Minggu, 30 April 2017

Bagaimana tanpa pertolongan-Mu

    Wahai engkau seorang hamba... Yang betapa Allah melihatmu engkau bermaksiat, rakus terhadap dunia, dan terhadap kematian dirimu lupa.
     Apakah engkau melupakan hari engkau akan bertemu Allah, bertemu kuburan, dan kedatangan hari yang tiada lagi dapat menyelamatkan diri.
     Sesungguhnya seseorang itu bila tidak memakai pakaian takwa, maka sesungguhnya ia bagaikan telanjang walaupun ia berpakaian.
     Dan kalau saja dunia ini diciptakan kekal, maka tentu Rasulullah akan tetap hidup hingga saat ini. Akan tetapi dunia ini fana dan akan lenyap apa saja kenikmatan yang ada padanya, sementara dosa dan maksiat tetap ada dalam catatan.
     Ya Allah Engkaulah... siapa saja yang berhenti dipintumu dengan segala keburukannya maka akan terhapuslah semua keburukannya dan menjadi Kebaikan yang terus meningkat.
     Dan akulah yang memiliki keburukan dan telah bermaksiat kepada-Mu, kemudian engkau memaafkan dan tetap menyambut kedatangan pendosa ini.
     Ya Allah yang Maha Tunggal dalam kekuasaan
     Aku maksiat terhadap-Mu tapi Engkau menutupi
     Aku lupa terhadap-Mu tapi Engkau mengingatkan
     Maka bagaimana aku melupakan-Mu wahai yang menggenggam hati jiwa dan jasad lemah ini.....
     Ya Allah, aku tenggelam dalam sujud pengaduan ku kepada-Mu, dalam isak tangis aku memohon, moga ditenangkan hati dikentalkan jiwa, jua memohon keampunanMu Ya Rabb, moga aku senantiasa di kalangan mereka yang bersyukur, sudah pasti cobaan dan kesakitan itu, adalah jua nikmat dariMu, karena ia sebagai kafarah disaku, moga kusut yang melanda, menambah dekat diriku kepadaMu, suluh dibiarkan lagi Nuur IlahiMu, biar tenang jalanku menuju syurgaMu, tiada dayaku selain pengharapan hanya padaMu...
Amiiin Ya Rabb...

Jumat, 28 April 2017

DIBALIK KETIDAKTAHUAN

⛵Nabi NUH belum tahu Banjir akan datang ketika ia membuat Kapal dan ditertawai Kaumnya.

🐏 Nabi IBRAHIM belum tahu akan tersedia Domba ketika Pisau nyaris memenggal Buah hatinya.

🎋Nabi MUSA belum tahu Laut terbelah saat dia diperintah memukulkan tongkatnya.

💝Yg Mereka Tahu adalah bahwa Mereka harus Patuh pada Perintah ALLAH dan tanpa berhenti Berharap yang Terbaik...

💝Ternyata dibalik KETIDAKTAHUAN kita, ALLAH telah menyiapkan Kejutan!

💝SERINGKALI Allah Berkehendak di-detik2 terakhir dalam pengharapan dan ketaatan hamba2NYA.

💝Jangan kita berkecil hati saat spertinya belum ada jawaban doa...
Karena kadang Allah mencintai kita dgn cara2 yg kita tidak duga dan kita tidak suka...

💝Allah memberikan apa yg kita butuhkan, bukan apa yg kita Inginkan!!

💝Lakukan bagianmu saja, dan biarkan
Allah akan mengerjakan bagianNYA...

Tetaplah Percaya.
Tetaplah Berdoa.
Tetaplah Setia.
Tetaplah meraih RidhoNYA Aamiin ...

Tetap semangat meski dlm kesederhanaan 😘
Salam Bahagia dan selalu tersenyum ..😊

Untuk direnungkan...
📺Nonton Pertandingan bisa 90 menit
📺Nonton serial Film lebih dari 60 menit
📺 Nonton Movie hampir 120 menit
👳Tunaikan Shalat hanya 5 menit saja

🔥Di dalam api neraka jahannam sepanjang hayat!

👍 Untuk Akal yg maju!

💬 Renungkan!

📱 Di Whatsapp 300 Kawan
📱 Di blackberry cukup 200 kawan
☎ Di contacts phone 400 Kawan
🏡 di Kampung 50 Kawan
😔 Dalam Keadaan susah hanya ada 1 kawan.

😢 Dalam Jenazahmu, Hanya keluargamu saja yg mengurusi.

😭 Dalam Kubur hanya kau sendirian.

Jangan anggap Aneh kenyataan ini, sebab memang seperti inilah kenyataan hidup..

🌴 Pada Hakikat nya :
"Tidak ada yang dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali Shalatmu"

🍃Duduk setelah salam dari shalat yang telah diwajibkan adalah waktu yg paling mulia sebab pada waktu itu turun Rahmat Allah Azza wajalla.

🍂Jangan tergesa-gesa berdiri, Bacalah Istighfar, bertasbihlah, baca ayat Al Qur'an dan jangan Lupa bahwa sesungguhnya engkau berada dalam jamuan dzat yang maha Rahman Azza wa jalla.

فإذا فرغت فانصب والى ربك فارغب

🌾 Apabila kamu telah selesai sholat, kerjakanlah pekerjaan lainnya dengan bersungguh-sungguh dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

💭LANGKAH MENUJU SYURGA💭

Langkah ini membuat aku kagum hingga aku pilih untuk aku bagikan kepada orang yang aku cintai.

🌼 Ada Lima perkara, kita semua pasti inginkan serta berusaha untuk mendapatkannya.

1. Wajah yang menarik
2. Duit yg byk
3. Sehat dan kuat
4. Anak-anak yang patuh  dan sukses
5. Tidur nyenyak tanpa Obat penenang

🌾 Hal itu Mudah kita peroleh, hanya butuh waktu 15 menit saja.

Bagaimana caranya... 💬

قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم
من ترك صلاة الفجر فليس في وجهه نور

✔ 1. Nabi bersabda : Barangsiapa yg tinggalkan shalat Subuh maka wajahnya tak akan ada cahaya.

ومن ترك صلاة الظهر فليس في رزقه برگة

✔ 2. Barangsiapa yang tinggalkan shalat Dzuhur niscaya tak ada keberkahan dalam rezekinya.

ومن ترك صلاة العصر فليس في جسمه قوة

✔ 3. Barangsiapa yang tinggalkan shalat Ashar niscaya tak ada kekuatan dalam jasadnya.

ومن ترك صلاة المغرب فليس في أولاده ثمرة

✔ 4. Barangsiapa yg tinggalkan shalat Magrib niscaya tak ada buah hasil yang boleh dipetik dari anak-anaknya.

ومن ترك صلاة العشاء فليس في نومه راحة’’’’

✔ 5. Barangsiapa yang tinggalkan shalat Isya' tak ada kenyamanan dalam tidurnya.

🌿 Tahu kenapa kalimat Laa ilaaha Illallaah tidak sampai menggerakkan bibir jika diucapkan.

🍃 Sebab ini adalah Rahmat dari Allah kpd kita supaya jika maut menghampiri dengan mudah ia menyebutkan kalimat itu.

🌴 Mudah-mudahan tangan yang mengirim dan menyebarkan ini kelak tidak sulit untuk melafadzkan kalimat Laa ilaaha Illallaah. Aamiin.

Dan semoga kita masuk surga Allah bersama-sama. Aamiin.

# foto kucing ikut duduk di shof jamaah (pinjam foto, pemiliknya lupa).

# tulisan kopas grup WA

Jumat, 21 April 2017

PAHLAWAN WANITA BERKERUDUNG SYAR'I YANG TERLUPAKAN.

"Kartini" yang tidak pernah dimunculkan profilnya. Pengaruhnya dalam dunia pendidikan begitu nyata. Bahkan sekaliber Al-Azhar Mesir pun terinpirasi dari tindakan beliau. Dan, point yang tidak kalah penting, pakaian anggun dengan kerudung yang menutup dada itu sudah lama ada sebelum Indonesia merdeka.. Allahu Akbar..

Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah (1900-1969) adalah salah satu pahlawan wanita milik bangsa Indonesia, yang dengan hijab syar'i-nya tak membatasi segala aktifitas dan semangat perjuangannya.

Rahmah, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru, pejuang pendidikan, pendiri sekolah Islam wanita pertama di Indonesia, aktifis kemanusiaan, anggota parlemen wanita RI, dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.

Ketika Rahmah bersekolah, dengan bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, menjadikan perempuan tidak bebas dalam mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar. Ia mengamati banyak masalah perempuan terutama dalam perspektif fiqih tidak dijelaskan secara rinci oleh guru yang notabene laki-laki, sementara murid perempuan enggan bertanya. Kemudian Rahmah mempelajari fiqih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, dan tercatat sebagai murid-perempuan pertama yang ikut belajar fiqih, sebagaimana dicatat oleh Hamka.

Setelah itu, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah Lil Banaat (Perguruan Diniyah Putri) di Padang Panjang sebagai sekolah agama Islam khusus wanita pertama di Indonesia. Ia menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tekadnya, "Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa?"

Rahmah meluaskan penguasaannya dalam beberapa ilmu terapan agar dapat diajarkan pada murid-muridnya. Ia belajar bertenun tradisional, juga secara privat mempelajari olahraga dan senam dengan seorang guru asal Belanda. Selain itu, ia mengikuti kursus kebidanan di beberapa rumah sakit dibimbing beberapa bidan dan dokter hingga mendapat izin membuka praktek sendiri.
Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat dan ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku. Penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini yang ia terapkan di Diniyah Putri dan dilimpahkan semua ilmunya itu kepada murid-murid perempuannya.

Pada 1926, Rahmah juga membuka program pemberantasan buta huruf bagi ibu-ibu rumah tangga yang belum sempat mengenyam pendidikan dan dikenal dengan nama Sekolah Menyesal.

Selama pemerintahan kolonial Belanda, Rahmah menghindari aktifitas di jalur politik untuk melindungi kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Ia memilih tidak bekerja sama dengan pemerintah penjajah. Ketika Belanda menawarkan kepada Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar agar dapat menerima subsidi dari pemerintah, Rahmah menolak, mengungkapkan bahwa Diniyah Putri adalah sekolah milik ummat, dibiayai oleh ummat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah. Menurutnya, subsidi dari pemerintah akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah Putri.

Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya mendapatkan perhatian luas. Ia duduk dalam kepengurusan Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS). Pada 1935, ia diundang mengikuti Kongres Perempuan Indonesia di Batavia. Dalam kongres, ia memperjuangkan hijab sebagai kewajiban bagi muslimah dalam menutup aurat ke dalam kebudayaan Indonesia.
Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatera.

Kedatangan tentara Jepang di Minangkabau pada Maret 1942 membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan dan mengurangi kualitas hidup penduduk non-Jepang. Selama pendudukan Jepang, Rahmah ikut dalam berbagai kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial. Dalam situasi perang, Rahmah bersama para ADI mengumpulkan bantuan makanan dan pakaian bagi penduduk yang kekurangan. Ia memotivasi penduduk yang masih bisa makan untuk menyisihkan beras segenggam setiap kali memasak untuk dibagikan bagi penduduk yang kekurangan makanan. Kepada murid-muridnya, ia menginstruksikan bahwa seluruh taplak meja dan kain pintu yang ada pada Diniyah Putri dijadikan pakaian untuk penduduk.
Selain itu, Rahmah bersama para anggota ADI menentang pengerahan perempuan Indonesia sebagai wanita penghibur untuk tentara Jepang. Tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah Jepang dan tempat prostitusi di kota-kota Sumatera Barat berhasil ditutup.

Terimbas oleh Hajjah Rangkayo Rasuna Said yang terjun ke politik lebih dahulu, dan dengan kondisi Indonesia yang semakin terpuruk oleh penjajah Jepang, akhirnya Rahmah terjun ke dunia politik. Ia bergabung dengan Majelis Islam Tinggi Minangkabau yang berkedudukan di Bukittinggi. Ia menjadi Ketua Hahanokai di Padang Panjang untuk membantu perjuangan perwira yang terhimpun dalam Giyugun (semacam tentara PETA).

Seiring memuncaknya ketegangan di Padang Panjang, Rahmah membawa sekitar 100 orang muridnya mengungsi untuk menyelamatkan mereka dari serbuan tentara Jepang. Selama pengungsian, ia menanggung sendiri semua keperluan murid-muridnya. Ketika terjadi kecelakaan kereta api pada 1944 dan 1945 di Padang Panjang, Rahmah menjadikan bangunan sekolah Diniyah Putri sebagai tempat perawatan korban kecelakaan.
Hal ini membuat Diniyah Putri mendapatkan piagam penghargaan dari pemerintah Jepang. Menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang membentuk Cuo Sangi In yang diketuai oleh Muhammad Sjafei dan Rahmah duduk sebagai anggota peninjau.

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Setelah mendapatkan berita tentang proklamasi kemerdekaan langsung dari Ketua Cuo Sangi In, Muhammad Sjafei, Rahmah segera mengibarkan bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Putri. Ia tercatat sebagai orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat. Berita bahwa bendera Merah Putih berkibar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok daerah.

Ketika Komite Nasional Indonesia terbentuk sebagai hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945, Soekarno yang melihat kiprah Rahmah mengangkatnya sebagai salah seorang anggota.

Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pada 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya TKR untuk Padang Panjang dan sekitarnya. Ia memanggil dan mengumpulkan bekas anggota Giyugun, mengusahakan logistik dan pembelian beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan bekas anggota Hahanokai, Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguran Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti dari Batalyon Merapi yang dibentuk di Padang Panjang.

Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda kedua, Belanda menangkap sejumlah pemimpin-pemimpin Indonesia di Padang Panjang. Rahmah meninggalkan kota dan bersembunyi di lereng Gunung Singgalang. Namun, ia ditangkap Belanda pada 7 Januari 1949 dan mendekam di tahanan wanita di Padang Panjang. Setelah tujuh hari, ia dibawa ke Padang dan ditahan di sebuah rumah pegawai kepolisian Belanda berkebangsaan Indonesia. Ia melewatkan 3 bulan di Padang sebagai tahanan rumah, sebelum diringankan sebagai tahanan kota selama 5 bulan berikutnya.

Pada Oktober 1949, Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk menghadiri undangan Kongres Pendidikan Indonesia di Yogyakarta. Ia baru kembali ke Padang Panjang setelah mengikuti Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada akhir 1949. Rahmah bergabung dengan Partai Islam Masyumi. Dalam pemilu 1955, ia terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Sumatera Tengah. Melalui Konstituante, ia membawa aspirasinya akan pendidikan dan pelajaran agama Islam.

Pada 1956, Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, Abdurrahman Taj, berkunjung ke Indonesia dan atas ajakan Muhammad Natsir, berkunjung untuk melihat keberadaan Diniyah Putri. Imam Besar tersebut mengungkapkan kekagumannya pada Diniyah Putri, sementara Universitas Al-Azhar sendiri saat itu belum memiliki bagian khusus perempuan.

Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan “Syaikhah” dari Universitas Al-Azhar, dimana untuk kali pertama Al-Azhar memberikan gelar kehormatan itu pada perempuan.

Hamka mencatat, Diniyah Putri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kuliyah Qismul Banaat (kampus khusus wanita) di Universitas Al-Azhar. Sejak saat itu Universitas Al-Azhar yang berumur 11 abad membuka kampus khusus wanita, yang diinspirasi dari Diniyah Putri di Indonesia yang baru seumur jagung.

Sebelum kepulangannya ke Indonesia, Rahmah mengunjungi Syria, Lebanon, Jordan, dan Iraq atas undangan para pemimpin negara tersebut.

Sekembalinya dari kunjungan ke berbagai negara di Timur Tengah, Rahmah merasa bahwa Soekarno telah terbawa arus kuat PKI. Ia merasa tidak nyaman berjuang di Jakarta, kemudian memilih kembali pulang ke Padang Panjang. Rahmah melihat bahwa mencurahkan perhatiannya untuk memimpin perguruannya akan lebih bermanfaat daripada duduk di kursi parlemen sebagai anggota DPR yang sudah dikuasai komunis. Ketika terjadi PRRI di Sumatera Tengah akhir 1958, akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno, Rahmah ikut bergerilya di tengah rimba bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang mendukungnya.

Pada 1964, ia menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadi, Medan. Sejak itu hingga akhir hayatnya, hidupnya didedikasikan kembali sepenuhnya untuk Diniyah Putri.

Tampak pada foto, pahlawan ini mengenakan hijab syar'i dan baju kurung basiba dengan cara yang anggun, elegan dan modern yang menampakkan kecerdasannya dan kemajuannya dalam berpikir.

(LuLu Basmah - diringkas dari berbagai sumber)

Minggu, 16 April 2017

MENGAMBIL GAJI ANAK

Banyak sekali dalil dari alquran ataukah alhadits yang menunjukkan akan kedudukan orangtua. Dalam semua hal. Bahkan pun seorang ayah boleh mengambil harta anaknya saat dia butuh dan tidak menyebabkan anaknya jadi kesulitan. Sahabat yang mulia, Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma berkata :

".أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي مَالًا وَوَلَدًا، وَإِنَّ أَبِي يُرِيدُ أَنْ يَجْتَاحَ مَالِي. فَقَالَ : " أَنْت وَمَالُكَ لِأَبِيكَ

"Ada seseorang yang melapor kepada Rasulullah , "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya mempunyai harta dan anak-anak, tapi Ayahku ingin mengambil hartaku." Maka Nabi Muhammad  bersabda :

أَنْت وَمَالُكَ لِأَبِيكَ

"Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu!." HR. Ibnu Majah (2291), dinilai shahih oleh asy-Syaikh Muhammad Nashir dalam Irwa al-Ghaliil (838)

Namun apakah Sang Ibu juga boleh melakukannya? Terjadi perselisihan di kalangan ahli ilmu menyangkut masalah ini. Apakah ibu memiliki hak yang sama seperti ayah ataukah tidak.

Diajukan pertanyaan kepada asy-Syaikh Muhammad al-'Utsaimiin rahimahullah :

سـ : ما حكم أخذ راتب الولد والاستفادة منه لوالديه؟

P : Apa hukumnya mengambil gaji anak dan dimanfaatkan untuk kepentingan kedua orangtua?

الجواب:  أما الأب فله أن يأخذ من مال ولده ما شاء بشرط أن لا يتضرر الولد بهذا، فللوالد أن يأخذ من راتب ولده ما لا يتضرر به الابن، وأما الوالدة فليس لها أن تأخذ من مال ولدها إلا ما أعطاها، والذي ينبغي للوالدين أن يدعوا الأولاد ورواتبهم إلا عند الحاجة، أو إذا رأوا من تصرفات الابن ما ينبغي أن يؤخذ منه المال، وفي هذه الحال يكتب المال المأخوذ على أنه لصاحبه لا للأب أو الأم، يكون محفوظاً له إذا رشد وعرف قدر المال

J : Adapun ayah, boleh baginya mengambil harta anaknya sesuai yang dia inginkan dengan syarat tidak menjadikan si anak kesusahan bila diambil hartanya. Sehingga boleh bagi ayah untuk mengambil harta anaknya seukuran anaknya tidak menjadi kesusahan. Sedangkan ibu, tidak boleh mengambil harta anaknya kecuali jika diberi.

Namun yang semestinya ialah tidak mengambil harta anak-anak mereka kecuali saat perlu saja. Atau saat mereka belum bisa mengatur uang, yang jika kondisinya demikian boleh mengambil uang anak dan dicatat untuk dijaga hingga mereka bisa mengatur keuangan secara baik dan tahu akan nilai harta." (Fataawaa Nuur 'alad Darb, XII/362)

Walhasil dari hadits di atas dan uraian asy-Syaikh al-'Utsaimiin rahimahullah kita mendapatkan beberapa kesimpulan hukum yang penting :

1. Ayah boleh mengambil harta anak seukuran tidak menjadikan anaknya kesusahan.

2. Ibu tidak boleh mengambil alih harta anaknya, sedikit ataupun banyak. Karena Rasulullah ﷺ dalam hadits di atas menyebutkan ayah secara khusus. Tapi dalam kondisi mendesak, sang Ibu boleh mengambil sekedar keperluannya dari harta anaknya -insya Allah- , karena sebagaimana kita singgung di atas, ulama sendiri berbeda pendapat apakah ibu juga termasuk dalam cakupan hadits di atas. Berbeda dengan keterangan asy-Syaikh al-'Utsaimiin, alim lain seperti al-'Allaamah Shaalih al-Fauzaan hafizhahullah dan lainnya memandang bahwa ibu memiliki hak yang sama dalam masalah ini. Wallahu a'lam.

3. Hendaknya orangtua tidak bergampangan dalam mengambil harta yang dimiliki anaknya.

4. Boleh bagi ayah dan ibu untuk mengambil harta anak saat dia belum bisa mengelola harta secara benar agar tidak dibelanjakan pada hal-hal yang sia-sia.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bish shawab.

- See more at: http://www.nasehatetam.com/read/241/mengambil-gajih-anak#sthash.4VxXoHED.dpuf

Kamis, 13 April 2017

HUKUM SUJUD SAJADAH ATAU TILAWAH

Oleh
Ustadz Khalid Syamhudi, Lc

Ulama ahli fiqih sepakat bahwa sujud Tilâwah itu masyrû’iyah (disyari’atkan) berdasarkan dalil al-Qur’an dan al-hadits, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah sunnah atau wajib?

Untuk mengetahui hukumnya tentu perlu melihat kepada orang yang disyariatkan melakukannya. Sujud Tilâwah ini berkenaan dengan orang yang membaca atau mendengar dengan penuh perhatian seperti makmûm dalam shalat atau yang hanya mendengarnya saja.

Oleh karena itu perlu dibagi dalam tiga pembahasan:

HUKUM SUJUD TILAWAH BABI YANG MEMBACA AYAT SAJDAH
Dalam masalah ini para Ulama berselisih dalam tiga pendapat:

1.Pendapat Pertama:. Sujud Tilâwah hukumnya wajib bagi orang yang membaca ayat sajdah dalam shalat maupun diluar shalat. Inilah pendapat madzhab Hanafiyah(lihat Badâ’i ash-Shana’i’ 1/180) , sebuah riwayat dari Ahmad (Lihat al-Inshâf 2/193) dan dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah [Lihat Majmû’ al-Fatâwâ 23/139].

Diantara dasar argumentasi mereka adalah:
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ ﴿٢٠﴾ وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ

Mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila al-Qur’ân dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud [Al-Insyiqâq/84 : 20-21]

Mereka menyatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla mencela mereka yang tidak sujud dan celaan itu tidak dibenarkan kecuali karena meninggalkan hal yang wajib. [Lihat dalam Majmû’ al-Fatâwâ 23/127 dan al-Mughni 2/365].

Namun, dalil ini tidak kuat karena :
• Celaan di atas akibat dari meninggalkan shalat atau

• Ayat ini berkenaan dengan celaan terhadap orang-orang kafir yang tidak mau sujud karena sombong. Hal terbukti dengan adanya ancaman hukuman setelahnya yang tidak pas bila dikenakan pada orang yang meninggalkan sujud Tilâwah. (Lihat al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab 4/26 dan al-Mughni 2/366).

• Pengertian dari ayat yang artinya “tidak bersujud” itu adalah mereka tidak meyakini keutamaan sujud bahkan mereka tidak yakin sujud itu disyari’atkan, oleh karena itu Allâh Azza wa Jalla melanjutkan firman-Nya:

بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُكَذِّبُونَ

Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan(nya). (Al-Insyiqâq/84:22). [Lihat al-Mughni 2/366].

2. Firman Allâh Azza wa Jalla :

فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا

Maka bersujudlah kepada Allâh dan beribadahlah (kepada-Nya) [An-Najm/53 :62]

Juga firman-Nya:

كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ

Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Rabb). [Al-‘Alaq/94:19].

Semua perintah sujud di atas disampaikan dengan menggunakan kata kerja bentuk amr (perintah) dan kata kerja bentuk amr menunjukkan hokum wajib.

Dalil inipun terbantah dari dua sisi:
a. Yang dimaksud dengan sujud dalam ayat-ayat ini adalah sujud dalam shalat. (Lihat al-Majmû’ 4/64)

b. Seandainya perintah sujud tersebut bersifat wajib ketika membaca ayat sajdah, maka mesti perintah tersebut dibawa pengertiannya kepada sunnah karena terkadang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya. [Lihat al-Mughni 2/366].

3. Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ

Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami yaitu mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong. [As-Sajdah/32 :15]

Secara Tekstual ayat ini menunjukkan bahwa seseorang tidak dianggap beriman terhadap ayat-ayat Allâh kecuali apabila disebutkan ayat-ayat tersebut segera ia bersujud dan bertasbih memuji Allâh Azza wa Jalla dan lagi pula tidak sombong. [Lihat al-Majmû’ 4/61].

Konsekuensi dari argumentasi ini adalah semua yang beriman berkewajiban untuk sujud ketika dibacakan semua ayat-ayat Allâh dan ini tentunya tidak ada seorangpun yang berpendapat demikian. Dengan demikian argumentasi ini tidak dapat diterima.

4. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ، اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي، يَقُولُ: يَا وَيْلَهُ! أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ، فَلَهُ الْجَنَّةُ، وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ، فَأَبَيْتُ، فَلِي النَّارُ

apabila bani Adam (manusia) membaca ayat sajdah, lalu sujud, maka syaitan menyingkir dan menangis seraya berkata, “Celaka! Bani Adam diperintahkan untuk sujud lalu sujud maka dia berhak mendapatkan syurga sementara aku diperintahkan sujud lalu aku enggan maka aku mendapatkan neraka. [HR. Imam Muslim dalam Shahîhnya no. 133 (1/87)]

Hukum wajib melakukan sujud tilâwah diambil dari dua sisi:
a. Pada lafazh (أُمِرَ ابْنُ آدَمَ) dan perintah untuk wajib.

b. Sujud disini adalah ibadah, karena sujud yang diperintahkan kepada syaitan dahulu adalah wajib maka yang inipun sama.

5. Seandainya sujud tersebut tidak wajib tentu tidak boleh dilakukan dalam shalat, karena itu adalah menambah sujud dengan sengaja.
6. Karena sujud tersebut dilakukan dalam shalat maka menjadi wajib seperti sujud shalat yang ada.

2. Pendapat kedua: Sujud Tilâwah diwajibkan dalam shalat dan sunnah diluar shalat. Inilah salah satu riwayat dari Ahmad bin Hambal [Lihat Majmû’ al-Fatâwâ 23/139]

Mereka berarguentasi dengan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan sujud Tilâwah dalam shalat dan adanya beberapa hadits yang menunjukkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang meninggalkannya di luar shalat.

3. Pendapat ketiga: Hukumnya sunnah dalam shalat dan diluar shalat. Inilah pendapat madzhab Mâlikiyah (Lihat Bidâyat al-Mujtahid 1/161), Asy-Syafi’iyah (Lihat al-Majmû’ 4/61), Hambaliyah (Lihat al-Mughni 2/346) dan Zhâhiriyah (Lihat al-Muhalla 5/106). juga pendapat al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i (Lihat al-Mughni 3/364), Ishâq dan Abu Tsaur. (Lihat al-Majmû’ 4/61).

Argumentasi mereka berdasarkan dalil-dalil berikut:
1. Hadits Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

– قَرَأْتُ عَلَى اَلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلنَّجْمَ , فَلَمْ يَسْجُدْ فِيهَا

Aku membacakan surat an-Najm kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Beliau tidak sujud padanya. [HR al-Bukhari dan Muslim].

Seandainya sujud tersebut wajib, tentu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersujud dan memerintahkan Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu untuk bersujud, sehingga al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sujud untuk menjelaskan kebolehannya [Fathul Bâri 2/555].

2. Diriwayatkan bahwa ada seorang yang membaca ayat sajdah didekat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu sujud dan membacanya dilain waktu dan tidak sujud. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُنْتَ إِمَامُنَا، فَلَوْ سَجَدْتَ سَجَدْنَا

Kamu adalah imam kami, seandainya kamu sujud maka kamipun sujud. ([HR. Asy-Syafi’i dalam al-Musnad 1/122 dan al-Baihaqi 2/324]

Disini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya bersujud dan membenarkan perbuatan orang tersebut yang tidak sujud.

Namun hadits ini lemah. Dinilai lemah oleh al-Baihaqi rahimahullah dan yang shahih adalah dari jalan periwayatan Atha bin Yasaar rahimahullah secara mursal. al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata bahwa perawinya tsiqât (terpercaya) kecuali haditsnya mursal [Fathul Bâri 2/556].

3. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada A’rabi ketika bertanya kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat apa saja yang diwajibkan kepadanya:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ

Shalat lima waktu dalam sehari semalam, lalu Ia bertanya: Apakah ada selain itu yang diwajibkan atasku? maka beliau menjawab: Tidak ada, kecuali bila kamu ingin tatawwu’ (shalat sunnah). [HR. Al-Bukhari].

4. Imam al-Bukhari meriwayatkan atsar dari Umar Radhiyallahu anhu :

أن عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَرَأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ بِسُورَةِ النَّحْلِ حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ نَزَلَ فَسَجَدَ وَسَجَدَ النَّاسُ حَتَّى إِذَا كَانَتْ الْجُمُعَةُ الْقَابِلَةُ قَرَأَ بِهَا حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَلَمْ يَسْجُدْ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

sesungguhnya Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu pada hari Jum’at membaca surat an-Nahl di atas mimbar hingga apabila sampai pada ayat sajdah, beliau turun lalu sujud dan kaum Muslimin ikut sujud, hingga pada hari Jum’at berikutnya, beliau membaca surat tersebut hingga sampai ayat sajdah, beliau z berkata: Wahai kaum Muslimin, sungguh kita diperintahkan sujud. Barangsiapa yang sujud maka ia telah menjalankan sunnah sedangkan orang yang tidak sujud maka ia tidak berdosa. Umar x pun tidak bersujud. [Shahîh al-Bukhâri 2/43].

Imam Nâfi’ menambahkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu berkata:

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَفْرِضِ السُّجُودَ إِلَّا أَنْ نَشَاءَ

Sesungguhnya Allâh tidak mewajibkan sujud kecuali kita menginginkannya.

Ini adalah perbuatan dan pernyataan Khalifah Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu di atas mimbar dan di khalayak ramai dan tidak ada yang membantah. Ini menunjukkan kesepakatan mereka tentang tidak wajibnya sujud Tilâwah.

5. Hukum asalnya adalah tidak wajib sampai ada dalil yang shahih lagi gamblang dalam perintahnya dengan tanpa ada penentangnya. Dalam masalah ini tidak ada hal tersebut sehingga kembali kepada hukum asal.

6. Menganalogikannya dengan sujud syukur.

Pendapat Yang Rajih:
Dari pendapat yang ada dalam masalah ini, tampaknya yang rajih menurut penulis adalah pendapat ketiga yang menyatakan bahwa sujud Tilâwah tidak wajib, karena dasar argumentasi mereka kuat dan dalil-dalil mereka shah. Wallahu a’lam.

2. HUKUM SUJUD TILAWAH BAGI YANG MENDENGARKAN DENGANBAIK (AL-MUSTAMI’) AYAT SAJDAH.
Dalam masalah ini para Ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat:

Pendapat Pertama : Pendapat yang menganggap sujud Tilâwah wajib. Ini pendapat madzhab Hanafiyah (Lihat Badâ’i ash-Shanâ’i 1/78), satu riwayat dari Imam Ahmad (Lihat al-Inshâf 2/193) dan dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah (Lihat Majmû’ al-Fatâwâ 23/139-140).

Pendapat ini berdalil dengan dalil-dalil yang telah disebutkan pada pembahasan tentang hukum sujud Tilâwah bagi orang yang membaca ayat sajdah.

Pendapat Kedua : Pendapat yang memandang hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat madzhab Mâlikiyah (Lihat al-Muntaqa 1/352), madzhab Syâfi’iyah (Lihat al-Majmû’ 4/85), madzhab Hanabilah (Lihat al-Mughni 2/366) dan Ibnu Hazm (al-Muhalla 5/157).

Pengikut pendapat ini berdalil dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa sujud Tilâwah tidak wajib bagi orang sedang membaca ayat sajdah.

Pendapat Yang Rajih
Yang rajih -insya Allâh- adalah pendapat kedua yang menyatakan hukumnya sunnah karena argumentasi mereka begitu kuat.

3. HUKUM SUJUD TILAWAH BAGI YANG MENDENGAR TANPA PERHATIAN KHUSUS (AS-SAMI’)
Dalam masalah ini terdapat empat pendapat para Ulama:

Pendapat Pertama :Hukumnya adalah wajib. Ini pendapat madzhab Hanafiyah (Lihat Badâ’i ash-Shanâ’i 1/180).

Mereka berargumentasi dengan dalil-dalil yang mewajibkan sujud bagi orang yang sengaja fokus mendegarkan dengan baik dan penuh perhatian. Mereka menyatakan bahwa semua dalil ini mutlak tanpa ada ketentuan sengaja mendengarkan dengan baik dan penuh perhatian atau tidak. Berdasarkan ini, orang yang mendengarkannya tanpa sengaja sama hukumnya dengan mereka yang menyengaja.

Ini juga dikuatkan dengan pernyatan sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, “Sujud wajib bagi yang mendengartkannya.” [Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2/5].

Pendapat Kedua : Hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat madzhab Syâfi’iyah (Lihat al-Majmû’ 4/58), Hanabilah dalam salah satu pendapatnya (Lihat al-Mubdi’ 2/29) dan Ibnu Qudâmah menceritakannya dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, an-Nakhâ’i, Sa’id bin Jubeir, Nâfi’ dan Ishâq (al-Mughni 2/366)

Mereka berargumentasi dengan dalil yang digunakan untuk menetapkan hukum sunnah bagi orang yang sengaja fokus untuk mendengarkannya. Mereka menyatakan bahwa yang mendengar ayat sajdah sama hukumnya dengan yang sengaja untuk mendengar dan memperhatikannya.

Pendapat Ketiga : Hukumnya mustahab (sunnah), namun tidak terlalu ditekankan sebagaimana penekanan terhadap orang yang sengaja mendengarkan (al-mustami’). Inilah salah satu pendapat dalam madzhab Syâfi’iyah (Lihat al-Majmû’ 4/58).

Pendapat Keempat : Hukumnya tidak disyariatkan. Ini pendapat madzhab Mâlikiyah (Lihat al-Mudâwanah 1/111), salah satu pendapat Syâfi’iyah (Lihat al-Majmû’ 4/58) dan Madzhab Hanabilah (Lihat al-Mughni 2/366)

Diantara dasar argumentasi pendapat ini adalah:
Atsar dari Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu :

عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُثْمَانَ مَرَّ بِقَاصٍ فَقَرَأَ سَجْدَةً لِيَسْجُدَ مَعَهُ عُثْمَانُ فَقَالَ عُثْمَانُ إِنَّمَا السَّجْدَةُ عَلَى مَنْ اسْتَمَعَ ثُمَّ مَضَي

Dari Said bin Musayyib rahimahullah bahwa Utsmân Radhiyallahu anhu melewati seorang tukang cerita, lalu tukang cerita tersebut membaca ayat sajdah agar Utsmân Radhiyallahu anhu melakukan sujud Tilâwah bersamanya. Maka Utsman pun berkata, “Sujud tersebut disyariatkan pada orang yang sengaja mendengarkannya.” Kemudian beliau pergi (Al-Ausath 5/281)

2. Atsar Imrân bin Hushain Radhiyallahu ahnu :

عَنْ مُطَّرِفِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ الْحُصَيِّنِ مَرَّ بِقَاصٍ فَقَرَأَ سَجْدَةً فَمَضَى عِمْرَانُ وَلَمْ يَسْجُدْ مَعَهُ وَقَالَ إِنَّمَا السَّجْدَةُ عَلَى مَنْ جَلَسَ لَهَا

Dari Muththarif bin Abdillah rahimahullah bahwasanya Imron bin al-Hushain Radhiyallahu anhu melewati seorang tukang cerita lalu dia membaca ayat sajdah, namun Imrân tetap berlalu dan tidak sujud dan berkata, “Sujud itu hanya untuk orang yang duduk mendengarkannya.” [HR Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf].

Atsar-atsar ini semua masih di selisihi oleh atsar yang lainnya, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

3. Karena orang yang tidak sengaja mendengarkannya tidak mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang membacanya, sehingga tidak sujud.

Pendapat Yang Rajih
Tampaknya yang rajih adalah pendapat kedua yang menyatakan hukumnya sunnah pada orang yang tidak sengaja mendengarkannya seperti juga hukumnya bagi orang yang sengaja mendengarkannya, karena dalil dan argumentasi mereka kuat. Wallâhu a’lam.

Demikian hukum sujud Tilâwah untuk yang membaca dan mendengarkannya. semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Jumat, 07 April 2017

TIGA PENYEBAB TURUNNYA KEBAIKAN

Ada tiga hal yang apabila ketiganya ada pada dirimu, maka setiap turun Kebaikan dari langit, pasti engkau dapat bagiannya.
     Pertama, amalanmu hendaklah semata untuk Allah. Rasulullah Saw bersabda: "Allah tidak menerima amal, kecuali amal yang di kerjakan dengan ikhlas karena Dia semata-mata dan dimasukkan untuk mencari keridhaan-Nya." (HR. Ibnu Majah).
     Dalam riwayat yang lain, Beliau juga bersabda: "Sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan tiap-tiap orang itu akan memeroleh apa yang diniatkan, barang siapa yang hijrahnya untuk memeroleh duniawi atau mencari wanita yang akan dikawinnya, maka hijrahnya akan menghasilkan sesuai dengan niatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
     Kedua, sukailah doa yang menjadi miliknya orang lain, seperti engkau menyukai untuk dirimu. Doa adalah senjata orang mukmin. Berdoa berarti menyandarkan harapan dan kemampuan diri pada Allah. Orang yang berdoa dengan baik akan melakukan ikhtiar yang baik dan sungguh-sungguh.
     Ketiga, jagalah kehalalan makanan semampumu. Makanan yang halal dan berkah akan menguatkan jiwa, menajamkan pikiran dan memperlancarkan rezeki yang halal pula. Sedang makanan yang haram akan memutus tali ijabah (pengabulan doa) dari Allah. (Abu Hurairah ra).

Senin, 03 April 2017

ULAMA DI AKHIR ZAMAN

Imam AsySyafi’i Rahimahulloh, pernah berwasiat: "Nanti diakhir zaman akan banyak Ulama yang membingungkan Umat, sehingga Umat bingung untuk membedakan dan memilih yang mana Ulama Warosatul Anbiya’ (penerus Nabi) dan yang mana Ulama Suu’ (jahat) yang menyesatkan Umat”.

Imam Syafi’i Rahimahulloh pun melanjutkan: "Carilah Ulama yang paling dibenci oleh orang-orang Kafir dan orang Munafiq, dan jadikanlah ia sebagai Ulama yang membimbingmu, dan jauhilah Ulama yang dekat dengan orang Kafir dan Munafiq karena ia akan menyesatkanmu, menjauhimu dari keridhaan Alloh."

Sufyan bin ‘Uyainah Rahimahulloh Ulama Salaf berkata: "Jika diakhir zaman nanti kalian mendapati perselisihan diantara Umat, maka wajib bagi kalian memegang Fatwa Ulama AHLUTS TSUGHUR." Apa yang dimaksudkan dengan Ahluts Tsughur? "Ahluts Tsughur adalah Ahlul Jihad, para Ulama yang berada di front-front Jihad."

Nabi Muhammad Sholallohu 'Alaihi Wassalam bersabda: "Ada hal yang aku takutkan pada Umatku melebihi Dajjal yaitu Ulama yang sesat lagi menyesatkan." (Hadist Riwayat Abu Dzar).

والله أعلمُ بالـصـواب