Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena
orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat setelah melaksanakan
shalat empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat
malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan.
Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan
Ramadhan. (Lihat
Al Jaami’ li Ahkamish Sholah, 3/63 dan
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9630)
Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan
shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan
shalat tahajjud menurut mayoritas pakar
fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja. (
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9630)
Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah
(dianjurkan). Bahkan menurut Ahnaf, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum
shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini
dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah
satu syi’ar Islam. (
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9631)
Keutamaan Shalat Tarawih
Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”
(HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan
adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi. (
Syarh Muslim, 3/101)
Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena
iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya. (
Fathul Bari, 6/290)
Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa
mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits,
sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan
bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa
kecil. (Lihat
Fathul Bari, 6/290)
Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh.
Dari Abu Dzar, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan
keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan
bahwa hadits ini shahih). Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar
kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti
imam hingga selesai.
Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.
Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat
sunnah
adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena
shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat
yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi
shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan
dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana)
kemudian shalat tarawih.
(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9633)
Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha,
“Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?” ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah
jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam
shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan,
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan
Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya,
kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami
terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami
menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku
khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat
Shalat At Tarawih, hal. 21)
As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga
hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan
Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan
jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan
bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat
beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya.
Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang
tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.”
Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.” (
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu
adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak
lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah
ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya.
Wallahu a’lam.” (
Fathul Bari, 6/295)
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan
Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.
‘Aisyah mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan
Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
“Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari (4/123,
Asy Syamilah)
Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Raka’at?
Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak
memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat
nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa
saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh
mengerjakan banyak.” (
At Tamhid, 21/70)
Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.
Pertama, sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu shubuh, lakukanlah shalat witir satu raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim no. 489)
Ketiga, sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah
melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu
kesalahanmu.” (HR. Muslim no. 488)
Dari dalil-dalil di atas menunjukkan beberapa hal:
Keempat, Pilihan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.
Alasan pertama, perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam
ilmu ushul.
Alasan kedua, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
melarang menambah lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih
dari 13 raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at
yang panjang. …Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan
Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.” (
Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Alasan ketiga, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11
raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan
memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak
ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah
tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di
atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum
tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada
pertentangan.
Kelima, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama.
Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua
puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun
dengan bacaan yang ringan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan
manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak
20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun
ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at
yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum
daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.” (
Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Keenam, telah terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar bin Al Khottob
pernah mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat tarawih, Ubay bin
Ka’ab dan Tamim Ad Daari ditunjuk sebagai imam. Ketika itu mereka
melakukan shalat tarawih sebanyak 21 raka’at. Mereka membaca dalam
shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya berakhir ketika mendekati
waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no. 7730, Ibnul Ja’di no.
2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 1/416)
Begitu juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mereka melakukan
shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. Dari As Saa-ib bin Yazid, beliau
mengatakan bahwa ‘Umar bin Al Khottob memerintah Ubay bin Ka’ab dan
Tamim Ad Daariy untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at.
As Saa-ib mengatakan,
“Imam membaca ratusan ayat, sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena saking lamanya. Kami selesai hampir shubuh.” (HR. Malik dalam
Al Muqatho’, 1/137, no. 248. Sanadnya shahih. Lihat
Shahih Fiqih Sunnah 1/418)
Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau
Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk
witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok,
Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan
sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para
sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “‘Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab
radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.
Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun
yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan
para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi
amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di
berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang
dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’
atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah
banyak.” (Lihat
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk
witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat
Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih.
(Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)
Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk
witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad
shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam
Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa
batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat
Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana
dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di
atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan
berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama
adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah.
Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang,
maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah
dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at
yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah
yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak
ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara
jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun
seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu
juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para
ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan
ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (
Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim
bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak
tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah
shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena
mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at
atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.
Orang yang keluar dari jama’ah sebelum imam menutup shalatnya dengan
witir juga telah meninggalkan pahala yang sangat besar. Karena jama’ah
yang mengerjakan shalat bersama imam hingga imam selesai –baik imam
melaksanakan 11 atau 23 raka’at- akan memperoleh pahala shalat seperti
shalat semalam penuh.
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam
Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.
Yang Paling Bagus adalah yang Panjang Bacaannya
Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan
shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak
lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan
berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas
ulama.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat
mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar –rahimahullah-
membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab
“Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan
ikhtishor (
mukhtashiron) dalam
hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat
Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3,
Asy Syamilah)
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan
kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas.
Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai
dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat
tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan
kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Salam Setiap Dua Raka’at
Para pakar
fiqih
berpendapat bahwa shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua
raka’at. Karena tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam
dilakukan dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Dasarnya
adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama-ulama Malikiyah mengatakan, “Dianjurkan bagi yang melaksanakan
shalat tarawih
untuk melakukan salam setiap dua raka’at dan dimakruhkan mengakhirkan
salam hingga empat raka’at. … Yang lebih utama adalah salam setelah dua
raka’at.” (Lihat
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9640)
Istirahat Tiap Selesai Empat Raka’at
Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap
melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun
temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak
istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a
tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam
madzhab Hambali. (Lihat
Al Inshof, 3/117)
Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4
raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.
Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah
tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.” (HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738)
Sebagai catatan penting, tidaklah disyariatkan membaca dzikir-dzikir
tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat setiap melakukan empat
raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan sebagian muslimin
di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui bahwa hal ini
tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam. (Lihat
Shahih Fiqih Sunnah, 1/420)
Ulama-ulama Hambali mengatakan, “Tidak mengapa jika istirahat setiap
melaksanakan empat raka’at shalat tarawih ditinggalkan. Dan tidak
dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu istirahat tersebut
karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.” (Lihat
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9639)
Surat yang Dibaca Ketika Shalat Tarawih
Tidak ada riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam
dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar
meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang
panjang-panjang, maka itu lebih baik berdasarkan riwayat-riwayat yang
telah kami sebutkan.
Ada anjuran dari sebagian ulama semacam ulama Hanafiyah dan Hambali untuk mengkhatamkan Al Qur’an di bulan
Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat mendengar seluruh Al Qur’an ketika melaksanakan shalat tarawih.
Kesalahan-Kesalahan Dalam Shalat Tarawih
- Menyeru Jama’ah dengan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Ulama-ulama hanabilah berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9634)
- Dzikir Jama’ah dengan Dikomandoi. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah
tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat mengatakan, “Tidak
diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi
yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa
dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189).
- Bubar Sebelum Imam Selesai Shalat Malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang shalat (malam) bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis untuknya pahala melaksanakan shalat satu malam penuh.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi, Shahih). Jika seseorang bubar terlebih dahulu
sebelum imam selesai, maka dia akan kehilangan pahala yang disebutkan
dalam hadits ini. Jika imam
melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya
ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.
Demikian sedikit pembahasan kami seputar shalat tarawih. Semoga Allah memberi taufik kepada kita agar dapat menghidupkan malam
Ramadhan dengan
shalat tarawih dan amalan lainnya.
Wa shallaatu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Alhamdulillahi robbil ‘alamin.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.com)
Dipublikasikan oleh Renungan