Mengenal diri itu adalah “anak kunci” untuk Mengenal
ALLAH. Hadits ada mengatakan :
MAN ‘AROFA NAFSAHhU FAQOD ‘AROFA ROBBAHhU
(Siapa yang kenal kenal dirinya akan Mengenal
ALLAH)
Firman
ALLAH Ta'ala :
“Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi
kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush
Shilat [41]:53)
Tidak ada hal yang melebihi diri
sendiri. Jika anda tidak kenal diri sendiri, bagaimana anda hendak tahu
hal-hal yang lain? Yang dimaksudkan dengan Mengenal Diri itu bukanlah
mengenal bentuk lahir anda, tubuh, muka, kaki, tangan dan lain-lain
anggota anda itu. karena mengenal semua hal itu tidak akan membawa kita
mengenal
ALLAH. Dan bukan pula mengenal perilaku dalam diri anda yaitu
bila anda lapar anda makan, bila dahaga anda minum, bila marah anda
memukul dan sebagainya. Jika anda bermaksud demikian, maka binatang
itu sama juga dengan anda. Yang dimaksudkan sebenarnya mengenal diri
itu ialah:
Apakah yang ada dalam diri anda itu?
Dari
mana anda datang? Kemana anda pergi? Apakah tujuan anda berada dalam
dunia fana ini? Apakah sebenarnya bagian dan apakah sebenarnya derita?
Sebagian
daripada sifat-sifat anda adalah bercorak kebinatangan. Sebagian pula
bersifat Iblis dan sebagian pula bersifat Malaikat. Anda hendaklah tahu
sifat yang mana perlu ada, dan yang tidak perlu. Jika anda tidak
tahu, maka tidaklah anda tahu di mana letaknya kebahagiaan anda itu.
Kerja
binatang ialah makan, tidur dan berkelahi. Jika anda hendak jadi
binatang, buatlah itu saja. Iblis dan syaitan itu sibuk hendak
menyesatkan manusia, pandai menipu dan berpura-pura. Kalau anda hendak
menurut mereka itu, lakukan sebagaimana kerja-kerja mereka itu.
Malaikat sibuk dengan memikir dan memandang Keindahan
IlaHhi. Mereka
bebas dari sifat-sifat kebinatangan.
Jika anda ingin
bersifat dengan sifat KeMalaikatan, maka berusahalah menuju asal anda
itu agar dapat anda mengenali dan menuju pada
ALLAH Yang Maha Tinggi dan
bebas dari belenggu hawa nafsu. Sebaiknya hendaklah anda tahu kenapa
anda dilengkapi dengan sifat-sifat kebintangan itu.
Adakah
sifat-sifat kebinatangan itu akan menaklukkan anda atau adakah anda
menakluki mereka?. Dan dalam perjalanan anda ke atas martabat yang
tinggi itu, anda akan gunakan mereka sebagai tunggangan dan sebagai
senjata.
Langkah pertama untuk mengenal diri ialah
mengenal bahwa anda itu terdiri dari bentuk yang zhohir, yaitu tubuh ;
dan hal yang batin yaitu hati atau Ruh . Yang dimaksudkan dengan
“HATI” itu bukanlah daging yang terletak dalam sebelah kiri tubuh.
Yang
dimaksudkan dengan “HATI” itu ialah satu hal yang dapat menggunakan
semua kekuatan, yang lain itu hanyalah sebagai alat dan kaki tangannya
saja. Pada hakikat hati itu bukan termasuk dalam bidang Alam
Nyata (Alam Ijsam) tetapi adalah termasuk dalam Alam Ghaib. Ia datang ke
Alam Nyata ini ibarat pengembara yang melawat negeri asing untuk tujuan
berniaga dan akhirnya kembali akan kembali juga ke negeri asalnya.
Mengenal hal seperti inilah dan sifat-sifat itulah yang menjadi “Anak
Kunci” untuk mengenal
ALLAH.
ISLAM yang telah
ALLAH
ridlokan untuk menjadi agama kita, dan disampaikan melalui utusan-Nya
Nabi Muhammad SAW merupakan satu syariat yang mencakup persoalan hidup
lahir dan batin. Syariat lahir disebut syariat. Syariat batin disebut
hakikat. Hal itu sangat sesuai dengan struktur kejadian manusia itu
sendiri yang merupakan kombinasi antara jasad lahir dan jasad batin.
Jasad
lahir adalah semua anggota tubuh kita yang nampak dengan mata.
Sedangkan jasad batin adalah jasad gaib yang menggerakkan seluruh
anggota lahir. Jasad batin dapat merasa, mengingat, memikirkan,
mengetahui, memahami segala sesuatu yang terjadi di dalam diri kita
masing-masing.
ALLAH SWT. menetapkan bahwa syariat lahir untuk diamalkan
oleh jasad lahir sedangkan syariat batin untuk diamalkan oleh jasad
batin yaitu ruh.
Sesuai dengan keadaan lahir batin kita
yang saling berkaitan erat tanpa terpisah-pisah maka begitu pula amalan
lahir dan batin wajib dilaksanakan secara serentak di setiap waktu dan
keadaan. Kalau kita membeda-bedakan atau menolak salah satu dari amalan
itu, maka kita tidak mungkin menjadi hamba
ALLAH yang sebenarnya sebab
Islam memandang syariat itu sebagai kulit, sedangkan hakikat itu adalah
intipati.
Kedua-duanya sama-sama penting dan saling
memerlukan, ibarat kulit dan isi pada buah-buahan. Keduanya mesti ada
untuk kesempurnaan wujud buah itu sendiri. Tanpa kulit, isi tidak
selamat malah isi tidak mungkin ada kalau kulit tidak ada. Sebaliknya
tanpa isi, kulit jadi tidak berarti apa-apa. Sebab buah yang dimakan
adalah isinya bukan kulitnya.
Begitu juga hubungan syariat
dan hakikat. Keduanya mesti diterima dan diamalkan serentak. Keduanya
saling mengisi dan memerlukan. Kalau kita bersyariat saja (artinya
berkulit saja tanpa isi), itu tidak membawa arti apa-apa di sisi
ALLAH.
Sabda
RasulullooHh SAW. :
Terjemahannya : “
ALLAH tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu.” (Riwayat : Muslim)
Sebaliknya
kalau kita berhakikat saja (isi tanpa kulit), maka tidak ada jaminan
keselamatan dari
ALLAH SWT. Hakikat itu akan mudah rusak, dan kita sama
sekali tidak akan memperoleh apa-apa, bahkan agama Islam yang kita anut
akan rusak tanpa kita sadari.
Berkata Imam Malik Rahimahullahu Ta'aala:
Terjemahannya
: “Barangsiapa berfiqih (syariat) dan tidak bertasawuf maka ia jadi
fasik. Barangsiapayang bertasawuf (hakikat) tanpa fiqih maka ia adalah
kafir zindik.”
Artinya kita mesti mengamalkan keduanya
sekaligus, yaitu syariat dan hakikat. Kalau kita pilih salah satu, kita
tidak akan selamat. Kalau kita bersyariat saja tanpa dilindungi oleh
hakikat, kita akan menjadi fasik. Dan kalau kita berhakikat saja tanpa
dikawal oleh syariat, maka hakikat itu akan mudah rusak sehingga kita
jatuh kafir zindik (kafir tanpa sadar).
Begitulah pentingnya syariat dan hakikat. Tetapi bila kedua-duanya ada, maka hakikatlah yang lebih utama.
Seperti dalam sabda
RosulullooHh SAW. :
Terjemahannya :
ALLAH tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu. (Riwayat : Muslim)
Hadits
itu tidak bermaksud bahwa syariat tidak penting. Bahkan syariat juga
adalah hukum-hukum fardhu yang wajib diamalkan oleh seluruh umat Islam.
Hanya saja dalam keadaan keduanya (syariat dan hakikat) itu sama-sama
diamalkan,
ALLAH memberi keutamaan pada amalan hakikat. Perbandingannya
seperti antara kulit dan isi buah. Kedua-duanya sama penting, tetapi
manusia memberi keutamaan pada isi sebab bisa dimakan.
Begitulah
peranan hakikat. Peranannya menentukan berakhlak atau tidaknya seorang
manusia kepada
ALLAH dan kepada sesama manusia. Orang yang kuat amalan
batinnya atau tinggi pencapaian tasawufnya adalah orang yang hatinya
selalu dekat dengan
ALLAH. Ia senantiasa merasakan kebesaran
ALLAH,
dibandingkan dirinya yang maha lemah dan senantiasa memerlukan
pertolongan
ALLAH. Ia sangat beradab dengan
ALLAH dan dapat mengorbankan
dunia untuk Tuhannya. Ia juga mampu mengasihi semua manusia, bersedia
susah untuk manusia dan akan menyelamatkan manusia dari tipuan dunia,
nafsu dan syaitan.
Sebaliknya orang yang lemah dalam
amalan batin adalah orang yang hatinya jauh dan terpisah dari
ALLAH. Ia
tidak takut dengan
ALLAH, tidak malu, tidak harap, dan tidak cinta
kepada
ALLAH. Ia tidak redha dan tidak sabar, kurang beradab dengan
ALLAH, penuh hasad dengki, sombong, bakhil, dendam dan pemarah. Ia akan
menjadi seorang pencinta dunia yang bekerja keras hanya untuk dunianya.
Orang seperti itu selalu dibelenggu oleh kecintaan kepada dunia hingga
takut berjuang dan berjihad untuk agama
ALLAH serta untuk kehidupan
akhirat yang kekal abadi.
Orang yang tidak berhakikat,
sekalipun melakukan ibadah shalat, puasa, dan banyak membaca Al Quran
serta gigih berjuang adalah orang yang kurang berakhlak dengan
ALLAH dan
kurang berakhlak dengan manusia.
Kurangnya amalan batin
dapat menyebabkan orang-orang yang tidak berhakikat itu biasanya mati
dalam dosa yang tidak sadar. Mungkin dosa karena buruk sangka dengan
ALLAH, putus asa dengan ketentuan
ALLAH, tidak ridla dengan takdir
ALLAH
atau dosa karena merasa bahwa amalannya lah yang akan menyelamatkan
dirinya dari neraka
ALLAH.
Rasa riya’, ujub atau merasa
diri bersih itu pun adalah dosa batin. Dosa batin, tak seorang pun yang
dapat melihatnya, bahkan diri sendiri pun tidak dapat merasakannya.
Hanya orang yang mempunyai basirah (pandangan hati yang tembus) saja
yang dapat mengetahuinya.
Nanti, bila
ALLAH bukakan segala kesalahan (dosa-dosa batin itu) di akhirat, barulah manusia akan terkejut dan tersentak.
Ulama tasawuf berkata:
“Biarlah
sedikit amalan beserta rasa takut pada
ALLAH, karena itu lebih baik
daripada banyak amalan tetapi tidak ada rasa takut dengan
ALLAH. Lebih
baik orang yang merasa berdosa dan bersalah dengan
ALLAH daripada orang
yang banyak amalan tetapi tidak rasa berdosa pada
ALLAH bahkan dia
merasa telah cukup dengan amalan itu.”
Firman
ALLAH :
Terjemahannya
: Hari kiamat ialah hari dimana harta dan anak-anak tidak dapat memberi
manfaat, kecuali mereka yang menghadap
ALLAH membawa hati yang selamat
sejahtera.(Asy Syuara: 88-89)
Hati yang selamat sejahtera
ialah hati orang bertaqwa yang berisi iman, yakin, ikhlas, redha, sabar,
syukur, tawakal, takut, harap dan lain-lain rasa hati dengan
ALLAH SWT.
Hati yang senantiasa merasa sehat dalam kesakitan, kaya dalam
kemiskinan, ramai dalam kesendirian, lapang dalam kesempitan dan
terhibur dalam kesusahan. Ia bersikap redha dengan apa saja pemberian
Tuhan-Nya.
Untuk memperoleh hati yang seperti itu, kita
mesti bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu untuk melakukan amalan lahir
dan batin (syariat dan hakikat). Kedua-duanya akan saling mengawal
untuk mengangkat kita ke taraf taqwa.
Syariat dan hakikat
akan mendidik dan memimpin kita menjadi seorang insan kamil yang mampu
memenuhi keinginan dan keperluan fitrah murni manusia secara suci lagi
mulia. Orang seperti itulah yang
ALLAH maksudkan sebagai golongan As
Siddiqin atau golongan Al ‘Arifin. Sifat mereka
ALLAH uraikan dalam
Surah Al Furqaan ayat 63-74:
Terjemahannya : “Dan
hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang (hamba-hamba yang baik) itu ialah
mereka yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila
orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan. Dan mereka yang melalui malam hari dengan
bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (orang-orang yang melakukan
shalat tahajjud di malam hari semata-mata karena
ALLAH). Dan orang-orang
yang berkata, “Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab jahannam dari kami.
Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.” Sesungguhnya
jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak
berlebih-lebihan dan tidak (pula) bakhil, dan adalah (perbelanjaan itu)
pertengahan. Dan mereka juga tidak mengharap (menyembah) yang lain di
samping
ALLAH dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
ALLAH (orang
Islam) kecuali yang dibenarkan syarak (pembunuh, penzina, murtad) dan
tidak juga berzina. Barang siapa yang melakukan yang demikian itu
niscaya dia akan menerima pembalasan dosanya. (Yakni) akan
dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia kekal dalam azab
itu dalam keadaan terhina. Kecuali mereka yang bertaubat, beriman dan
mengerjakan amal soleh, kejahatan mereka
ALLAH gantikan dengan
kebajikan. Dan
ALLAH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang
yang bertaubat dan mengerjakan amal soleh maka sesungguhnya mereka
bertaubat kepada
ALLAH dengan taubat yang sebenar-benarnya. Dan
orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan
mereka tidak menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. Dan
orang-orang yang sering berdoa, “Ya Tuhan kami anugerahkanlah kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Merekalah
orang-orang bertaqwa yang akan memperoleh ketenangan hidup di dunia dan
di akhirat. Mereka adalah tempat untuk kita mempelajari dan mencontoh
kehidupan yang aman dan bahagia. Suasana seperti itu pernah terjadi,
yaitu dalam kehidupan salafussoleh. Mereka telah menjalani suatu
kehidupan, di mana mereka menerima dan mengamalkan sepenuhnya kehendak
syariat dan hakikat. Hasilnya, mereka (para salafussoleh) menjadi
orang-orang yang bahagia dan membahagiakan orang lain.
Sejarah
15 abad yang silam memberitahu kepada kita bahwa 3/4 dunia menjadi
tenang, aman dan damai di bawah pemerintahan mereka. Kawan maupun lawan
merasa selamat berada di dalam kekuasaan mereka. Demikianlah satu
kenyataan yang membuktikan bahwa sekiranya manusia patuh menjalani
syariat lahir dan batin, maka selamat dan berbahagialah mereka di dunia
dan di akhirat.
ALLAH berfirman :
Terjemahannya
: “Dan
ALLAH telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan yang
mengerjakan amal soleh di antara kamu bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dia akan menegakkan bagi mereka
agama yang telah diredhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka sesudah berada dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu
apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang ingkar sesudah (janji) itu, maka
mereka itulah orang-orang fasik.” (QS An Nur [24] : 55 ) .