Sabtu, 24 Oktober 2015

Semua itu ujung ujungnya Politik


Nakut nakutin Syiah selalu ingin menggulingkan pemerintahan yang sah, gerakan apapun bisa dilakukan sebagai alat penggulingan pemerintahan yang sah, Kartosuwirjo dulu sebenernya gerakan sufi yang kemudian jadi radikalisme bersenjata dan melawan pemerintahan Sukarno yang sah, dengan mendirikan DI/TII.
Suara belah belah Sunni-Syiah itu rame sebagai bagian propaganda maen politiknya Amerika Serikat di Suriah, yang sudah tahunan gagal menggulingkan Assad, AS dengan proyek Arab Springs-nya bertujuan menggulingkan semua kekuatan di negara negara arab dibawah kendalinya, seperti Irak, Mesir dan Libya.
Dan tahukah anda, Pemimpin Irak Saddam Hussein itu seorang Sunni, di masa Saddam kaum Sunni yang minoritas di Irak bisa mengendalikan Irak dengan total, setelah Saddam digantung barulah Syiah juga pegang kendali. Tapi Amerika berpandangan seperti biasanya : Mau lu Sunni, Mau lu Syiah, Mau lu Fasis, Mau lu Kominis asal lu ikut gue, lu teman gue dan kasih upeti buat gue". Itulah watak dasar kapitalisme internasional.
Bias ganda ini dilakukan di Suriah, mereka mempropagandakan secara luar biasa menjelek-jelekkan Suriah, sampai sampai Bashar Assad digambarkan sebagai Fir'aun baru. Tujuan utama Amerika Serikat saat ini adalah mengamankan jalur minyak di Negara Negara Teluk juga di negara negara Timur Tengah lain. Iran menyimpan cadangan minyak luar biasa, dengan manajemen konflik yang rapi dan tepat otak seperti menggelembungkan bara konflik Syiah-Sunni maka pecah belah umat Islam akan berhasil.
Di Indonesia, Syiah sendiri bukan masalah, seperti Ahmadiyah yang dulu juga bukan masalah berdiri di negeri ini. Tapi dialektika geopolitik-lah yang memunculkan perpecahan perpecahan itu, sampai akar rumput terpengaruh atas konflik yang terjadi di Timur Tengah.
Inilah kenapa kita memerlukan tiga ajaran Sukarno sebagai pembentuk kedaulatan Republik, kedaulatan Republik itu bukan hanya soal ekonomi, soal politik, tapi juga soal budaya. Kedaulatan itu menyeluruh : "Bagaimana Menjadikan Negara menciptakan rasa aman, bagi segala keyakinan yang tumbuh di Indonesia, Menciptakan rasa aman bagi mereka yang beribadah dan ibadahnya pada Tuhan Yang Menciptakan Segala. Inilah fungsi negara sesungguhnya yang menjaga konstitusi.
Lalu apa konstitusi yang kita sepakati : Konstitusi UUD 1945, "Negara Menjamin Keamanan Berkeyakinan dan Menjalaninya" jadi akan sangat bodoh bila ada seorang pemimpin wilayah mengeluarkan larangan untuk sebuah komunitas merayakan apa yang diyakininya, seperti perayaan mengenang Karbala bagi orang yang meyakini ajaran Syiah, sama saja dengan kebodohan Orde Baru yang melakukan tindakan apartheid keyakinan dengan mendedahkan pada pelarangan Barongsai bagi orang orang keturunan Cina Nusantara di masa masa pemerintahan Militeristik Suharto di masa lalu.
Kalau kita bangsa berdaulat, berdauluat media-nya juga tentu apa yang terjadi di Suriah bisa kita analisakan dalam situasi dialektika yang adil, masih ingatkan sejarah intelektual kita ketika menjadikan Khomeini sebagai Pahlawan Islam di masa pemerintahan diktator Shah Reza Pahlevi, banyak tokoh muslim yang memujanya, bahkan gerakan Khomeini diyakini oleh petinggi petinggi intel Suharto sebagai awal serius kebangkitan politik Islam setelah dihajar Orde Baru sejak dibubarkannya Parmusi dan dipaksa masuk PPP.
Di tahun 1982, gerakan politik Islam luar biasa sekali. Peristiwa Lapangan Banteng dijadikan semangat politik, bacaan bacaan aktivis Islam ya di Iran itu dimana mahasiswa-mahasiswanya berhasil mendesak militer Iran agar bergabung, membawa pulang Khomeini dari Perancis, dan menguasa jalan jalan di Taheran. Apakah saat itu para mahasiswa-mahasiswa yang gandrung akan "Impor Revolusi Iran" bertanya soal Syiah, mempersoalkan Syiah?, kalau anda ragu bacalah tulisan tulisan Amien Rais di Majalah Prisma yang secara runtut membanggakan bagaimana Khomeini bisa menggulingkan Shah Reza dan menerapkan dasar dasar peradaban Iran sesuai apa yang diyakininya.
Amerika Serikat juga ambil untung soal Revolusi Iran, maka konflik Iran sengaja dirawat dengan baik, dulu yang jadi Presiden AS adalah seorang lelaki berhati lembut yang suku baca puisi Dylan Thomas di atas pohon oak yang rebah di depan pabrik kacangnya. Dia bernama Jimmy Carter, pas pemilihan presiden sekitaran tahun 1979, lawan politik Jimmy Carter adalah bintang film kawakan Ronald Reagan. Dibalik Ronald Reagan ada jagoan opsus kampanye bernama William Cassey. Saat Revolusi Iran di tahun 1979, beberapa militan pembela Khomeini berhasil menculik orang orang Inggris dan beberapa orang Amerika Serikat, data CIA saat itu menyatakan ada 52 sandera Amerika, Carter yang lugu itu melakukan negosiasi atas sandera tapi gagal, kemudian Reagan memainkan peranannya. Di depan publik saat kampanye 1980, Reagan berkata di depan publik bahwa bila ia menjadi Presiden Amerika Serikat, ia akan membebaskan tawanan AS yang ditahan rezim Khomeini, namun sebelum melakukan pidato itu Reagan memerintahkan William Cassey dan George HW Bush untuk melakukan operasi barter atas tawanan 52 orang AS, Bush menawarkan Khomeini persenjataan dan memberikan bonus 40 juta dollar ke Khomeini untuk bersiap perang melawan Irak, sementara sandera dibebaskan ketika jam jam pertama Reagan menjabat.
Lalu operasi ini berhasil, dan sandera dibebaskan. Tapi Reagan juga membantu Irak melawan Iran, jadi senjata AS digunakan kedua duanya.
Cerita ini menjadi bahasan bagi kita, bahwa janganlah kita terpecah pecah seolah olah itu adalah perpecahan agama, sentimen ras, apartheid ini itu, dibalik semua itu adalah politik. Seperti galaknya pemberitaan sunni syiah yang mulai ramai jadi perbincangan publik, sama halnya dengan isu Israel-Palestina pada dekade lalu..........
-Anton DH Nugrahanto-.

Tidak ada komentar: