Selama orang-orang Normandia melakukan
konsolidasi kekuasaannya di Inggris dan Sicilia, dan selama aliran
pengetahuan Arab ke Barat terus meningkat melalui Arab Spanyol dan
Italia, saat ini kekuasaan Islam telah berlangsung tak kurang dari lima
ratus tahun lamanya. Puncak keilmuan yang tak seimbang –yang
fungsi-fungsinya telah dilarang oleh hukum agama, tetapi dalam kenyataan
memiliki kekuatan yang besar– berupaya untuk mencoba mendamaikan metode
filsafat Yunani Kuno (Greek) dengan al-Qur’an dan Sunnah-sunnah
Nabi saw. serta menerima Skolastisisme sebagai metode untuk menafsir
agama. Para ahli dialektika belum mampu menemukan diri mereka untuk
mendemonstrasikan kebenaran dan kepercayaan-kepercayaan mereka dengan
makna-makna intelektual. Masyarakat lewat sirkulasi pengetahuan telah
tumbuh melampaui dialektika formal. Kondisi ekonomi yang sangat baik
telah menghasilkan intelektualitas yang luas, melampaui kebutuhan
terhadap jaminan-jaminan dogmatik. Atau melampaui pernyataan bahwa,
“negara harus benar”. Islam telah menjadi negara. Islam tampak seperti
akan jatuh berkeping-keping.
Seorang
pemuda Persia, negeri permadani, yang dikenal dengan Muhammad
al-Ghazali (seorang pemintal benang), hidup yatim sejak masih kecil dan
dididik sebagai Sufi di sebuah universitas di Asia Tengah yang ada saat
itu. Ia ditakdirkan untuk memperoleh dua hal yang luar biasa, sebagai
akibat dari dimana dua agama, Islam dan Kristen menghasilkan beberapa
karakteristik yang hingga kini tetap dimiliki.
Islam
ortodoks telah menentang Sufisme yang dianggap mencoba mengabaikan
hukum dan menggantikannya dengan “pengalaman personal” mengenai makna
agama yang sebenarnya. Hal itu dianggapnya sebuah idea sangat bid’ah.
Tetapi Muhammad al-Ghazali benar-benar telah menjadi seorang yang mampu
mendamaikan Islam dengan intelektualisme dan memperbaiki
kepercayaan-kepercayaan pokok Asy’ariyah serta membentuk
diktum-diktumnya sebagai kepercayaan Islam universal, sebagaimana
dikatakan oleh Profesor Hitti. Betapa suksesnya pembuat bid’ah ini dalam
proses menjadi penemu kebenaran bagi ‘gereja’ Muslim, hingga kebanyakan
masyarakat ortodoks memberinya titel akademik tertinggi yang terkenal
dengan “Hujjatul Islam” (the Authority of Islam, Pembela Islam).
Setelah
lima puluh tahun lamanya tulisan mereka, buku-bukunya menyebarkan
pengaruh yang sangat besar terhadap Skolastisisme Yahudi dan Kristen. Ia
tidak hanya mendahului mode yang luar biasa dari Holy War dan Pilgrim’s Progress-nya John Bunyan, tetapi juga mempengaruhi Ramon Marti, Thomas Aquinas dan Pascal, sebaik sejumlah pemikir-pemikir modern.
Buku-buku seperti Tahafutul-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf, Kimiyya’us-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) dan Misykatul-Anwar (Relung Cahaya) terus dipelajari secara seksama dan mengandung ajaran-ajarannya yang besar.
Pada Abad Pertengahan di Eropa ia dikenal dengan Algazel.
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang lebih banyak dari catatan-catatan seorang penulis. Para ahli
teologi Kristen dengan senang hati menyerahkan pertanyaan-pertanyaan itu
kepada pemikir-pemikir Muslim, dan al-Ghazali memberikan
jawaban-jawabannya kembali dan mencapai apa yang oleh Profesor Hitti
disebut jawaban mystico-psychological Sufi. Posisi Sufisme yang
diterima dan dikenal oleh banyak Muslim yang dianggap sebagai makna inti
Islam adalah hasil langsung dari karya al-Ghazali.
Idea-idea
yang disampaikan oleh al-Ghazali dan telah mempengaruhi St. Thomas
Aquinas the Dominican dan St. Francis of Assisi, masing-masing dengan
caranya sendiri, telah menyebabkan kebingungan di pikiran para pemikir
Mistisisme Barat yang terus menahan sakit hingga kini. Bagi Sufi, aliran
al-Ghazali dalam dua tekanan yang berbeda terlihat dengan jelas di
dalam dua aliran Intelektual Dominican dan aliran Intuitif Franciscan.
Dua pengaruh yang berbeda akibat gejala adaptasi dan spesialisasi dalam
satu metode Sufi itu begitu definitif sedemikian jelasnya, bahkan
sekalipun salah satunya tidak mengetahui sumber-sumber inspirasi yang
dipakai oleh dua guru Kristen di atas, itu akan baik sekali untuk
diidentifikasi aliran Sufinya.
Evelyn Underhill (Mysticism)
telah mengatur untuk mengungkapkan kesatuan fondasi aliran-aliran yang
tampak berbeda pada dua madzhab Kristen itu. Tampaknya tanpa
mendengarkan pengaruh-pengaruh Sufi terhadap Mistisisme Kristen, ia bisa
mencatat bahwa dua aliran Dominican dan Franciscan secara mendasar
berakar dalam perenungan dan “akibat kemampuan menafsir dunia Abad
Pertengahan yang merupakan tradisi spiritual besar masa lalu.”
Al-Ghazali,
dengan menggunakan konsep Sufi bahwa semua religiusitas dan aktivitas
psikologis secara esensial adalah alam yang sama, dengan menampilkan
kembali tradisi yang berlaku yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh
individu-individu tertentu, telah mencapai posisi dimana ia mampu
menyajikan dua hal: dunia mistik dan teologis secara sempurna dalam
konteksnya. Dalam pekerjaan itu, ia mampu mendemonstrasikan bagian dalam
dari realitas agama dan filosofi (inner reality of religion and philosophy)
dalam cara sedemikian sebagai seruan bagi para penganut setiap
keyakinan (keimanan). Konsekuensinya, walaupun pekerjaannya telah
dihormati oleh para pengikut dari berbagai tradisi yang berbeda, ada
kecenderungan yang salah untuk menganggap bahwa ia telah mengusahakan
pemaduan agama. Seorang ahli teologi Kristen, Dr. August Tholuck,
termasuk yang beranggapan demikian, ketika ia menyetujui bahwa
tulisan-tulisan al-Ghazali sesuai dengan agama Kristen.
Pertanyaan-pertanyaan Tholuck tentang materi itu patut dicatat dengan
seksama, ketika memberikan sebuah contoh yang luar biasa tentang bentuk
pemikir “gajah di tempat gelap” yang tak mempercayai sebuah sumber
tunggal untuk semua pengajaran metafisika yang jujur, dan harus mencoba
memberikan penjelasan tentang bahan-bahan beberapa penampilan baru dari
seorang guru:
“Semua itu baik,
penting dan mulia, dimana jiwa besarnya telah sampai. Ia telah
menganugerahkan Muhammadisme dan mempercantik doktrin-doktrin al-Qur’an
dengan begitu banyak kesetiaan dan tahu bahwa dalam bentuk ajaran-ajaran
yang ia berikan, tampaknya ajaran-ajaran itu, menurut pendapat saya,
berharga bagi persetujuan ummat Kristen. Apa pun luar biasanya isi
filsafat Aristoteles atau isi mistisisme Sufi, ia sangat hati-hati
menyesuaikannya dengan teologi Muhammad. Dari tiap madzhab ia mencari
makna-makna pancaran sinar dan kemurnian agama, pada saat kesetiaannya
yang tulus dan kesadarannya yang tinggi menyebarkan sebuah kemuliaan
yang suci ke dalam semua tulisannya.”
Sulit
ada sesuatu yang mampu menggerakkan intelektualitas peneliti untuk
mempercayai bahwa semua yang ia pelajari terbentuk dari sesuatu yang
tambal sulam.
Pada suatu waktu,
ketika hanya sedikit ahli agama yang mampu dengan seksama mengkaji
sebuah Hadis Rasul secara benar, itu pun hanya terbatas pada orang-orang
tua, al-Ghazali telah diangkat sebagai seorang Profesor pada
universitas terkenal, Nizhamiyah di Baghdad, saat ia berusia tiga puluh
tiga tahun. Intelektualitasnya benar-benar berada di tingkatan yang
sulit dilampaui dalam Islam. Baginya, obyek pendidikan yang sebenarnya
tidak semata untuk memberikan informasi, tetapi juga memberikan
stimulasi terhadap kesadaran batin, sebuah konsep yang sangat
revolusioner bagi pengajaran yang ada saat itu. Ia telah mengemukakan
teorinya itu dalam bukunya, Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu
Agama). Dibanding Rumi (yang baru menyatakan tentang batas-batas puisi
setelah menjadi penyair besar), al-Ghazali saat itu telah mampu
menunjukkan keterpelajarannya. Tak kurang dari tiga ratus ribu Hadis
Nabi saw. ia hafal, dan telah mendapat predikat Hujjatul-Islam (Pembela Islam).
Kekuatan-kekuatan
intelektualnya yang telah menyatu dengan kegelisahan pikirannya,
seperti yang ia kemukakan dalam tulisan-tulisan otobiografinya,
membuatnya melakukan penyelidikan tanpa kenal lelah pada setiap dogma
dan doktrin yang ia rasakan bertentangan. Ini semua dilakukan pada saat
ia masih muda belia.
Selama masih mengajar, al-Ghazali telah membuat kesimpulan bahwa canon law,
prinsip utama hukum (seperti yang telah ia tulis dalam buku-buku yang
terpercaya) adalah basis yang tak cukup untuk mewadahi realitas, dan ia
pun jatuh ke dalam Skeptisisme.
Setelah
mengundurkan diri dari jabatannya, al-Ghazali menggunakan dua belas
tahun periode darwisnya — untuk mengembara dan melakukan meditasi,
kembali ke latar belakang Sufinya untuk menemukan jawaban-jawaban yang
tidak ia dapati dari dunia kebiasaan yang berlaku.
Ia
mengaku bahwa telah menjadi seorang yang egois, dan sangat merindukan
pujian dan pengakuan. Ketika menyadari bahwa dirinya telah menjadi
sebuah penghalang dalam mencapai pemahaman yang benar, ia tidak secara
mendadak merendahkan diri memilih “jalan gelap”, sebagai obat untuk
segala penyakit yang menawarkan jalan menuju banyak mistik. Ia
menetapkan, bahwa akan menggunakan pengembangan kesadaran agar sampai
pada kebenaran obyektif
Selama
periode melepaskan urusan-urusan duniawi, setelah melepaskan karirnya
sebagai seorang terpelajar, dimana ia telah menyelamatkan teologi Muslim
dari kerusakan, al-Ghazali menceritakan bagaimana ia berjuang melawan
penguasaan dirinya. Ia telah mengembara di sepanjang wilayah Timur,
untuk berziarah ke tempat-tempat suci dan mencari pencerahan serta
kejelasan makna di dalam cara kaum Sufi (kaum Darwis), setiap kali ia
memasuki sebuah masjid. Pada khotbahnya, sang Imam selalu mengakhiri
ceramahnya dengan kata-kata, “Demikian Imam kita al-Ghazali mengatakan.”
Sufi yang mengembara itu
berkata kepada dirinya sendiri, “Duhai penguasaan diri, betapa nikmat
kau dengar kata-kata itu. Sebelum kuceritakan kenikmatan ini
berulangkali, aku telah meninggalkan tempat ini dengan segera, untuk
pergi ke tempat yang tak ada seorang pun bicara tentang al-Ghazali.”
Ahli
teologi, yang telah menerima master di luar bidang-bidang keagamaan,
tahu bahwa kesadaran tentang hal yang boleh jadi telah menjadi maksud
dari istilah “Tuhan” adalah sesuatu yang hanya dapat diapresiasikan
dengan makna-makna batin, bukan didapat melalui kerangka aneka keagamaan
formal.
“Aku telah berkunjung
ke Syria,” katanya, “dan berdiam di sana selama dua tahun. Tak ada obyek
lain kecuali mencari kesunyian, mengalahkan kepentingan diri, berjuang
melawan nafsu, mencoba menjernihkan jiwa untuk menyempumakan watakku.”
Ia melakukan itu karena Sufi tidak bisa masuk ke pemahaman kecuali
hatinya telah siap “bermeditasi dengan Tuhan,” sebagaimana dikatakannya.
Periode saat itu hanya cukup
memberikan kepadanya pancaran-pancaran sporadis pemenuhan spiritual
(rasa awal) — tingkatan yang dipertimbangkan oleh sebagian besar
ajaran-ajaran mistik non-Sufi untuk menjadi puncak, tetapi kenyataannya
itu hanya merupakan langkah awal.
Hal
itu menjelaskan kepadanya bahwa, “Para Sufi itu bukan orang-orang yang
hanya berbicara, melainkan berpersepsi batin.” “Aku telah mempelajari
bahwa semua itu dapat dipelajari dengan membaca. Tetapi kelanjutannya
tidak bisa diperoleh dengan studi atau bicara.”
Walaupun
telah dibingungkan oleh percobaan-percobaan ekstatiknya dalam
memikirkan semuanya itu dan akhir dari semua penjelajahan mistik,
al-Ghazali sadar bahwa “penyerapan Tuhan, sebagaimana disebut, yang
telah dianggap menjadi tujuan Sufi, kenyataannya hanyalah merupakan permulaan.”
Ia
mengakhiri intelektualisine dan skolastisismenya, karena sadar bahwa
semua itu adalah sebuah akhir, dan dengan demikian ia akan mampu
menyelesaikan tangga-tangga pendahuluan yang dapat menyeberangkan
pengalaman-pengalaman mistik ke dalam sebuah kesadaran final. Ia dapat
melakukan semua itu karma telah memperoleh apa yang ia cari — sebuah
bentuk pengenalan, mirip sebuah pancaran sinar langsung, yang telah
memberikan sebuah perasaan keyakinan dan makna-makna untuk mencapai
kesadaran tertinggi (ultimate realization). “Ini adalah sesuatu,”
katanya melukiskan persepsinya, “yang secara khas mirip seseorang yang
benar-benar telah meraba sebuah obyek.”
Menceritakan kebahagiaan dan kesempurnaan tentang sebuah proses transmutasi alkimia
dari kesadaran manusia, al-Ghazali mengemukakan sebuah cerita tentang
Bayazid (al-Bisthami), seorang guru Sufi klasik pertama, dalam bukunya Kimiyya’us-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan), untuk menekankan bagaimana amour propre (penguasaan diri) harus dilihat pertama dalam pancaran sinar yang nyata, sebelum pembersihan yang lain benar-benar dikerjakan:
Seseorang
mendatangi Bayazid dan bertutur bahwa ia telah berpuasa dan beribadah
selama tiga puluh tahun. Tetapi ia belum dekat pada pengenalan Tuhan.
Bayazid menjawab, “Walaupun seratus tahun tak akan pernah cukup.” Orang
itu bertanya, “Mengapa?”
“Karena keakuanmu telah menjadi penghalang antara dirimu dan kebenaran.”
“Berikan aku penyembuhnya!”
“Ada obatnya, tetapi ini tidak cocok untukmu.”
Laki-laki itu memaksa minta. Dan Bayazid setuju untuk menjelaskan.
“Pergilah
dan cukur jenggotmu. Buka dirimu dan telanjangi, kecuali pakaian bagian
pinggul ke bawah. Isi sebuah karung makanan penuh dengan buah walnut
(sejenis kenari) dan pergilah ke pasar terbuka. Berteriaklah di sana,
‘Sebuah walnut untuk setiap anakyang menamparku!’ Lalu baliklah engkau
menuju ke sidang di mana doktor-doktor hukum sedang mengadakan sidang!”
“Tetapi, sungguh, aku tidak bisa melakukan itu. Tunjukkanlah kepadaku cara-cara lain!”
“Hanya itu caranya,” kata Bayazid, “tetapi aku belum selesai menjelaskan semua, tak ada jalan lain untukmu.”
Al-Ghazali seperti guru-guru zuhud
lainnya, mempertahankan bahwa Sufisme adalah pengajaran batin semua
agama, dan ia telah menggunakan banyak kutipan dari Bibel dan Apocrypha
untuk menetapkan pendiriannya. Ia telah menulis sebuah kritik awal
tentang pemutarbalikan dalam idea-idea Kristen, “Al-Qaul al-Jamil fir-Radd ‘ala Man Ghayyaral Injil”
(Pendapat Baik untuk Memberi Bantahan terhadap Orang yang Mengubah
Injil). Sebagai konsekuensinya, tentu ia setuju berada di bawah pengaruh
Kristen. Kenyataannya, setidak-tidaknya ia memang demikian, yang bahkan
BBC (British Broadcasting Corporation) ketika pada kesempatan
tertentu menggunakan cerita-cerita Sufi untuk program agamanya di pagi
hari, mungkin saja mengambilnya dari sumber-sumber sekunder, dan
menggunakannya dalam makna esoterik mereka bila sesuai dengan
nilai-nilai Kristen.
Al-Ghazali
telah dituduh mengkhotbahkan sesuatu dan di belakang layar mengajarkan
sesuatu yang lain. Itu adalah kebenaran yang tak diragukan, jika
diterima bahwa ia telah menganggap Sufisme aktif sebagai sebuah tanggung
jawab khusus yang hanya cocok untuk sejumlah orang tertentu yang
memiliki kemampuan untuk menerima “Kepandaian”. Aspek-aspek doktrinal
dan eksternal Islam yang ia umumkan dengan ortodoksi yang benar-benar
sempurna, telah diperuntukkan bagi mereka yang tidak dapat mengikuti
batin “Jalan Sufi”.
Insan Kamil
(Manusia Sempurna) itu, karena hidupnya dalam waktu yang bersamaan
berdimensi beda, harus mengikuti lebih dari satu perangkat doktrin.
Seseorang yang berenang menyeberangi sebuah danau akan melakukan
gerakan-gerakan, dan bereaksi terhadap apa yang ia lihat, yang berbeda
dengan seseorang yang menuruni sebuah bukit, misalnya, Ia manusia yang
sama; dan ia mengerahkan seluruh kemampuan renangnya ketika menyeberang.
Dengan keberanian luar biasa ia benar-benar mengemukakan hal itu dalam bukunya, Mizanul Amal (Timbangan Amal).
Insan Kamil memiliki tiga bingkai kepercayaan:
- Pada lingkungannya.
- Pada yang ia berikan kepada murid-murid dalam menyesuaikan dengan kapasitas pemahaman mereka.
- Pada yang ia pahami dari pengalaman-pengalaman batin; hal ini untuk diketahui oleh sebuah kelompok khusus.
Bukunya, Misykatul Anwar
(Relung Cahaya) adalah sebuah ulasan tentang Ayat Cahaya dalam
al-Qur’an yang sangat populer, juga sebuah gambaran pengertian awal
tentang Ayat tersebut.1
Ia
menjelaskan bahwa segala sesuatu memiliki arti “bagian luar” dan arti
“bagian dalam”. Keduanya tidak dapat beroperasi bersama-sama, walaupun
keduanya bekerja secara konsisten dalam berbagai segi masing-masing.
Versi yang berlaku dalam kelompok-kelompok umum, itu benar, tidak
mengandung penafsiran yang dirancang oleh perwakilan-perwakilan
persaudaraan kaum darwis yang ada; tetapi itu hanya karena kunci untuk
membuka buku yang luar biasa itu tidak dapat diekspresikan dengan
kata-kata, karena ia merupakan sebuah bentangan pengalaman pribadi.
Dengan kata lain, itu hanya bisa dipahami bila dialami.
Kenyataan
ini, suatu dasar dalam Sufisme dan ditentukan oleh banyak penulis Sufi,
boleh jadi bisa dipahami dengan mudah oleh pemikir-pemikir formal.
Dalam sebuah terjemahan Misykatul Anwar yang digarap di Inggris oleh Direktur School of Oriental Studies,
Kairo, Mr. W.H.T. Gairdner mengungkapkan kesulitan memahami al-Ghazali
pada materi tentang inti pengalaman berkaitan dengan kepercayaan dan
ketidakpercayaan, dan banyak lagi:
“Semua
itu adalah misteri-misteri dan rahasia-rahasia yang tak
terkomunikasikan dari pengungkapan, dimana penulis kita (al-Ghazali)
menghindari (kesudahan) pada saat yang pasti manakala kita mengharap
kesimpulannya. Itulah seni yang amat tinggi — lebih dari sekadar
menggiurkan. Siapakah orang-orang yang ‘Ahli’, kepada siapa ia telah
mengkomunikasikan getaran-getaran rahasia itu? Apakah hal-hal yang
dikomunikasikan itu pernah ditulis untuk atau oleh calon-calon anggota
saudaranya?”
Al-Ghazali menyebut rahasia-rahasia yang dialami, tetapi tak dapat ditulisnya. Ia tak tergiur untuk mencobanya.
Di
sana benar-benar ada empat bagian dari karya al-Ghazali. Pertama,
adalah materi filsafati yang ia tempatkan sebagai penolakan terhadap
intelektual-intelektual dan teolog-teolog Muslim, dengan tujuan menjaga
bersama bingkai teoritik agama. Kemudian lahir ajaran-ajaran
metafisiknya seperti yang terdapat dalam karya-karyanya, Misykat dan al-Kimayya’.
Setelah itu ada makna-makna yang disimpan dalam bentuk simbol di dalam
berbagai karya tulisnya. Terakhir, ada ajaran yang dijabarkan dari
sebuah pemahaman tentang dua hal terakhir, yang sebagian disebarkan
secara lisan, dan sebagian lagi mudah dicapai oleh mereka yang mengikuti
karya dan pengalaman mistiknya secara benar.
Seperti
halnya para Sufi klasik, al-Ghazali menulis dan menggunakan lambang dan
simbol puisi. Nama julukan yang dipilihnya sendiri yang umum ia gunakan
adalah “al-Ghazali”. Terutama alat ini, “Pemintal”. Julukan ini
menunjuk pada “seorang pemintal”, yang mengerjakan bahan-bahan seperti
wool — kata kode untuk Sufi — dan mengandung arti “kebutuhan pemintalan”
atau “kerja pemintal bahan-bahan” dan “memintal dirinya sendiri”. Juga
untuk mengasosiasikan profesi yang berhubungan dengan Fathimah
(yang maksudnya “Pencelup”), putri Muhammad saw. Darinya seluruh
keturunan Nabi Muhammad saw menggambarkan silsilah mereka. Mereka
dipercayai mewarisi pengajaran batin Islam, untuk menunjuk ke mana
pengajaran batin Islam itu berhubungan dengan semua tradisi metafisik
yang asli.
Perhatian penuh terhadap nama-nama puitik yang dipilih itu telah ditunjukkan oleh banyak asosiasi lain tentang kerja. Al-Ghazali juga melambangkan gazelle
(istilah genetik untuk jenis-jenis antelope, tipe rusa bertanduk yang
larinya cepat, seperti kijang, yang merupakan kata homonim dari
“pecinta”). Tiga akar huruf GH-Z-L, dari mana kata GHaZaL diturunkan,
yang itu juga berasal dari istilah teknis bahasa Arab standar dan Persia
untuk menyatakan sebuah puisi cinta, sebuah tanda cinta kasih. Asal
kata lain yang berakar dari kata itu juga meliputi pengertian sebuah
jaring laba-laba (sesuatu yang teranyam) yang merupakan suatu keadaan
yang direncanakan menjadi penghubung aksi menuju iman. Aksinya adalah
penganyaman sebuah jaringan yang meliputi mulut gua, tempat Muhammad dan
sahabatnya Abu Bakar bersembunyi dari musuh-musuh mereka dalam suatu
kesempatan (sebelum hijrah ke Madinah).
Seorang
Sufi tahu tradisi-tradisi itu. Karenanya menafsir nama al-Ghazali
sesuai dengan prinsip yang telah menjadi pilihannya. Lalu, baginya, itu
berarti bahwa al-Ghazali mengikuti jalan Cinta, jalan Kesufian (“benang
wool”), yang artinya pekerjaan “memintal kesufian”. Al-Ghazali telah
meninggalkan catatan-catatan kunci untuk diambil oleh para penggantinya,
meliputi isyarat tentang keterjagaan sebuah doktrin batin (Fathimah, Pencelup) dalam konteks keagamaan yang ia alami.
Metodologi
al-Ghazali diikuti oleh kelompok-kelompok Sufi dengan bermacam-macam
variasi. Ia secara khusus mempertahankan penggunaan musik, untuk
mengangkat persepsi-persepsi dalam buku Ihya’-nya — dalam hal yang semacam itu musik digunakan kaum Darwis dari Tarekat Mevlevi dan Chisytiyah. Di Barat, gubahan Ravel, Balero,
sesungguhnya merupakan sebuah penyesuaian dari salah satu karya-karya
musik yang dikomposisi secara khusus itu. Ia mengemukakan bahwa dalam
upaya mengembangkan ke arah fakultas-fakultas lebih tinggi, kebanggaan
diri harus dikenali dan dikalahkan. Bentuk-bentuk ini adalah bagian lain
dari latihan dan studi Sufi. Ia memberi petunjuk bahwa kesadaran harus
dialihkan, lebih baik daripada dikalahkan.
Itu sebenarnya digunakan dalam ungkapan khusus alkimia
oleh para Sufi Abad Pertengahan yang bertanggung jawab atas sebagian
besar kekacauan pikiran di kalangan peneliti-peneliti terakhir ini,
perihal apa sebenarnya “alkimia” yang dimaksudkan. Sebagian
menyatakan bahwa itu adalah sebuah bentuk samaran dari sebuah
penyelidikan spiritual. Sebagian lagi menjawab, bahwa
laboratorium-laboratorium para ahli alkimia telah diuji dan
menunjukkan semua indikasi penggunaannya untuk eksperimen-eksperimen
nyata. Karya-karya yang berasal dari para ahli alkimia spiritual telah digambarkan sebagai uraian kimiawi.
Al-Ghazali berkata demikian, “Emas alkimia lebih baik dari emas, tetapi ahli-ahli alkimia
yang sebenarnya sangat jarang, karena itu merekalah Sufi-sufi yang
sebenarnya. Tetapi orang yang punya sedikit pengetahuan kesufian tidak
lebih baik dari seorang yang terpelajar.” (Kimiyya’us-Sa’adah).
Pertama kali perlu dicatat bahwa sebagian besar tradisi alkimia masuk ke Barat melalui sumber-sumber Arab dan apa yang disebut Lempengan Zamrud dari Hermes, the Thrice Greatest,
bentuknya yang asli ditemukan di Arab. Lebih dari itu, perlu dicatat
pula bahwa Sufi klasik yang pertama adalah Jabir bin al-Hayyan, dikenal
sebagai sang Sufi, ahli alkimia dan okultis — Latin terkenal dengan Geber, yang hidup tiga abad sebelum al-Ghazali.
“Karya
Agung” itu yang merupakan ungkapan terjemahan Sufi dan doktrin tentang
mikrokosmos-makrokosmos (apa yang di atas sama dengan apa yang di bawah)
juga terdapat dalam tradisi Sufi, dan diperkaya oleh al-Ghazali.
Apabila Sufisme ternyata bukan ciptaan yang terikat pada suatu waktu
tertentu, maka tak ayal lagi bahwa gagasan yang mirip mesti terdapat
dalam tradisi-tradisi kebatinan asli lainnya. Kecuali kalau semua hal
kebatinan itu benar-benar dipahami, maka pengamatan atas teori
transmutasi dari yang kasar ke yang halus dari pijakan yang memadai,
tiada lagi berguna.
Karya al-Ghazali Ihya’ Ulumiddin
secara luas sangat berpengaruh di kalangan Muslim Spanyol (sebelum ia
diakui sebagai ulama agung dalam Islam) karena mengandung
pernyataan-pernyataan seperti:
Masalah pengetahuan Ilahiyah itu begitu dalam sehingga hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang mengalaminya. Seorang bocah tidak mungkin memahami jangkauan pengetahuan seorang dewasa yang sebenarnya. Seorang dewasa yang awam tidak mungkin memahami pencapaian seorang yang terdidik. Demikian pula seorang yang terdidik tidak mungkin memahami pengalaman-pengalaman para wall yang tercerahkan atau para Sufi.
Ihya’
mengandung penjelasan-penjelasan yang sangat penting dengan cinta ideal
Sufi. Adapun perumpamaan manusia dengan sesamanya atau dengan makhluk
seringkali digunakan. Dengan mengutip guru Sufi Malik bin Dinar,
al-Ghazali menyatakan dalam Ihya’, Jilid IV “Seperti burung sejenis terbang bersama-sama, dua orang mempunyai kemampuan umum yang sama akan bergabung.”2
Al-Ghazali
menjelaskan bahwa suatu “(pemakaian) pembauran dari (kata) seekor babi,
seekor anjing, setan dan seorang wali” adalah titik pijak yang tidak
lazim bagi pikiran yang berusaha mencapai pemahaman yang mendalam
tentang hal-ihwal, dan pembauran ini tidak dapat dipahami melalui
definisi. “Anda harus berhenti memandang sebuah bantal apabila sedang
mencoba melihat sebuah lampu.”
Cara
pembauran banyak hal adalah dibenarkan, sementara metode refleksi yang
khas melalui pencerminan (penyamaan) ini harus dipahami dan
dipraktekkan. Metode tersebut adalah pengetahuan sekaligus praktek yang
merupakan hasil spesialisasi Sufi.
Teknik-teknik
Sufisme tertentu untuk mencapai kemampuan mempelajari dan pembelajaran
itu sendiri, seperti hikmah yang merupakan pencapaian terakhir, adalah
hasil pendekatan kongkret. ‘Ada banyak tingkat pengetahuan,” tandas
al-Ghazali. “Manusia secara fisik semata laksana semut berjalan di atas
kertas, yang mengamati tulisan tinta dan hanya menghubungkan
penulisannya dengan pena.” (Kimiyya’us-Sa’adah).
Apa hasil spesialisasi ini, selama dunia menjadi perhatian? Al-Ghazali menjawab dengan istilah-istilah khusus dalam Kimiyya.
Sebagian orang mengendalikan tubuh mereka sendiri. “Para individu yang
mencapai puncak kemampuan tertentu itu (mampu) mengendalikan tubuh
mereka sendiri, demikian pula terhadap orang lain. Seandainya sebuah
cacat di tubuh mereka ingin dipulihkan, maka ia tentu memulihkannya …
Mereka mempunyai daya tarik atas orang lain karena suatu pengaruh
kehendak.”
Ada tiga kualitas sebagai hasil dari spesialisasi Sufi yang dapat diungkapkan dengan istilah yang dapat dipahami pembaca awam:
- Kemampuan ekstra persepsi, yang secara dasar dikerahkan.
- Kemampuan mengeluarkan diri dari lingkungannya.
- Kesadaran langsung atas pengetahuan. Bahkan apa yang biasanya sulit dicapai, mereka memahaminya melalui iluminasi atau pengamatan batiniah.
Kemampuan-kemampuan
tersebut mungkin tampak khusus atau asing, namun semua itu sebenarnya
hanya sebagian tingkat wujud atau eksistensi yang lebih tinggi, dan
hanya dapat diterima orang awam melalui cara yang kasat ini. “Hubungan
timbal balik (kesalingterkaitan) ini tidak dapat dijelaskan secara
biasa; seperti dalam banyak hal lainnya, kita tidak dapat menjelaskan
pengaruh puisi terhadap orang yang telinganya tidak dapat menangkapnya,
atau pengaruh warna terhadap orang yang fungsi penglihatannya cacat.”
Al-Ghazali
menjelaskan, manusia mampu hidup dalam beberapa taraf yang berbeda.
Manusia biasanya tidak cukup tahu tentang kemampuannya untuk membedakan.
Manusia (biasanya) berada pada salah satu taraf berikut ini. “Taraf
pertama, ketika ia seperti seekor ngengat. Mempunyai penglihatan, tapi
tidak mempunyai memori. Ia akan terus-menerus melapukkan (kain) dengan
cara yang sama. Taraf kedua, ibarat seekor anjing, walaupun sedang lelah
ia akan lari tunggang-langgang ketika melihat sebuah tongkat (pemukul).
Taraf ketiga, seperti seekor kuda atau domba, keduanya akan segera lari
ketika melihat seekor singa atau serigala yang merupakan musuh alami
mereka. Namun keduanya tidak akan lari karena seekor unta atau kerbau,
meskipun hewan tersebut lebih besar dari musuh turun-temurunnya itu.”
Taraf keempat, manusia sepenuhnya melampaui keterbatasan-keterbatasan
binatang tersebut. Kini ia mampu menggunakan beberapa kedalaman
pandangan inderawi secara fungsional. Hubungan antara taraf yang
berkenaan dengan daya penggerak tersebut dapat disetarakan dengan:
- Berjalan di atas tanah.
- Menumpang perahu.
- Naik kereta.
- Berjalan di atas laut.
Selain
semua ini, ada yang mungkin menyatakan bahwa pada fase tertentu manusia
dapat terbang di udara dengan kekuatan dirinya sendiri.
Orang
biasanya berada pada salah satu dari dua taraf yang pertama. Dalam hal
ini mereka tidak bertahan sebagaimana seharusnya. Dalam keadaan statis,
mereka senantiasa bertentangan dengan orang-orang yang senantiasa
dinamis.
Dalam karya
metafisisnya, al-Ghazali jarang sekali mempersulit diri untuk memaksa
orang mengikuti langkah Sufi. Namun, dalam satu ulasan pendek, ia
benar-benar menandaskan satu argumen: “Jika apa yang dikatakan para Sufi
itu benar — bahwa ada upaya sangat penting dalam hidup yang menunjuk
suatu hubungan dengan masa depan manusia — maka ada banyak perkara di
dunia masa depan itu. Di sisi lain, jika tidak ada hubungannya, maka
sama sekali tidak ada persoalan.” Oleh karena itu, al-Ghazali
mengajukan, “Tidakkah lebih baik membebaskan prasangka itu dengan
menunjukkan sudut pandang tersebut? Selebihnya akan sangat terlambat.”
Selanjutnya, dalam Kimiyya’us-Sa’adah
al-Ghazali kembali pada persoalan aspek psikologis musik. Ia mencatat
bahwa mekanisme musik dan tari dapat digunakan untuk menggairahkan
(hidup). Musik dapat menjadi sebuah metode untuk menciptakan dampak
emosional. Namun ia mempertahankan bahwa ada sesuatu fungsimusik yang
polos — musik yang tidak menimbulkan sentimen agama-semu — yang
digunakan sebagai sarana ibadah.
Penggunaan
musik di kalangan Sufi berbeda dengan penggunaan secara emosional.
Sebelum seorang Sufi terlibat dalam kegiatan musikal, termasuk
mendengarkan musik, pastilah ditentukan melalui pencermatannya, apakah
musik tersebut akan berguna bagi pengalamannya.
Ada
sebuah centa berhubungan dengan masalah ini yang menunjukkan bagaimana
seorang guru Sufi (Syekh al -Jurjani) menjelaskan kepada seorang murid
yang (dianggap) belum pantas mendengarkan musik dalam lingkaran Sufi
sebagai tujuan penghayatan. Dalam menanggapi permohonannya, Syekh itu
menjawab, “Berpuasalah selama seminggu. Kemudian ada masakan lezat
dihidangkan untukmu. Jika engkau lebih suka pada kegiatan musikal, maka
silahkan ikut!”
“Keterlibatan
dalam musik dan ‘tari’ dalam setiap keadaan,” kata al-Ghazali, “bukan
saja dilarang, namun sebenarnya berbahaya bagi calon murid.” Psikologi
modern ternyata masih belum menyadari adanya fungsi khusus untuk
meningkatkan kesadaran.
Realitas
“ungkapan” pengalaman Sufii sangat sulit dipahami “orang luar” yang
terbiasa berpikir dengan cara-cara yang berbeda dengan ungkapan itu.
“Kelonggaran harus dilakukan kepadanya,” kata al-Ghazali, “karena ia
tidak paham terhadap ungkapan-ungkapan itu. Ia laksana orang buta yang
mencoba memahami pengalaman melihat dedaunan yang hijau atau aliran
air.”
Paling jauh “orang luar”
hanya dapat mempertalikan pengalaman yang disampaikan kepadanya sesuai
dengan pengalaman-pengalamannya sendiri yang sensual, menggairahkan dan
emosional. “Namun orang yang bijak tidak akan mengingkari
ungkapan-ungkapan yang sederhana itu meskipun ia tidak mengalaminya;
meskipun bentuk opini tersebut amat sangat bebal”.
Wawasan
kalangan Deistis [kalangan yang percaya kepada Tuhan secara alamiah
atau secara kultural (Deisme)] yang disebut pengalaman mistik itu, yang
sama sekali tidak menghasilkan pengetahuan unggul dan hanya merupakan
suatu bentuk (pengalaman) yang memabukkan, bukanlah satu-satunya
pengalaman yang berusaha dilukiskan oleh al-Ghazali. Setidaknya ia
cenderung menerima anggapan bahwa ada semacam perasukan Ilahi ke dalam
diri manusia. Namun, seluruh penyampaian (pengalaman) lewat upaya
penyulihan dengan sarana ‘kata’, yang secara adequate
(memadai-makna) tidak akan terpenuhi, telah ditiadakan, bahkan mungkin
ditentang. Seorang Sufi, pengulas al-Ghazali, mencatat bahwa hal-ihwal
yang merupakan pengalaman komprehensif, “tidak dapat dikandungi
(dilingkupi) dengan ungkapan secara lisan, lebih-lebih lagi apabila ia
menganggap gambar buah di kertas dapat dimakan atau mengandung gizi.”
Upaya kalangan cendekiawan atau eksternalis (zhahiriyah)
dalam memahami sesuatu — seolah-olah ia “mengetahui”-nya — dengan
memaksakan pemakaian sesuatu yang berada “di seberang”, adalah “seperti
seseorang yang bercermin, membayangkan bahwa wajahnya sama dengan kesan
(bayangan) yang ada di cermin”.
Dalam
pertemuan para darwis, ada semacam kejang ekstase dan tanda-tanda lain
tentang pengalaman atau keadaan yang menyimpang. Al-Ghazali mengutip
bahwa satu kali Syekh Junaid yang Agung menegur seorang pemuda yang
mengalami “ceracau/kegilaan” pada suatu pertemuan Sufi. “Jangan pernah
lakukan itu lagi, atau tinggalkan majelisku!” tandas Junaid kepadanya.
Kepercayaan Sufi adalah, bahwa peristiwa semacam itu yang mungkin
berasal dari perubahan-perubahan batin adalah semu atau emosional
semata. Adapun pengalaman yang sejati tidak menimbulkan gejala fisik
sedemikian itu, baik berupa “ungkapan secara lisan” atau bergulir-gulir
di lantai. Dalam Riyadh al-Asrar (Kebun Rahasia), Sufi termasyhur
Mahmud Syabistari mengulas, “Apabila engkau tidak mengetahui
ungkapan-ungkapan ini, biarkanlah, jangan pula bergabung dengan orang
kafir dalam ketidaktahuan yang semu … Namun mereka semua tidak
mempelajari rahasia-rahasia jalan itu.”
Pembuktian-pembuktian
tersebut sedikit banyak berkaitan dengan emosi penggunaan kata-kata
yang melemahkan dan akhirnya meruntuhkan agama formal. Membuat
ungkapan-ungkapan yang berkait dengan Tuhan, keimanan, atau setiap
agama, merupakan persoalan eksternal, paling banter sesuatu yang
emosional. Karena itu, kalangan Sufi tidak akan membahas Sufisme dalam
konteks yang sama dengan agama. Sementara berbagai taraf itu termasuk
dalam Sufisme.
Konon, ada
pengalaman batin yang dapat dilihat sebagai fraseologi agama yang lazim,
yaitu ungkapan-ungkapan tertentu yang sepenuhnya mengandung makna,
karena terjadi peralihan dari yang kasar ke yang lebih halus. Al-Ghazali
menggambarkan fakta ini melalui sebuah kisah. Mahaguru Sufi Fudhail bin
Iyadh (w. 801) berkata, “Apabila ada yang bertanya, ‘Apakah engkau
mencintai Tuhan?’ Jangan engkau jawab! Karena jika engkau jawab,’Aku
tidak mencintai Tuhan,’ berarti engkau seorang yang tidak percaya
(kafir). Namun, jika engkau menjawab, ‘Aku benar-benar mencintai Tuhan,’
maka perbuatan-perbuatanmu akan bertentangan dengan ucapanmu itu’.”
Apabila
seseorang memahami tentang cinta religius, ia tentu akan
mengungkapkannya dengan cara sendiri, bukan menurut cara yang lazim bagi
orang-orang yang tidak mengetahuinya. Setiap orang akan terangkat
(kedudukannya) atau sebaliknya sesuai dengan kemampuan dirinya dan apa
yang diakrabinya. Al-Ghazali berkisah: “Seseorang pingsan karena
menghirup parfum bazar, kemudian orang-orang mencoba
menyadarkannya dengan aroma yang manis. Datanglah orang yang
mengenalnya, lalu berkata, ‘Aku dulu tukang sapu, orang itu juga. Ia
akan sadar apabila mencium (aroma) yang terbiasa baginya.’ Maka dzat
yang aromanya memuakkan dioleskan di hidungnya, seketika ia sadar
kembali.”
Bentuk pernyataan ini
pada umumnya merupakan anathema (gugatan) terhadap mereka yang mencoba
menyetarakan kesan-kesan biasa dengan tataran wujud yang lebih tinggi,
dan menganggap bahwa mereka setidaknya mengalami tingkat-tingkat
ketuhanan atau mistik hanya menurut — dan tidak lebih dari —
tingkat-tingkat akar rumput (awam). Bentuk awam ini memang sesuai dengan
konteksnya dan tidak dapat ditransposisi. Sepeda motor tidak dapat
berjalan bila diisi dengan mentega, meskipun mentega sendiri adalah
bahan yang sangat istimewa. Bagaimana juga, tak seorang pun bermaksud
menyetarakannya dengan bensin. Doktrin Sufi tentang suatu kesatuan
rangkaian dzat murni, dalam hal ini, akan dilihat sebagai benar-benar
berbeda dengan kemurnian sistem lainnya. Dua madzhab yang lain
mempertahankan bahwa dzat keseluruhannya pasti musnah, atau pasti
digunakan. Secara faktual, tingkat dzat mempunyai fungsinya sendiri; dan
dzat selanjutnya meningkatkan kemurniannya sehingga ia menjadi apa yang
pada umumnya dianggap terpisah, yaitu spirit (jiwa).
Al-Ghazali
menjelaskan doktrin itu: “Memahami berbagai fungsi yang tampaknya sama
itu pada tataran-tataran yang berbeda adalah penting (dan perlu),
contohnya: mata mungkin melihat benda yang besar tampak kecil, seperti
ia melihat matahari sebesar mangkok … Akal menyadari bahwa matahari
ternyata beberapa kali lebih besar dari bumi … Kemampuan berimajinasi
dan berfantasi seringkali menghasilkan kepercayaan dan melampaui
pendapat (keputusan) yang mereka anggap sebagai hasil pemahaman. Maka
dari itu, kekeliruan ini adalah proses bawah sadar berupa ketidaksadaran
atau ketidakpekaan (rasa).” (Misykatul Anwar, bagian yang
pertama). Yang dimaksud ketidakpekaan menurut al-Ghazali adalah mengacu
kepada orang-orang yang tidak mampu memahami kesan-kesan dan makna yang
beragam. Di antara beberapa hal penting tentang “diri” di dalam Ihya’.
“Diri”
adalah suatu serapan personalitas manusia, yang digunakan untuk
menangkap kesan-kesan dan mempergunakan kesan-kesan untuk pemuasan
(jiwa), namun juga berarti kualitas individu yang batiniah dan hakiki.
Menurut kapasitas ini, nama formanya berbeda sesuai dengan fungsinya.
Manakala esensi itu menjalankan secara benar reorganisasi kehidupan
emosional dan mencegah kebingungan, maka itulah yang dikenal sebagai
“Diri yang Tentram” [an-Nafs al-Muthma'innah]. Dalam penerapan
kesadaran, ketika ia sedang menyadari laki-laki atau perempuan sebagai
materi yang berbeda, maka kesadaran itu disebut “Diri yang Cenderung”.
Namun dalam hal ini, ada persoalan yang sangat pelik karena, untuk
tujuan penjelasan dan pengajaran, “Diri yang Hakiki” itu harus dinamai.
Kendati demikian, pembedaan cara kerjanya sesuai dengan penampilan dapat
memberikan kesan bahwa ada sejumlah hal yang berbeda atau bahkan ada
tingkat perkembangan yang berbeda. Adalah absah merepresentasikan proses
itu sebagai tahap-tahap yang secara sadar disusun, tetapi paling jauh
hanya sebagai perbedaan ilustratif Kesadaran Sufi yang diterapkan secara
benar akan melihat berbagai tahap transmutasi hakikat itu dengan cara
yang istimewa dan khas, yang secara memadai, tidak disalin dengan
terminologi yang lazim. Manakala hakikat itu diterapkan secara normal
bagi orang yang terbelakang (secara mental), maka ia mengarahkan
potensialitasnya pada mekanisme yang (hanya) memperturutkan
kepuasan-kepuasan bersahaja, dan kesadaran ini dikenal sebagai “Diri
yang Terpimpin”.
Al-Ghazali
menandaskan, “Keadaan-keadaan khusus itu mudah dipahami dan mengesankan
bahwa setiap hal juga mudah dipahami. Akan tetapi ada situasi-situasi
yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang meniliknya dengan suatu cara
tertentu (yang istimewa). Ketidaktahuan pada (mekanisme) ini menimbulkan
kesalahan-kesalahan umum yang menganggap segala hal sebagai sesuatu
yang seragam.”
Seperti pada guru
Sufi yang lain, al-Ghazali menyadari bahwa ia harus mengulang
argumennya dengan cara-cara yang berbeda sebagaimana dituntut dalam
teksnya. Hal ini hanya sebagian saja, karena metode Sufi mungkin
membutuhkan pijakan yang sama untuk dibahas melalui sejumlah
gagasan-gagasan lainnya, dan karena, seperti seringkali disaksikan dalam
diskusi kelompok, orang mungkin (hanya) berlagak dalam mengungkapkan
suatu gagasan penting yang belum dipahaminya. Gagasan sebenarnya harus
diolah sebagai kekuatan dinamis dalam pikiran murid. Bagaimana juga,
karena ia terkondisi dan terlatih, murid akan menerima sebuah gagasan
sebagai suatu yang terbiasa. Hasil kegiatan ini akan tampak apabila ia
merespon secara sadar ketika stimulus gagasan tertentu diterapkan
kepadanya. Pengkondisian mana pun, ketika telah terjadi, harus
dihentikan sebelum dampak pengalaman sang Sufi dapat mewujudkan diri.
Kesalahpahaman dalam pemakaian istilah “Anak Tuhan” (yang disifatkan kepada Yesus) dan “Ana al-Haqq” (yang diungkapkan sang Sufi al-Hallaj)3
sebenarnya disebabkan oleh persoalan tersebut. Upaya mengungkapkan
keadaan-keadaan itu melalui bahasa tidaklah memadai, karena ungkapan
tersebut menimbulkan kesalahpahaman.
Dalam Ihya’
al-Ghazali menyatakan bahwa individu mengalami tahap-tahap perkembangan
batin yang analog dengan manusia yang tumbuh dewasa. Perkembangan
bertahap ini menyebabkan penggunaan cara-cara yang berbeda dalam
pengalamannya. Karena itu, seorang Sufi tidak membutuhkan pengalaman
fisik tertentu, sebab perkembangannya telah menyulih suatu kemampuan
menjadi lebih logis, pengalaman yang lebih bermutu. “Sebagai contoh,
setiap tingkat kehidupan ditandai dengan suatu kesenangan yang baru.
Anak-anak senang bermain dan tidak mempunyai konsepsi tentang perkawinan
yang menyenangkan itu, yang akan mereka alami suatu saat. Selanjutnya
orang dewasa, pada waktu mudanya, tidak akan mempunyai kemampuan
(merasakan) kesenangan (memiliki) kekayaan dan kemasyhuran yang dialami
kelompok usia setengah baya. Kemudian yang terakhir ini, mungkin
menganggap kegembiraan terdahulu tidak lebih nyata daripada saat
sekarang. Individu pada perkembangannya, tentu, akan menyadari
ketaksempurnaan, ketidakpekaan atau kebiasaan sporadis masa remaja yang
menyenangkan itu dibandingkan dengan kemampuan-kemampuan apresiasi
mereka yang baru.”
Alternasi
(pemakaian) berbagai kiasan itu, yang mencegahnya terkristalisasi
menjadi semata-mata pengubahan mekanisme, merupakan prosedur umum dalam
pokok pengajaran madzhab-madzhab Sufi. Di dalam karya-karyanya,
al-Ghazali kerapkali menyulih pengajarannya dengan pengertian lahir
apabila mempunyai makna batin yang sama. Dalam Minhajul-Abidin,
ia membahas tentang kemajuan bertahap dari kimiawi kesadaran sebagai
tujuh “lembah” pengalaman: Lembah Pengetahuan, Kembali (Tobat),
Rintangan-rintangan, Godaan-godaan, Cahaya, Jurang-jurang dan Pujian.
Semua ini merupakan rangka proyeksi risalah Sufi yang lebih teologis dan
merupakan media perantara, sehingga kalangan Muslim dan Kristen yang
saleh mampu memetik manfaat tentang ajaran Sufi. Menarik untuk dicatat
bahwa Bunyan dan Chaucer telah menggunakan bahan ajaran Sufi ini untuk
memperkuat pemikiran Katholik. Adapun para guru Timur seperti Aththar
dan Rumi mempertahankan hubungan dengan arus pemaknaan yang lebih
langsung dari tema “pencarian”; hal ini mungkin karena mereka adalah
guru-guru praktek, namun juga teori, dalam lingkungan madzhabnya.
Kebahagiaan
manusia, menurut al-Ghazali, secara berturut-turut menjalani pemurnian
sesuai dengan “keadaan wujud”-nya. Ajaran ini, yang tidak akan terpahami
pandangan manusia biasa tentang adanya bentuk standar kebahagiaan,
sebagai suatu abstraksi, merupakan suatu ciri-ciri yang kuat dari
pengetahuan Sufi.
Manusia
mempunyai beberapa kemampuan, masing-masing menanggapi tipe
kesenangannya sendiri. Pada mulanya ada tipe fisikal. Demikian pula ada
fakultas moral, yang saya sebut akal sejati, yang menyenangi perolehan
pengetahuan sebanyak mungkin. Jadi ada kegemaran lahir dan batin.
Demikian pula keduanya akan dipilih menurut pemurniannya.
“Seorang
manusia yang mempunyai suatu kemampuan menerima kesempurnaan Wujud akan
memilih kontemplasi. Bahkan dalam kehidupan ini, kebahagiaan pengembara
yang sejati adalah tiada tara — lebih agung daripada yang mungkin
dibayangkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar