasi bagi tiap pengikutnya. Terutama dalam membangun peradaban di dalam rangka menjalankan misinya untuk memakmurkan bumi.
Dengan berpijak pada jejak atsar sirah nabawiyah dan bagaimana langkah serta tahapan yang ditempuh oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam dalam mendidik generasi dan membangun peradaban rabbani yang bermula di gunung tandus, maka kini ummat harus kembali menjadikannya suluh sebagai penerang langkah dalam mengembalikan kemuliaan Islam dan ketinggian risalahnya sebagaimana pada generasi awal. Di sinilah, sirah nabawiyah akan menuntun kita dalam menjalankan perjuangan suci itu, menegakkan kalimat Allah di muka bumi dan membangunnya dengan peradaban rabbani.

Mereka Yang Telah Membawa Kita ke Sini

 Mereka Yang Membawa Kita Sampai Disini

Ada orang-orang yang bukan murobbi tapi sebenarnya mereka turut membina kita, menghantarkan kita hingga sampai pada pemahaman da’wah yang sekarang. Mereka bisa jadi partner da’wah kita. Mas’ul syuro kita, kakak tingkat kita, atau senior kita dalam suatu organisasi da’wah, tanpa kita sadari sedikitpunjuga, mereka membina kita melalui syuro, penugasan, aktivitas bersama, atau bincang-bincang sederhana.

Orang-orang yang bukan murobbi di sekitar kita -mereka tidak mengajarkan teori, namun lebih kepada nilai-nilai apa yang semestinya kita miliki, penyikapan terhadap sesuatu permasalahan da’wah, juga bagaimana idealisme da’wah mereka. Hal-hal yang mungkin sulit untuk disampaikan oleh murobbi kepada kita karena keterbatasan waktu bertemu atau karena banyak hal lain yang diprioritaskan untuk disampaikan. Melalui mereka -yang mungkin tidak tahu sudah sejauh apa materi pekanan yang kita dapatkan, kita justru belajar untuk melintasi tembok-tembok limit pemahaman. Kita belajar lewat sarana-sarana penyikapan yang mereka contohkan meskipun terkadang secara teori kita belum mendapatkannya. Hingga kemudian, limit-limit pemahaman tersebut berganti menjadi corong yang siap diisikan ilmu.

Orang-orang bukan murobbi di sekitar kita, peran mereka mungkin hanya satu sisi dari sekian sisi yang harus dimiliki murobbi. Bisa jadi, mereka hanya seorang kakak, mas’ul, orang yang berilmu, atau teman satu amanah. Mereka merupakan gambaran kongkrit atas teori da’wah yang kita ketahui. Contohnya sederhananya saja, kita baru memahami tentang teori ukhuwah saat mereka dengan relanya berbagi makanan, mengunjungi kita saat sakit, atau bahkan mereka adalah orang yang pertama kali tau dan menawarkan bantuannya saat kita berada dalam kondisi yang sulit. Juga kita belajar memahami tentang tujuan da’wah melalui mimpi-mimpi yang mereka ceritakan. Atau bahkan kita belajar memahami tentang as-saja’ah (keberanian dalam da’wah) saat melihat mereka mempertahankan kebenaran yang mereka yakini. Tentu, melalui itu semua mereka menghantarkan kita hingga sampai pada pemahaman da’wah kita yang sekarang.

Sengaja ataupun tidak sengaja, orang-orang itu sangat berperan melakukan ekskalasi pemahaman kita. Melalui duduk-duduk sederhana bersama, gerutuan-gerutuan kecil, candaan, berkunjung ke tempat kos, atau sekedar traktiran milad—cara-cara sederhana itu yang menjadi sarananya. Setidaknya kita bertemu mereka lebih sering daripada murobbi kita. Itulah mengapa, apa yang sering kita bicarakan dengan mereka akan membentuk setidaknya sedikit pola pikir kita yang dengan hal tersebut sama dengan membina kita pula. Pertanyaan adalah, sadarkah atas keberadaan mereka di sekitar kita? Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, sadarkah kita bahwa kita pun perlu melakukan gerakan kultural ini kepada orang lain, apakah kita memiliki motivasi untuk itu? Namun, sebelumnya kita yang harus mengetahui motivasi mereka membina kita. Inilah hal-hal yang seringkali menjadi motivasi mereka,
1. Dengan maksud sebagai sarana regenerasi
Mereka membina kita dengan satu alasan yang pasti, yaitu menginginkan kita sebagai generasi penerus bisa melanjutkan tongkat estafet da’wah. Sesuai dengan surat An-Nisaa:9,
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”.
Kekhawatiran mereka meninggalkan generasi yang lemah membuat mereka sadar betul untuk membina kita.
2. Dengan maksud untuk berda’wah
Sesuai dengan surat Ali Imran : 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”.
Motivasi mereka adalah berda’wah dan siapapun orangnya, akan menjadi objek da’wah dan syi’ar kepahaman mereka. Termasuk juga kita salah satunya. Apapun motivasinya, orang-orang tersebut tentu menginginkan kebaikan ada pada diri kita.
* * *
Hanya saja kesadaran untuk melakukan gerakan kultural seperti itu kini telah sedikit meluntur. Berapa banyak dari kita yang telah melakukannya dengan sadar? Bagaimana para murobbi tidak kelimpungan dalam mengupgrade pemahaman da’wah dari binaannya, jika tidak ada orang-orang bukan murobbi yang berperan sebagai pembina pula? Sesungguhnya lingkungan dimana kita berlama-lama akan mempengaruhi bagaimana kita berkembang.
Oleh karena itu di saat para aktivis da’wah tidak menyadari pentingnya membina orang lain, yang bahkan bukan dalam rangka dirinya sebagai murobbi, tentunya di antara mereka akan kering dari nasyrul fikroh sehingga tidak terdapat sikap saling menasihati dan mengingatkan tentang kesabaran dan ketakwaan. Padahal di manapun kita berada, ketika kita membagikan mimpi, fikroh, dan arahan, di sanalah kita sedang membina. Namun membina tidak dapat dilakukan dalam durasi 1-3 hari saja melalui dauroh atau acara tertentu, namun harus terinvestasi dalam pertemuan demi pertemuan yang berfrekuensi.
Terkadang hal-hal sederhana lah yang menghantarkan kita sampai di sini. Ketulusan, ukhuwah, atau beraktivitas bersama, merupakan investasi yang sangat berharga bagi sebuah kepahaman. Dan orang-orang di sekitar kita, adik tingkat, teman, atau keluarga, juga berhak mendapatkannya dari kita. Transfer pandangan, infiltrasi mimpi, dan rekonstruksi pemahaman dilakukan sedikit demi sedikit hingga akhirnya mereka paham. Jika dulu kita lah yang mendapatkan hal tersebut, sadarkah bahwa kita pun harus melakukannya pula kepada yang lain?
Jadi, coba ingat-ingat lagi, siapa saja orang-orang bukan murobbi yang menghantarkan kita sampai di sini? Lalu, adakah orang yang sudah kita hantarkan?

Allahua’lam bisshowab.

Pengaruh Sabar dan Shalat dalam Menyelesaikan Problematika Kehidupan

 Pengaruh Sabar dan Shalat dalam Menyelesaikan Problematika Kehidupan


وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
”Dan mintalah pertolongan (kepada) Allah dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhhya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang  khusu’ , (yaitu) orang-orang yang menyakini, bahwa mereka akan menemui Robb-nya dan bahwa mereka akan kembali kepad-Nya” (Qs. al-Baqarah: 45 -46)

Ayat di atas mengandung beberapa pelajaran:
Pelajaran Pertama:
Bahwa Allah memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk selalu bersabar dan menegakkan shalat di dalam menghadapi segala problematika hidup.
Adapun sabar secara bahasa adalah menahan, dikatakan: ”qutila fulanun shobron“ artinya: si fulan terbunuh dalam keadan ditahan. Oleh karenanya, seseorang yang menahan diri terhadap sesuatu dikatakan orang yang sabar.
Pelajaran Kedua:
Sabar dibagi menjadi beberapa macam :
Pertama: Sabar di dalam ketaatan, yaitu menata diri untuk selalu mengerjakan perintah-perintah Allah dan Rosul-Nya. Sabar di dalam ketaatan ini adalah tingkatan sabar yang paling tinggi, kenapa? karena untuk melakukan suatu ketaatan, diperlukan kemauan yang sangat kuat, dan untuk menuju pintu Syurga seseorang harus mampu melewati jalan-jalan yang dipenuhi dengan duri, ranjau dan segala sesuatu yang biasanya dia benci dan tidak dia sukai, sebagaimana sabda Rosulullah Shalallahu a’laihi wasallam
وَحَفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
”Dan jalan menuju syurga itu dipenuhi dengan sesuatu yang tidak kita senangi” (HR. Muslim)
Sabar dalam ketaatan ini harus melalui tiga fase:
Fase Pertama: Sabar sebelum beramal. Ini meliputi perbaikan niat, yaitu mengikhlaskan amal hanya karena Allah subhanahu wata’ala, dan bertekad untuk mengerjakan ibadat tersebut sesuai dengan aturannya. Dalam hal ini Allah berfirman:

إِلاَّ الَّذِينَ صَبَرُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أُوْلَـئِكَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
”Kecuali orang-orang yang bersabar dan beramal sholeh.” (Qs. Hud:11)

Fase Kedua: Sabar ketika beramal, yaitu dengan selalu mengingat Allah subhanahu wata’ala selama beramal, dan tidak malas untuk mengerjakan seluruh rukun, kewajiban dan sunah dari amal tersebut. Kalau sedang mengerjakan puasa umpamanya, maka dia harus tetap mengingat bahwa dirinya sedang puasa dan Allah selalu melihat seluruh amalannya, maka dia berusaha untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah selama berpuasa dan berusaha untuk mengerjakan amalan sunah dan wajib, seperti membantu fakir miskin, memberikan ifthor kepada yang berpuasa, shalat berjama’ah dan sebagainya.
Fase ketiga: Sabar setelah beramal, yaitu dengan menahan diri untuk tidak mepublikasikan amalnya kepada orang lain, dan menjauhi diri dari riya’ dan hal-hal yang bisa menghapus amal perbuatannya. Dalam  bersedekah umpamanya, maka setelah bersedekah, dia harus menahan diri untuk tidak menyebut-nyebut sedekahnya dan harus menahan diri  tidak menyakiti perasaan penerima sedekah. Allah subahanahu wata’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى
”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasan penerima” (Qs. Al Baqarah: 264)

Kedua: Sabar terhadap maksiat, yaitu selalu menahan diri untuk selalu menjauhi apa-apa yang dilarang oleh Allah dan Rosul-Nya. Bentuk sabar ini jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan bentuk sabar yang pertama, karena meninggalkan sesuatu yang dilarang jauh lebih ringan daripada mengerjakan sesuatu yang diperintah. Walaupun sebenarnya dalam masalah ini, kadang sifatnya sangat relatif, artinya bagi seseorang mungkin lebih ringan meninggalkan sesuatu yang dilarang daripada mengerjakan sesuatu yang diperintah, sementara bagi orang lain justru yang terjadi adalah sebaliknya, dia merasa lebih ringan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepadanya daripada meninggalkan sesuatu yang dilarang. Inipun tergantung kepada bentuk larangan dan perintah. Umpamanya kebanyakan orang bisa bersabar untuk tidak berzina, akan tetapi tidak bisa bersabar untuk selalu mengerjakan shalat berjama’ah di masjid. Sebaliknya kebanyakan orang sangat sulit dan tidak bisa bersabar untuk meninggalkan ”ghibah” (membicarakan kejelekan orang lain), akan tetapi sangat bisa dan sabar kalau diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang lain. Contoh-contoh seperti ini sangat banyak dalam  kehidupan sehari-hari.
Ketiga: Sabar terhadap musibah, yaitu menahan diri dan tidak mengeluh ketika terkena musibah. Ini adalah bentuk sabar yang paling ringan, karena sesuatu itu sudah terjadi di depannya, dan dia tidak bisa menghindarinya, artinya dia bersabar atau tidak bersabar sesuatu itu sudah terjadi. Akan tetapi walaupun begitu, masih banyak dari kaum muslimin yang tidak bisa sabar ketika tertimpa musibah. Sabar dalam bentuk ini tersebut dalam firman Allah subhanahu wata’ala:

وَلَنَبلُوَنّكُم بِشَىءٍ مِنَ الخَوفِ وَالجُوعِ وَنَقصٍ مِنَ الأموَالِ وَالأَنفُسِ وَالثّمَراتِ وَبَشِرِ الصّابِرينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (Qs. Al Baqarah: 155)

Dalam hadits Ummu Salamah disebutkan bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَصَابَ أَحَدُكُمْ مُصِيْبَةً فَلْيَقُلْ: إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ، اللَّهُمَّ عِنْدَكَ أَحْتَسِبُ مُصِيْبَتِيْ فَأَجِرْنِيْ فِيْهَا، وَأبْدِلْ لِي بِهَا خَيْراً مِنْهَا.
”Jika diantara kalian tertimpa musibah, hendaknya berkata: ”Sesunggunya kami milik Allah dan sesunguhnya kami akan kembali pada-Nya, Ya Allah saya hanya mencari pahala dari musibah ini di sisi-Mu, maka berikanlah kepada-ku pahala itu, dan gantikanlah aku dengan sesuatu yang lebih baik dari musibah ini” (HR. Abu Daud)

Hadits di atas benar-benar dipraktekkan oleh para sahabat, bahkan oleh Ummu Salamah sendiri, tepatnya ketika suaminya Abu Salamah pada detik-detik terakhir dari hidupnya dia berdo’a: ”Ya Allah gantilah untuk keluargaku seseorang yang lebih baik dariku” Dan ketika Abu Salamah telah meninggal dunia, Ummu Salamah berdoa’: Sesunggunya kami milik Allah dan sesunguhnya kami akan kembali pada-Nya, Ya Allah saya hanya mencari pahala dari musibah ini di sisi-Mu.
Kemudian apa yang terjadi setelah Ummu Salamah tetap sabar, tabah dan berdo’a sebagaimana yang diajarkan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Ternyata Allah mengabulkan do’a tersebut dan Ummu Salamah mendapat ganti suami yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pelajaran ketiga:
Sabar mempunyai tiga tingkatan:
Tingkatan Pertama: As Shobru billah, artinya: selalu meminta pertolongan dari Allah subhanahu wata’ala, dan menyakini bahwa Dialah yang memberikan kepadanya kesabaran, sehingga ketika bersabar tidaklah merasa sendirian, karena Allah selalu bersamanya. Dalam hal ini Allah berfirman:

وَاصبِر وَمَا صَبرُكَ إلا بِاللّهِ
”Dan bersabarlah , dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.”  (Qs. An-Nahl: 127)

Tingkatan Kedua: Ahs Shabru lillah, artinya bahwa yang membuatnya dia bersabar adalah kecintaannya kepada Allah subhanahu wata’ala, ikhlas mengharap ridho-Nya saja. Dia bersabar bukan karena ingin dipuji atau dilihat orang lain, tetapi dia bersabar karena Allah memerintahnya demikian.
Tingkatan Ketiga: Ash Shabru ma’allah, artinya: Komitmen seorang hamba untuk selalu mengikuti apa yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wata’ala, dia selalu berjalan sesuai dengan perintah-Nya. Inilah tingkatan sabar yang paling tinggi dan paling sulit. Dan inilah sabarnya orang-orang Siddiqin.
Pelajaran Keempat:
Dalam ayat di atas Allah subhanahu wata’ala, selain memerintahkan seseorang untuk bersabar di dalam menghadapi semua problematikan hidup ini, Allah subhanahu wata’ala juga memerintahkan seorang muslim untuk menegakkan shalat.
Kenapa dipilih ibadat shalat, bukan ibadat-ibadat lainnya seperti puasa, haji, zakat ataupun yang lainnya ?
Jawabannya adalah bahwa shalat mempunyai pengaruh yang luar biasa pada diri seseorang sehingga dia bisa tabah, tegar dan teguh di dalam menghadapi segala problematika hidup. Ini sesuai dengan hadits yang menyebutkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا حَزَبَهُ أَمَرٌ صَلَّى
”Bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sedang menghadapi masalah, langsung menegakkan shalat”  (HR. Abu Daud)

Begitu juga yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas radiyallahu ‘anhu, ketika dalam suatu perjalan safar diberitahu bahwa salah satu keluarga dekatnya meninggal dunia, beliau langsung mengucapkan: Innaa lillahi wa innaa ilahi roji’un, kemudian berhenti di tepi jalan dan melakukan shalat, setelah itu beiau meneruskan perjalanannya seraya membaca surat Al Baqarah, ayat 45 di atas.
Pelajaran Kelima:
Shalat dalam ayat di atas, bisa berarti do’a. Dengan demikian maka arti ayat di atas adalah:“Dan mintalah pertolongan (kepada) Allah dengan bersabar dan berdo’a.” Penafsiran ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wata’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُواْ وَاذْكُرُواْ اللّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلَحُونَ
”Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung” (Qs. Al Anfal: 45)

Ayat di atas kalau kita perhatikan secara seksama kata demi katanya ternyata mirip dengan ayat 45 dalam surat Al Baqarah, bahkan sampai nomer ayatnyapun sama yaitu 45. Artinya: Allah memerintahkan orang-orang yang beriman ketika menghadapi suatu masalah – dalam hal ini ketika berhadapan dengan musuh -, agar tetap teguh dan selalu mengingat Allah swt saw banyak-banyaknya.  Teguh dalam surat Al Anfal ayat 45 sebanding dengan sabar dalam surat Al Baqarah ayat 45. Sedangkan mengingat Allah dalam surat Al Anfal ayat 45 sebanding dengan shalat dalam surat Al Baqarah ayat 45.
Selain itu, ada ayat serupa terdapat dalam surat Al Hijr, 97-99 yang memerintahkan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin untuk bertasbih (mensucikan Allah) dan bersujud kepada-Nya ketika menghadapi problematika hidup. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ ، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُن مِّنَ السَّاجِدِينَ ، وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat),dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (Qs. Al Hijr: 97-99)

Kalau kita bandingkan tiga ayat di atas kira-kira seperti di bawah ini:
QS. Al Baqarah: 45 = meminta bantuan (dengan SABAR + SHALAT)
QS. Al Anfal:45 = menghadapi musuh (dengan TEGUH + MENGINGAT ALLAH)
QS Al Hijr: 97-99 = Ketika didustakan (BERTASBIH + SHALAT)
Subhanallah..telah terjadi keserasian dan kesesuaian antara ayat satu dengan yang lain, dan ini merupakan salah satu bukti bahwa Al Qur’an datang dari Allah subhanahu wata’ala. Dalam hal ini Allah subhanahu wata’ala berfirman:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Qs. An Nisa’: 82)
Pelajaran Keenam:

Selain ayat-ayat di atas, disana ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa dzikir dan mengingat Allah adalah senjata utama setiap muslim di dalam menghadapi suatu problematika, diantara hadits-hadits tersebut adalah:
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ قَالَ: يَا حَىُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ
”Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menghadapi suatu masalah, beliau berdoa: ” Wahai Yang Maha Hidup Kekal, Yang terus menerus mengurus (mahluk-Nya), hanya dengan rahmat-Mu saja, saya meminta pertolongan” (HR. Tirmidzi)

كَانَ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ اِذَا حَزَبَهُ اَمْرٌ قَالَ: لَا ِالَهَ اِلَّا اللهُ الْحَلِيْمُ الْكَرِيْمِ, سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ , اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
”Rosulullah shallahu ‘alaihi wasallam ketika menghadapi suatu masalah, beliau berdoa:”Tiada Ilah kecuali Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Maha Suci Allah Robb dari Arsy yang agung, dan segala puji bagi Allah Robb sekalian alam” (HR. Ahmad)

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُوْ عِنْدَ الْكُرَبِ:” لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ الْعَظِيْمِ الْحَلِيْمِ, لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ ,لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ, وَرَبِّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمِ.”
”Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menghadapi suatu masalah, beliau berdoa: ”Tiada Ilah kecuali Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Agung dan Maha Penyantun,  Tiada Ilah kecuali Allah,Yang mempunyai Arsy yang agung , Tiada Ilah kecuali Allah Yang Mempunyai langit tujuh, dan Yang mempunyai Arsy yang mulia” (HR. Bukhari Muslim)

وَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ: ”أَلَا اُخْبِرُكُمْ بِشَىْءٍ اِذَا نَزَلَ بِأَحَدِكُمْ كُرَبٌ أَوْ بَلَاءٌ مِنْ اَمْرِ الدُّنْيَا دَعَا بِهَا فَيَفْرِجُ عَنْهُ  دُعَاءَ ذِى النُّوْنِ: لَا اِلَهَ اِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ اِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ.
Rosululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Maukah aku beritahukan kepadamu sesuatu jika kamu ditimpa suatu masalah  atau ujian dalam urusan dunia ini, kemudian berdoa dengannya, niscaya akan ada jalan keluarnya ? yaitu do’anya nabi Yunus: ”Bahwa tidak ada Ilah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim” (HR. Hakim)
Pelajaran Ketujuh:

Salah satu bukti bahwa sabar dan shalat akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat serta akan meringankan beban hidup ini adalah kisah nyata yang dialami oleh salah pemuda yang tinggal di wilayah Arab. Pada awalnya dia hidup dalam keadaan lebih dari cukup. Ayahnya adalah seorang guru ngaji di sebuah masjid. Walaupun begitu keshalehan ayahnya tidaklah menjadikannya seorang pemuda yang sholeh juga. Dia setiap hari bergelimangan dengan uang, sehingga terjerat dengan kehidupan yang gelap. Pada suatu hari terjadilah kecelakaan yang menimpa dirinya yang membuat kakinya lumpuh. Para dokter mengatakan bahwa tidak ada sebab berarti yang menyebabkan kakinya lumpuh, diperkirakan hanya gangguan syaraf karena benturan. Suatu hari, ketika ia sedang turun dari mobil dengan kursi rodanya dengan maksud singgah di rumah temannya, tiba-tiba ia mendengar suara adzan yang sanggup menggetarkan hatinya yang selama ini keras. Suara adzan tersebut ternyata mampu meluluhkan hatinya, dan membuatnya rindu kepada masjid. Sejak itu dia mulai rajin ke masjid untuk melakukan shalat jama’ah, walaupun kakinya lumpuh, padahal di saat dia sehat dan kuat, kakinya tidak pernah sekalipun menginjak masjid. Maha suci Allah Yang menjadikan musibah sebagai jalan menuju hidayah dan kebaikan. Selang beberapa minggu dia dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba dia bermimpi melihat ayahnya bangkit dari kuburan seraya memegang bahunya sambil berkata: ”Wahai anakku janganlah engkau bersedih, karena Allah telah mengampuniku karenamu.” Dan mimpi seperti itu berulang-ulang datang kepadanya setiap dia tidur. Setelah beberapa tahun lamanya dia konsisten melakukan shalat jama’ah di masjid dan biasanya ia duduk di atas kursi tepatnya di shof pertama yang paling ujung. Pada suatu hari, ketika ia shalat shubuh dan kebetulan sang imam membaca qunut panjang sekali, do’a tersebut mampu menggetarkan hatinya dan membuatnya nangis, secara tidak sengaja, tiba-tiba hatinya bergetar-getar sangat hebat seakan-akan ingin keluar dari dadanya.ia merasa bahwa ajalnya sudah dekat, tetapi secara mendadak dia menjadi tenang kembali dan meneruskan shalatnya bersama imam hingga selesai. Setelah itu ia bangkit dari kursi  secara tidak sengaja dan bisa berdiri kembali dan penyakitnya sembuh total. Subhanallah……. beginilah Allah menunjukkan kepada para hamba-Nya tentang kekuatan shalat yang ternyata membuat seseorang bahagia di dunia dan  akherat.
Pelajaran Kedelapan:
Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan juga bahwa shalat merupakan sarana untuk mencapai sebuah kesabaran. Ketika Allah memerintahkan seseorang bersabar mungkin kita akan bertanya-tanya: ”Bagaimana caranya supaya bisa bersabar?”, maka Allah dalam ayat itu juga memberitahukan bahwa cara yang paling efektif untuk memupuk kesabaran adalah dengan selalu menegakkan shalat, dan mendekatkan diri kepada Allah. Mungkin kita juga akan bertanya: ”Bersabar dan menegakkan shalat sesuai dengan aturannya adalah sesutau yang sangat berat, bagaimana caranya supaya jiwa ini tidak berat untuk selalu bersabar dan melakukan shalat tersebut ?” Maka Allah subhanahu wata’ala pada ayat berikutnya menjelaskan caranya, yaitu dengan selalu mengingat kematian, selalu mengingat bahwa manusia ini cepat atau lambat akan bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala di akherat nanti untuk dimintai pertanggung jawaban terhadap apa yang selama ini dikerjakan di dunia. Untuk mempermudah pemahaman, hal itu bisa digambarkan sebagai berikut:
-       Dunia ini banyak problematika, maka  harus dihadapi dengan SABAR.
-       Untuk menumbuhkan dan memupuk kesabaran  adalah dengan SHALAT.
-       Agar terasa ringan di dalam mengerjakan shalat dan bisa melakukannya dengan khusu’ adalah dengan selalu mengingat AKHIRAT.
Inilah rahasia kenapa Rosulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita untuk selalu memperbanyak mengingat kematian, dalam salah satu haditsnya:

أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَاذِمِ اللَّذَاتِ
”Perbanyaklah untuk selalu mengingat ”penghancur kelezatan” (yaitu kematian)” (Hadits Hasan Riwayat Tirmidzi)

Dalam hal ini Umar bin Abdul Aziz pernah berkata:
أَكْثِرْ مِنْ ذِكْرِ الْمَوْتِ، فَإِنْ كُنْتَ وَاسِعَ الْعَيْشِ ضَيَّقَهُ عَلَيْكَ، وَإِنْ كُنْتَ ضَيَّقَ الْعَيْش وَسِعَهُ عَلَيْكَ
” Perbanyaklah untuk selalu mengingat kematian, maka jika kamu bercukupan dalam hidup, niscaya dia akan mempersempitmu, dan jika  kamu dalam kesempitan hidup, niscaya dia akan memperluaskannya untukmu.”