Kamis, 09 Maret 2017

Buya Hamka dan Pancasila

Pancasila. Sembilan huruf itu, dari sejak awal digali oleh Sukarno dan dilengkapi oleh Panitia Sembilan di tahun 1945, hingga kini tak kehilangan perbincangannya di masyarakat. Sejak masa kemerdekaan, rezim orde lama, orde baru, Pancasila terus diberikan makna yang berbeda-beda. Jika Pancasila awalnya sebagai dasar negara merupakan sebuah landasan sementara sebelum sidang konstituante, maka di rezim orde lama, bahkan hingga Partai komunis pun memberikan tafsir sendiri tentang Pancasila. Di rezim Orde baru, Pancasila sampai perlu diberikan kata ’Kesaktian‘ agar dapat menjadi penopang tegaknya rezim tersebut. Kini Pancasila acapkali menjadi semacam alat pukul yang ditujukan bagi sebagian gerakan Islam. Sedikit-sedikit dibenturkan dengan Pancasila. Sesungguhnya Pancasila tak pernah kehilangan maknanya yang ditafsirkan berbeda-beda bagi tiap kelompok.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lazim kita kenal dengan Buya Hamka, seorang ulama Indonesia, sastrawan, dan sejarawan, yang kontribusinya tak hanya diakui tanah air, tetapi juga hingga ke Timur tengah, adalah salah satu sosok yang bergelut dengan pemikiran mengenai Pancasila. Hidupnya yang merentang dari zaman penjajahan, kemerdekaan, revolusi hingga orde baru, membuatnya mengecap berbagai pengalaman yang mewarnai dirinya dalam memandang Pancasila.

Menelusuri sejarah Pancasila, maka kita akan berjumpa dengan berbagai warna perdebatan para pendiri bangsa. Sidang BPUPKI menjadi ajang para pendiri bangsa untuk merumuskan dasar negara yang akan merdeka. Sidang itu sendiri, seperti disimpulkan oleh Prof Soepomo, menjadi ajang pertarungan dua ide negara, yaitu negara berdasarkan agama dan negara sekular. Pertentangan dua ide menjadi semakin sengit. Untuk mencari kompromi diantara keduanya, maka dibentuklah panitia sembilan. Haji Agus Salim, Wahid Hasjim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebarjo, Muhammad Yamin, dan A.A. Maramis menjadi anggota dari panitia sembilan tersebut. Mereka kemudian menghasilkan yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta. Sila pertama dari piagam Jakarta yang mengandung kalimat, ”kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ ini kemudian yang menjadi suatu nilai yang sangat penting. Bagi Tokoh-tokoh Islam, kalimat inilah yang menjadi sebuah puncak perjuangan untuk memasukkan Islam menjadi bagian dari dasar negara. Sebaliknya, bagi tokoh sekular, kalimat tadi membuat mereka hidup dengan bermacam kekhawatiran. (Endang Saifuddin Anshari, 1981, Piagam Jakarta Dan Sejarah Konsesnsus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959)

Jalannya sejarah kemudian berbelok. Kalimat ini, atas prakarsa Bung Hatta yang melobi berbagai tokoh mendesak dihapuskannya 7 kata dalam sila pertama tersebut. Ia khawatir kelompok nasrani memisahkan diri dari Indonesia akibat hadirnya tujuh kata ini. Namun, meminjam istilah Prawoto Mangkusasmito, upaya penghapusan ini beserta latar belakangnya menyisakan sebuah pertanyaan sejarah. (Prawoto Mangkusasmito, 1970, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Projeksi)

Atas lobi dan berbagai pendekatan, penghapusan ketujuh kata ini coba dihapuskan. Namun ada satu tokoh yang menjadi perintang dihapuskannya ketujuh kata ini, yaitu Ki Bagus Hadikusumo. Ialah tokoh Muhammadiyah yang dalam sidang BPUPKI menjadi figur yang amat keras mendorong Islam sebagai dasar negara. Semua yang hadir tentu akan mengingat, ialah salah satu tokoh Islam yang berpidato meminta agar Islam menjadi dasar negara. Di akhir pidatonya tersebut ia menegaskan seraya berharap, ” “Mudah-mudahan Negara Indonesia baru yang akan datang itu, berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara yang tegak dan teguh, serta kuat dan kokoh. Amien!” (Ki Bagus Hadikusuma, Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin)

Sikap kerasnya kembali muncul saat berbagai tokoh mencoba membujuknya untuk menyetujui penghapusan tujuh kata tersebut. Teuku Hasan, salah seorang tokoh dari Aceh coba meyakinkan Ki Bagus. Ia menjelaskan, „ “…yang kita perlukan kini adalah kemerdekaan.  Apabila kita terus mempertahankan kepentingan sepihak, bisa-bisa orang Kristen dapat dipersenjatai oleh Belanda. Padahal kita kan maunya merdeka, bukan berperang.” Kemudian Teuku hasan kembali menekankan,” “Kalau kita banyak, kita tidak perlu cemas. Yang penting merdeka dulu, setelah itu, terserah kita mau dibawa ke mana negara ini.” (Panitia 75 Tahun Kasman, 1982, Hidup itu Berjuang. Kasman Singodimedjo 75 tahun)

Mr Kasman Singodimedjo, yang juga tokoh Muhammdiyah, menyebutkan upaya Teuku hasan tersebut tak berhasil. Akhirnya ia sendirilah yang diminta untuk membujuk Ki Bagus Hadikusumo. Dengan pendekatannya sebagai sesama tokoh Muhammdiyah dan dengan bahasa jawa, Kasman Singodimedjo membujuk Ki Bagus Hadikusumo, “Kiyahi, kemarin proklamasi kemerdekaan telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar, sebagai  dasar negara kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa Presiden dan lain sebagainya, untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan.”

Kasman pun mengingatkan janji Soekarno, “…Kiyahi, dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa, 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada lagi waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!” (Panitia 75 Tahun Kasman, 1982, Hidup itu Berjuang. Kasman Singodimedjo 75 tahun)

Ki Bagus Hadikusumo pun akhirnya luluh, setelah diingatkan oleh Kasman Singodimedjo bahwa persoalan dasar negara ini akan dibahas sekurang-kurangnya enam bulan kemudian. Apa daya, sejarah berkata lain. Bukan 6 bulan melainkan 12 tahun kemudian baru dasar negara kembali dibahas oleh para wakil rakyat dalam Sidang Konstituante. Di sidang tersebut kembali dipertarungkan berbagai ideologi untuk menjadi dasar negara. Kembali Islam dipertarungkan dengan Pancasila. Kepada anggota Dewan Konstituante, Kasman Singodimedjo mengingatkan kembali peristiwa penghapusan dan janji kepada Ki Bagus Hadikusumo itu,

“…Saudara Ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, karena telah pulang ke Rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai wafatnya. Beliau kini tidak dapat lagi ikut serta dalam Dewan Konstituante ini untuk memasukkan materi Islam, ke dalam Undang-Undang Dasar yang kita hadapi sekarang ini.

Ia kemudian bertanya, ” , “…Saudara ketua, secara kategoris saya ingin tanya, saudara Ketua, dimana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, Saudara Ketua, di manakah kami golongan Islam dapat menuntut penunaian ‘Janji’ tadi itu? Di mana lagi tempatnya?” (2001, Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante 1957)

Kasman Singodimedjo, bukan satu-satunya tokoh Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara, tetapi juga tokoh-tokoh lain seperti KH Masykur, KH Wahab Hasbullah, (Partai Nadhlatul Ulama), Moh. Natsir dan termasuk Buya Hamka (Masyumi). Sidang Konstituate, bagi umat Islam adalah wadah legal dan konstitusional untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara setelah ‘tertunda’ pasca Piagam Jakarta. Itu sebabnya, pasca Piagam Jakarta dan sebelum sidang konstituante, mereka menerima (sementara) Pancasila sebagai dasar Negara. Kesempatan ini pun tak disia-siakan oleh para tokoh Islam, termasuk Buya Hamka, yang memberikan uraian mendalam mengenai Islam dan Pancasila.

Buya Hamka mengingatkan dalam bahwa semangat melawan penjajahan, keberanian yang timbul hingga mengobarkan semangat berani mati, syahid adalah akibat kecintaan pada Allah yang bersemayam di dalam dada, bukan Pancasila,

“Itulah yang kami kenal, jiwa atau yang menjiwai proklamasi 17 Agustus, bukan Pancasila! Sungguh Saudara Ketua. Pancasila itu belum pernah dan tidak pernah, karena keistimewaan hidupnya di zaman Belanda itu menggentarkan hati dan tidak pernah dikenal, tidak popular dan belum pernah dalam dada ini sekarang, Saudara Ketua, bukanlah Pancasila, tetapi Allahu Akbar! Bahkan sebagian besar dari pembela Pancasila sekarang ini, kecuali orang-orang PKI, yang nyata dalam hati sanubarinya sampai saat sekarang inipun, pada hakekatnya adalah Allahu Akbar!”

Buya kemudian melanjutkan bahwa kalimat takbir, bukan saja mengandung Pancasila, tetapi segala sila,

“Allahu Akbar yang tertulis dalam dada saudara itulah sekarang yang kami mohon direalisasikan. Allahu Akbar yang di dalamnya terkandung segala macam sila, baik panca, atau sapta, atau ika, atau dasa, Allahu Akbar yang menjadi pertahanan saudara ketika saudara pernah menghadapi bahaya besar! Allahu Akbar yang menjadi pertahanan saudara disaat maut telah melayang-layang diatas kepala saudara. Allahu Akbar, yang kepada-Nya putra saudara yang tercinta saudara serahkan! Allahu Akbar yang dengan dia saudara sambut waktu lahir dari perut ibu.” (H. Abdul Malik Karim Amrullah, Berbeda dalam Mencari Kebenaran dalam Pancasila dan Islam; Perdebatan antar Parpol dalam penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, 2008)

Buya Hamka menegaskan, perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar Negara bukan mengkhianati Indonesia, malah sebaliknya, hanya meneruskan wasiat dari para pejuang dan pendahulu bangsa seperti Sultan Hasanuddin, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Cik Di Tiro, Maulana Hasanuddin Banten, Pangeran Antasari dan lainnya. Menjadikan Islam sebagai dasar Negara bukanlah demi kepentingan partai atau fraksi Islam di Konstituante, tetapi untuk anak cucu yang menyambung perjuangan nenek moyang. (H. Abdul Malik Karim Amrullah, Berbeda dalam Mencari Kebenaran dalam Pancasila dan Islam; Perdebatan antar Parpol dalam penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, 2008)

Partai-partai Islam sejalan dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara. Kebulatan tekad tersebut membentur partai-partai lain yang mendukung Pancasila sebagai dasar Negara. Tak ada kata sepakat diantara kedua pihak. Kebuntuan ini membuat habis kesabaran Sukarno. Akhirnya Konstituante pun dibubarkan, dan Dekrit Presiden mengembalikan Pancasila untuk ditetapkan sebagai dasar negara, dengan Piagam Jakarta yang menjiwai UUD ’45.

Runtuhnya rezim orde lama dan bangkitnya rezim orde baru dibawah Suharto tak memberikan kesempatan untuk memperjuangkan kembali Islam sebagai dasar Negara. Bahkan untuk memperjuangkan Piagam Jakarta pun rezim orde baru tak beri kesempatan sedikit pun. Berada dalam situasi tersebut, ada perubahan sikap dari para tokoh Islam dalam memandang Pancasila pasca runtuhnya orde lama dan munculnya orde baru. Perubahan sikap ini juga yang kita lihat pada Buya Hamka.

Buya Hamka, yang pernah merasakan represifnya rezim orde lama di balik jeruji penjara, memilih sikap untuk menafsirkan Pancasila sesuai dengan jiwa Islam. Ketika memberikan khotbah Iedul Fitri di Istana Negara tahun 1968, Buya Hamka memberikan makna Pancasila, dengan jiwa Islam. Sila pertama, Ketuhanan Maha Esa, menurut Buya Hamka adalah Tauhid, Lailaha illalah. Ketuhanan Maha Esa adalah Tauhid. Sila inilah yang menjadi sumber empat sila lainnya. (Hamka, 2002, Pancasila akan Hampa Tanpa Ketuhanan yang Maha Esa Dalam Dari Hati ke Hati)

Apabila manusia telah mempercayai Tuhan yang satu (Maha Esa), maka secara logis dan pasti, orang tersebut akan menghargai dasar sila kedua, yaitu peri kemanusiaan. Mengutip surat Al Hujarat ayat 14, Buya Hamka mengatakan dengan percaya pada Ketuhanan Yang Maha Esa pula, maka manusia akan menimbulkan rasa kebangsaan. Rasa kebangsaan itu adalah rasa mencintai tanah air, seperti yang sudah diteladani para pejuang Islam sejak zaman dahulu. Bukan rasa kebangsaan yang chauvinis dan bertentangan dengan peri kemanusiaan. Adab adalah kata yang berasal dari kosa kata arab yang mendapat nilai-nilai Islam.

Buya pun menjelaskan, Ketuhanan yang Maha Esa memberikan konsekuensi logis bagi manusia untuk bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Kata mufakat dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa arab. Sebuah kata yang lagi-lagi mendapat nilai-nilai Islam.

Menurut Buya Hamka, Tauhid (beriman pada Tuhan yang maha Esa), sudah pasti menyuruh manusia untuk berbuat adil. Kata Al-Adl adalah salah satu dari nama Allah. Allah menyuruh manusia untuk mengerjakan amal dan kebaikan berjama’ah.

Penafsiran Pancasila dalam cahaya Islam, bagi Buya Hamka bermuara pada sila pertama, yang mencerminkan agama tauhid (Islam). “Agama yang mengakui ke-Esa-an Allah yang mutlak dan dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia. “ (Hamka, 2002, Ketuhanan yang Maha Esa Dalam Dari Hati ke Hati)

Tak ada penafsiran lain dari Ketuhanan yang Maha Esa, melainkan Tauhid. Buya menekankan,

“Tak ada kata lain, melainkan Allah, dan Allah itu Esa adanya. Jelas sekali dalam anggapan segala agama, bahwa Allah itu Esa. Dan jelas sekali disini bahwa sumber utama yang memberikan inspirasi sehingga timbulnya hasrat merdeka ialah Allah itu sendiri.” (Hamka, 2002, Ketuhanan yang Maha Esa Dalam Dari Hati ke Hati)

Sesungguhnya bukan Buya Hamka saja yang memaknai sila pertama sebagai Tauhid, tetapi juga Ki Bagus Hadikusumo dan Mohammad Hatta (seorang tokoh yang dalam perdebatan dasar Negara di Sidang BPUPKI termasuk dari kelompok nasionalis sekular). Maka sudah pasti Buya Hamka menolak tafsir Pancasila yang sekular.

Menurut Buya Hamka, “Di Negara kita ini tidak bisa sekularisme, kalau kita hendak berpegang pada UUD 1945, terutama dasar negara Pancasila. Janganlah dicoba sekali lagi, hendak membuat Pancasila kosong melompong, dengan menjadikan negara kita sekuler.” Menurut Buya justru dengan percaya pada Tuhan yang Maha Esa, maka Indonesia terhindar menjadi negara sekular. (Hamka, 2002, Dengan Sekularisasi Pancasila akan Kosong Dalam Dari Hati ke Hati)

Perubahan pandangan Buya Hamka terhadap Pancasila, tak bisa kita lepaskan dari situasi dan kondisi bangsa. Saat ada kesempatan untuk mengemukakan Islam sebagai dasar negara secara konstitusional, maka Buya Hamka tampil ke muka untuk memperjuangkannya. Saat ia menghadapi pemerintah orde baru yang tidak membuka kemungkinan untuk membicarakan kembali soal dasar negara, Buya Hamka memberikan penafsiran Pancasila yang sesuai dengan ajaran Islam. Penulis berpendapat, inilah cara Buya Hamka memperjuangkan syariat Islam. Bagi Buya,

“Orang Islam tidaklah apriori meminta agar Negara Republik Indonesia ini agar bernama Republik Indonesia Islam, sebab meskipun disini orang takut mendengar nama, namun ditinjau oleh orang luar, negeri ini bukan negeri Kristen, dan bukan negeri komunis, tetapi negeri orang Islam. Yang penting bagi kita bukan nama, tapi pengakuan di negeri ini, Islam adalah mayoritas, diberi hak melakukan kewajiban menjalankan syariat Islam dalam kalangan kita sendiri.” (HAMKA, 2002, Mengapa mereka Masih Ribut? “Mari kita Berpahit-pahit, Kaum Muslimin Belum Puas atas Kemerdekaan Ini” Dalam Dalam Dari Hati ke Hati)

Baik situasi ketika negara memungkinkan untuk memperdebatkan dasar Negara secara konstitusional, atau ketika Negara tidak memberikan jalan untuknya, Buya Hamka tetap berjalan di atas jalan jihad fi sabilillah memperjuangkan syariat Islam di Indonesia, terang dan terbuka. Maka kita renungkan dan resapi kata-kata Buya Hamka,

Negara kita berdasar Pancasila; dalam negara berdasar Pancasila itu, kita kaum muslimin wajib mengisinya dengan cinta yang telah kita terima dari langsung dari Allah dan Rasul.

Namun tidak!-demi Tuhanmu-tidaklah mereka beriman, sebelum engkau jadikan hakim, pada barang yang mereka perselisihkan diantara mereka, kemudian itu tidak mereka dapati dalam diri mereka sendiri rasa keberatan pada apa yang engkau putuskan, dan mereka menyerah sebenar-benar menyerah.

Itulah dia iman, dan itulah dia hidup.

Kalau tidak, sama dengan artinya mati, walaupun nafas masih turun naik.” (HAMKA, 2002, Cintakan Rasul SAW dalam Dalam Dari Hati ke Hati)

Oleh karena itu, Buya juga mengingatkan kita untuk berterus terang tampil ke muka dan menyatakan pendirian sebagai umat Islam di Indonesia;

“Mari kita berpahit-pahit, kaum muslimin belum pernah merasa puas dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban menjalankan syariat Islam dalam kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi kenyataan.”

(HAMKA, 2002, Mengapa mereka Masih Ribut? “Mari kita Berpahit-pahit, Kaum Muslimin Belum Puas atas Kemerdekaan Ini” Dalam Dalam Dari Hati ke Hati)

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
artikel ini dimuat di Majalah Tabligh edisi bulan Agustus 2016

Tidak ada komentar: