Rabu, 10 Juli 2013

Luar Biasanya ‘Bukan Cinta Biasa’


Oleh Kartika Ummu Arina*
Setiap orang pasti mampu melakukan sesuatu yang istimewa untuk pasangannya. Tak mesti mahal dan menghabiskan waktu banyak.
Sepuluh tahun berlalu pernikahan mereka berlangsung. Meski belum ada yang berkata bahwa mereka adalah pasangan yang ideal, tetapi rentang waktu bersama itu cukup membuat mereka berusaha saling mengisi. Namun, seiring waktu berjalan, ada kehampaan di relung hati.
Sungguh, cinta berupa tanggung jawab memang tak pernah alpa dari keseharian mereka sebagai suami-istri. Namun, merasakan kembali cinta yang merona layaknya seorang remaja yang sedang jatuh cinta adalah hal yang diinginkan untuk menghangatkan hubungan mereka.
Cinta yang merona, yang menghangatkan suasana kebersamaan suami-istri tentu sangat berarti di saat harus melalui berbagai permasalahan yang melanda hidup. Apalagi mengingat kewajiban sebagai orangtua begitu berat, maka cinta di antara pasangan suami istri adalah penawar kelelahan jiwa, peredam gelisah, dan pengokoh hati dalam menjemput takdir-Nya.
Namun, seringkali cinta itu menjadi tawar rasanya manakala waktu berjalan dan kehidupan rumah tangga hanya sebuah daftar hak dan kewajiban. Meski ini yang seringkali dimaklumi oleh kebanyakan orang sebagai tanggung jawab, akan tetapi menjalaninya sungguh sangat melelahkan dan menumpulkan hati.
Awalnya dari yang Istimewa
Keinginan untuk selalu jatuh cinta pada pasangan adalah sebuah keinginan yang indah. Hingga hadirnya cinta yang merona tak hanya dapat ditemui dalam kisah romantis semata. Sungguh ini adalah sebuah perjuangan. Pasalnya, dalam suasana yang selalu biasa-biasa saja, cinta yang merona kadang hanya sebuah guyonan bahkan seringkali dianggap kekanakan.
Namun, kisah seorang ibu yang telah berumur berikut ini mungkin dapat mengubah persepsi itu. Ibu tersebut bercerita bahwa suaminya punya kebiasaan yang hingga kini masih dilakukan, yaitu kebiasaan memposkan surat yang ditulisnya sendiri untuk istrinya. Ketika sang suami masih bekerja, surat yang biasanya berisi curahan hati bahkan pujian yang membuat hati tersanjung itu, ditulisnya saat berada di kantor dan diposkannya hari itu juga. Surat biasanya diterima sang istri menjelang sore atau keesokan hari.
Kebiasaan itu masih dilakukannya hingga kini, ketika suaminya telah memasuki masa pensiun. Ada waktu yang khusus dialokasikan untuk menulis surat pada istrinya yang meski kini ditemuinya setiap waktu dan tetap diposkannya di kantor pos terdekat. Sang istri pun dengan kebahagiaan yang sama selalu membaca surat istimewa itu.
Setiap orang yang mendengar cerita ibu tadi pasti akan tersenyum. Ada binar cinta yang tak pernah redup dari mata ibu tersebut hingga kini mereka telah menimang cucu. Ada cinta yang merona yang tak pernah redup dalam kehidupan pernikahan mereka dengan surat istimewa sebagai cahayanya. Itulah tanda cinta yang tak semua orang mau dan mampu melakukannya.
Setiap orang pasti mampu melakukan sesuatu yang istimewa untuk pasangannya. Tak mesti mahal dan menghabiskan waktu banyak, melakukan sesuatu yang istimewa justru terletak pada tekad dan ketulusan hati untuk mau melakukannya. Sebab, hal prinsip untuk membuat cinta yang selalu merona dapat hadir justru hadir bukan dari uang, apalagi hal yang mengada-ada.
Yang Prinsip adalah Kuncinya
Hal prinsip itu adalah selaras atau tidaknya jiwa kita dengan pasangan dalam mengayuh bahtera rumah tangga. Cinta yang merona tidak akan pernah hadir manakala jiwa masing-masing pasangan tak pernah seirama dalam menjalankan biduk pernikahan.
Mungkin kita banyak menjumpai pasangan yang saling berseberangan hati, tetapi tetap mencoba bertahan di bawah satu atap pernikahan puluhan tahun lamanya. Suami atau istrinya terbina dengan semangat yang menyala-nyala dalam dakwahnya, tetapi pasangannya sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan, menjadi pemberat langkah. Sungguh, kehidupan yang sangat melelahkan jiwa.
Padahal, sangat penting untuk menyelaraskan gerak jiwa kita dengan pasangan karena Rasulullah SAW pun selalu menjadikan istri-istrinya sebagai orang yang paling berarti pada saat-saat terpenting, seperti turunnya wahyu. Saat tubuh Rasulullah bergetar hebat karena dahsyatnya wahyu, beliau akan meraih tangan Aisyah RA dan berkata, “Berbicaralah padaku, Aisyah.”
Itulah sebabnya beliau bersabda, “Tiga hal di dunia ini telah menjadi kecintaanku: kaum perempuan, wewangian, dan kesejukan mataku ketika shalat.”(Riwayat An-Nasa’i, Ahmad, dan Al-Hakim). Shalat menjadi bagian akhir yang disebutkan oleh Rasulullah karena dalam kelemah-lembutan perempuan dan segarnya wangi parfum akan diperoleh kekuatan dan ketenangan. Inilah yang akan menyejukkan ketika shalat didirikan. Jadi, inilah pentingnya menyelaraskan jiwa. Kekuatannya akan menopang kekusyukan dan mengokohkan gerak yang diayunkan. Ini pula pentingnya menghadirkan cinta.
Yang pertama, bersyukurlah ada dia yang dengan ketulusannya mau menerima kita berada di sisinya. Keberadaan kita menyebabkan berangkai kewajiban yang harus ditanggungnya, dan kesediaannya bersabar dengan segala kekurangan dan tingkah kita yang belum tentu berkenan di hatinya.
Selanjutnya, ambilah inisiatif agar cinta itu kembali merona. Tak perlu berharap pasangan kita mau mengubah sikap karena hal itu pun hal yang tak mudah bagi diri kita sendiri. Namun, ambillah inisiatif yang akan menggugahnya dengan melakukan hal yang kita harapkan. Seperti seorang istri yang selalu pertama kali menarik tangan suaminya untuk menggandeng ketika berjalan atau menggenggam tangan suaminya ketika duduk berdampingan. Suaminya yang tak pernah melakukan itu karena tergolong cuek – walau akhirnya tak dapat melakukan hal yang sama, selalu berusaha membantu istrinya di rumah dan menjadi ayah yang luar biasa bagi anak-anaknya. Inilah buah dari rasa bersyukur kita akan hadirnya suami atau istri di sisi.
Energinya akan mendorong kita melakukan inisiatif yang membuat cinta selalu hadir.
Yang terakhir, jujurlah. Jujurlah dalam kata-kata maupun tindakan. Jujurlah dalam kata-kata karena dialah orang yang akan menemani kita di surga karena dukungan dan doa-doanya selama di dunia. Jujurlah pula dalam tindakan ketika kita mengharapkan yang terbaik pula darinya. Seperti yang dilakukan oleh Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan sepeninggal suaminya, Umar bin Adul Azis. Ia didatangi petugas Baitul Maal yang mengatakan bahwa perhiasannya masih utuh.
Adalah hak Fathimah untuk mengambilnya kembali. Namun, Fathimah menjawab, “Sesungguhnya perhiasan itu telah kuberikan ke Baitul Maal karena patuh pada suamiku. Tidak mungkin saya patuh padanya selagi ia ada dan melanggarnya setelah ia tiada.” Maka, begitu indahnya kejujuran itu. Menghadirkan cinta yang selalu merona walau pemiliknya telah tiada. *Penulis buku “Jadilah Suami Istri Bijak” Suara Hidayatullah Maret 2013

Tidak ada komentar: