Selasa, 15 Januari 2019

Wahai Rasul Inilah Kisah Perjalanan Panjang Kami, Umat Islam di Nusantara Raya

Muslim Cyber / Dicky Rinaldo / 2 tahun yang lalu

Oleh : Dicky Rinaldo | Jihad Media Movement

Pelana kuda itu baru dikembalikan Belanda pada tahun 1978 ke bumi pertiwi, setelahdirampas tahun1829. Saat itu Bendara Pangeran Harya Dipanegara atau lebih dikenal sebagai Pangeran Diponegoro terpaksa lompat dari kudanya ke lembah terdekat di bawah gelagah, kuda, tombak dan jubahnya pun dirampas setelah Sang pahlawan, Ulama dan juga seorang Mursyid Thoriqoh itu disergap di Pegunungan Gowong oleh AV Michiels dan Pasukan Gerak Cepat yang dikenal luas dengan kemampuan lacaknya.

Pangeran Diponegoro merupakan Putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada bulan Ramadhan tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama kecil Mustahar. Meski demikian beliau lebih dikenal sebagai Diponegoro. Sang pangeran memperoleh namanya dari bahasa Sansekerta, yakni dipa yang berarti ‘cahaya’ dan nagara yang berarti ‘negara’. Secara keseluruhan namanya berarti 'cahaya negara' dan merupakan gelar kebangsawanan di Keraton Jawa Tengah bagian selatan. 



Beliau lebih memilih berjuang di medan pertempuran, daripada menjadi seorang Raja.Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh Sunan Pakubuwana VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan.

Era diponegoro telah berlalu, sang Ulama itu telah berjuang di masa perang konvensional dengan menggunakan senjata. Kini, Setelah melalui perjalanan panjang, segalanya telah menjadi jelas bagi kita. Kehancuran kaum muslimin dengan jalan perang konvensional adalah mustahil. Umat muslim tidak akan pernah kalah di era perang konvensional karena mereka tegas di atas konsep jihad fi sabilillah. Dengan ini, umat islam tidak akan pernah mengalami kekalahan militer.

Kini Strategi memerangi kaum muslimin di Nusantara berubah menjadi Perang Pemikiran (Ghazwul Fikri) sebuah peperangan yang menyasar pada perubahan pola pikir, akhlak (perilaku), dan aqidah dari kaum muslimin.

Para pakar menelisik metode yang mereka gunakan dalam perang pemikiran (Ghazwul Fikri), antara lain :

Tasykik, yaitu menimbulkan keragu-raguan dan pendangkalan dalam jiwa kaum muslimin terhadap agamanya.Tasywih, yaitu pengaburan. Adalah upaya orang kafir untuk menghilangkan kebanggaan kaum muslimin terhadap islam dengan cara menggambarkan islam secara buruk.Tadzwiib, yaitu pelarutan, pencampuradukan antara pemikiran dan budaya islam dengan pemikiran dan budaya jahiliyah.Taghrib, atau pembaratan (westernisasi), yaitu mendorong kaum muslimin untuk menyenangi dan menerima pemikiran, kebudayaan dan gaya hidup orang-orang barat. 

Keempat metode itu membutuhkan sarana dan prasarana untuk menyebarluaskannya, Salah satunya adalah pemanfaatan Media. Dengan keunggulan Visual, Auditori dan Kinestetik yang dimiliki media (terutama televisi), pembentukan opini sangat dimungkinkan jika anda mengusai media. Maka jangan heran jika media di Indonesia yang kini menjadi alat mempropaganda umat muslim.

Di Amerika Serikat, terdapat regulasi yang mengharuskan orang asing yang ingin memiliki media di sana untuk menjadi warga negara Amerika terlebih dahulu. Dalam ekonomi media, ini yang disebut rintangan bagi produsen lain. Untuk memenuhi regulasi tersebut, Rupert Murdoch yang sebelumnya berkewarganegaraan Australia rela menjadi warganegara Amerika.  Berbeda dengan di Indonesia, untuk menguasai Media di Indonesia Ruppert Murdoch tidak perlu menjadi seorang WNI, dia cukup memiliki ‘boneka’ yang bisa mewujudkan  visi misinya di Indonesia.

Industri media sangat erat kaitannya dengan tumbuhnya semangat kapitalisme.Dengan perspektif sosiologi media, kompleksitas hubungan multidimensi tersebut menemukan penjelasan yang masuk akal. Dalam pendekatan sosiologi makro dengan meminjam model hubungan media dengan dunia sosial, tergambarkan peran media dalam kehidupan sosial dalam suatu model yang memiliki lima elemen pokok yaitu dunia sosial (social world), industri media, pesan dan atau produk media, pemirsa/audiens dan teknologi. Kelima elemen tersebut memiliki hubungan masing-masing dengan elemen lainnya baik langsung maupun tidak. Dunia sosial atau lingkungan terletak di tengah antara elemen lain yang menunjukkan posisinya sebagai pusat dari hubungan semua elemen.

Beruntung Umat Islam Indonesia memiliki barrier seperti Front Pembela Islam yang dipimpin oleh Habib Rizieq. Ahok terbukti bersalah dalam Kasus Al Maidah 51 karena provokasi yang dilakukannya sendiri. Provokasi dalam melegalkan kaum kafir sebagai pemimpin merupakan wujud dari metode Tasykik, yaitu menimbulkan keragu-raguan dan pendangkalan dalam jiwa kaum muslimin terhadap agamanya. Sikap tegas yang dimiliki Habib Rizieq penting dimiliki di era perang pemikiran (Ghazwul Fikri).Ketegasan diperlukan demi mengkonter propaganda sesat mereka dan juga untuk terus memotivasi umat.

Seorang kawan menuliskan hal ini :

Seandainya orang ini hidup di jaman Nabi dan melihat Nabi memimpin perang Badar, Uhud, Khandaq dll. Mereka akan berkata "Nabi kok hobinya perang, mestinya Nabi itu mengajarkan kedamaian, toleransi, kebhinekaan, seperti aku ini". 

Mendengar Nabi berdoa "Semoga Allah merobek-robek kerajaannya (kerajaan persia)". 

Mereka akan berkata: "Nabi kok mendoakan jelek, mestinya Nabi itu berdoa yang baik-baik, seperti aku ini"

Mengetahui Nabi menghukum potong tangan bagi pencuri wanita dari kalangan bangsawan, kemudian Nabi marah karena ada yang coba-coba menawar hukuman tsb. 

Niscaya mereka pun akan berkata: "Nabi kok keras dan pemarah begitu, mestinya Nabi itu mengayomi dan mudah memaafkan, seperti aku ini".

Melihat Nabi memerintahkan para sahabat untuk merobohkan masjid (Dhirar) yang dibuat kaum munafik. Mereka akan berkata : "Nabi kok radikal begitu, mestinya Nabi itu lemah lembut tidak radikal seperti aku ini."

Mereka juga mengatakan "Islam tdk perlu di bela, Islam pasti benar". Padahal Allah justru telah memberikan jalan untuk kita berjuang, setiap momentum mengandung hikmah yakni untuk membedakan siapa yg ikut serta membela, siapa yg ingkar dan siapa yg hanya menonton atau bahkan malah membelot menjadi musuh Islam.

Jika kebanyakan ulama mengambil Amar Ma’ruf  (menyeru kepada kebaikan), maka Habib Rizieq Shihab mengambil Nahi Munkar (mencegah kebatilan) melalui ketegasan yang dimilikinya, meski banyak yang menilai keras, kejam, sadis dan sebagainya. Beliau pun sadar resiko sikap yang beliau ambil  memang besar. Yakni dibenci, difitnah bahkan juga dikriminalisasi hingga berpotensi kehilangan nyawa. Seperti kasus-kasus  yang menimpa beliau sekarang ini, tujuan utamanya bukan benar atau salah, tapi tercitrakan salah atau benar hingga kembali lagi  mereka berharap timbul keragu-raguan dan pendangkalan dalam jiwa kaum muslimin Indonesia terhadap agamanya.

Dahulu berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830. Dan kini Habib Rizieq pun demikian. Semoga tak lagi terulang. Wahai Rasul Inilah Kisah Perjalanan Panjang Kami, Umat Islam di Nusantara Raya.

Tidak ada komentar: