Kamis, 15 November 2018

Keadilan dalam Demokrasi

Copas dari GWA sebelah.

Oleh : Adib Zain

Sebuah peristiwa di Kota Bandung, di depan rumah saya, dua kendaraan angkut mobil atau biasa disebut 'mobil-derek' berhenti dekat saya berjalan kaki. Diatasnya ada mobil yang mau diturunkan dipinggir jalan disitu. Saya bertanya kepada petugas DLLAJR yang sibuk bekerja : "Kang, mengapa mobil ini di derek". Dia menjawab singkat : "Akan ada Presiden, prosedurnya harus dibersihkan kalau ada mobil yang parkir dipinggir jalan di dekat tempat acara Presiden".

Dalam hati saya ini hari Sabtu, libur dan masa kampanye Pilpres; Pak Jokowi itu dalam posisi menjalankan tugas Presiden atau menggunakan hak Capres yang sedang kampanye? Setelah saya cari tahu, ternyata disebuah hotel tidak jauh dari rumah saya, ada pertemuan Jokowi dengan "Tim Suksesnya". Nah, disinilah kesan istimewa seorang petahana/penjabat jika ikut kontestasi politik, hak protokoler beliau masih melekat?

Saya akhirnya pagi dini hari ini menemukan frasa "Keadilan Demokrasi" atau perlakuan penyelenggara Pemilu terhadap seorang penjabat/petahana dalam kontestasi politik untuk kepentingan dirinya masih dapat menggunakan hak protokoler dan fasilitas serta aparatur negara, sebagai bentuk ketidak-adilan dalam demokrasi? Perlu dijawab.

Ini kesimpulan yang bisa diperdebatkan. Karena saya hanya ingin mengatakan; petahana/penjabat lebih diuntungkan jika masih diperbolehkan menggunakan fasilitas jabatannya selama hari beliau berkampanye. Apalagi jika dikaitkan karena Presiden sebagai Kepala Negara, maka saya pasti tidak populer dan dianggap menyinggung persoalan prinsip yang berlindung pada istilah Presiden sebagai "simbol negara".

Saya bukan ahli hukum tata negara, apalagi penyusun naskah akademik peraturan perundang undangan. Saya hanya orang biasa yang melihat, dalam kasus ini, beliau contoh sebagai peserta Pemilu yang tunduk pada rezim/UU Pilpres, sehingga fasilitas negara dan jabatan sementara harus dilepaskan, kecuali pengamanan atas keselamatan jiwa Presiden yang masih melekat, selebihnya Capres/caleg orang biasa yang tunduk pada rezim Pemilu.

Konsekwensi logis pula, agar tidak campur-aduk; kegiatan, jadwal atau fasilitas negara, sudah seharusnya tidak dapat lagi dipakai selama hari-hari dimana petahana/penjabat mengambil waktu untuk berkampanye. Demikian pula halnya, seorang Pejabat Negara, Kepala Daerah dll yang berkampanye untuk calon yang diunggulkannya tidak boleh menggunakan pengaruh dan fasilitas jabatannya.

Keadilan dalam demokrasi seperti PIleg dan Pilpres serentak ini harus kita tegakkan bersama. Apalagi saya mendengar informasi salah seorang ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra telah menjadi penasihat hukum Jokowi atau kepada siapapun, saya mohon berkenan memberikan pendapat hukumnya terhadap masalah seperti ini.

Termasuk dalam masalah yang saya anggap serius, dimana Kepala Daerah, Menteri, anggota DPR/D dan DPD, Pejabat BUMN, jika menjadi Tim Pemenangan  Pilpres/Pileg, saya menduga mereka melanggar sumpah jabatannya dan dapat dimakzulkan, diberhentikan atau diPAWkan. Inilah tertib, adab dan keadilan demokrasi yang harus kita bangun. Bayangkan, hampir setahun para pejabat ini sibuk dengan kampanye politik, sementara tugas mereka semua dan rakyat memilihnya bukan untuk itu. Karena, dibayar sebagai wakil rakyat, urusan negara dan pelayan publik.

Bandung, 12-11-2018

Tidak ada komentar: