Diposkan kembali oleh Blog RENUNGAN pada Jum'at, 07 Juni 2013 | 07.45 WITA
“Menikah itu menyatukan beberapa kran rezeki, maka jangan takut melangkah”
Apa yang salah dengan keputusanku? Aku merasa sudah cukup bekal untuk
menapaki kehidupan baru yang jauh lebih bertenaga. Bukan sekedar
menikmati suasana damai di pantai, tapi derasnya gulungan ombak samudra,
badai, juga mesti aku rasakan, untuk membuatku setegar karang yang
terbenam di dasar pulau.
Dua puluh lima tahun menjadi usia paling pas untuk menikah. Jika sudah
ada niat, maka langkah apalagi yang harus menghalangi? Bekal berlayar
sudah aku persiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Sudah tiga kali seminar
pranikah aku ikuti. Tekadku, aku tak mau ikut seminar bertema sama untuk
ketiga kalinya, kecuali aku tampil sebagai pembicara, dan bukan sebagai
peserta lagi.
Kurang apalagi? usia sudah sangat cukup, maisyah sudah ada, mau kapan
lagi akan punya ‘Aisyah’? Sudah sedemikian banyak amanah aku dapatkan,
apalah lagi yang menghalangiku untuk memiliki ‘Aminah?’ Namun keinginan
itu tak semulus apa yang aku impikan. Ada sedikit kerikil di tengah
jalan yang perlu aku bersihkan baik-baik. Keputusan untuk menikah
dianggap terlalu dini dan mendapat tanggapan dingin dan terkesan
meremehkan dari banyak pihak termasuk sebagian besar keluargaku. Mereka
menganggap aku belum mapan, hanya melihat karena pekerjaanku sebagai
guru, swasta lagi.
“Mapankan dulu karir, baru menikah,”
“Kamu sudah yakin, mau menikah?”
“Menikah itu memelihara anak orang lho, nggak sembarangan,”
“Apa nggak kasihan sama ibu kamu yang pontang-panting cari duit buat bayar hutang dan juga sekolah adik-adikmu?”
Begitu komentar sebagian besar yang sampai di telingaku. Selain karena
masih banyak tanggungan, aku masih dianggap sebagai anak yang diandalkan
untuk menyetabilkan roda perekonomian keluarga. Beberapa diantaranya
membantu menopang kebutuhan keluarga di rumah, mulai dari memasok uang
saku adik-adik, bayar listrik, kebutuhan rumah lainnya, dan yang paling
terasa adalah membiayai adikku ketika pertama masuk kuliah.
Sehingga kalau menikah, menurut kesimpulan mereka, otomatis akan
menambah beban tanggungan biaya yang harus aku keluarkan. Apalagi usaha
bapakku semakin kesini, semakin lesu. Penghasilannya tak semaju dulu.
Mungkin karena tergerus saingan usaha sejenis yang sudah sedemikian
menjamur, ditambah lagi usaha bapakku kurang terobosan. Sehingga sebagai
anak pertama, aku turut merasakan pula menjadi kepala keluarga kedua
setelah bapakku. Permintaanku hanyalah satu, “Allah, mudahkan aku
memperoleh rezeki-Mu, mudahkanlah jodohku. Hadirkan keduanya dengan cara
yang tak terduga.”
***
“Mau nggak aku kenalin. Ada seorang akhwat, salehah, cantik, dan siap
nikah. Khitbah segera jika tak ingin ada orang lain mengkhitbahnya.”
Hanya dalam hitungan hari setelah mengajukan permintaan itu, datang
sebuah SMS itu.
Yang mengejutkan, pengirim SMS tersebut, perangainya kurang meyakinkan
untuk menjadi mak comblang, lantaran masih kekanak-kanakkan. Aku sempat
cuek dan tidak mau ambil pusing. Tapi sms-sms berikutnya terus
berdatangan, yang isinya semakin hari semakin provokatif. Dia
menyarankan agar aku segera berbuat sesuatu. Entah mengapa dada aku
bergetar seperti membentuk getaran yang menyelusup relung jiwa tanpa
permisi. Ia berhasil membuatku penasaran!
Di sebuah acara Seminar Pra Nikah, sang provokator itu memfasilitasi
kami untuk bertemu. Ini berarti seminar pranikah yang ketiga kalinya.
Prediksiku meleset lagi. Huh, aku sendiri heran, momen ini bisa pas
mengupas masalah nikah. Ini berarti, untuk ketiga kalinya aku mengikuti
seminar bertema sama. Keinginanku untuk stop mengikuti acara semacam ini
belum terturutkan. Aku harap itu adalah seminar pranikah terakhir yang
aku ikuti.
Kawan, jangan bayangkan pertemuan itu seperti dalam sinetron-sinetron.
Bisa saling tatap dalam jarak yang amat dekat, diwarnai perasaan salah
tingkah, lalu saling mengulurkan tangan, bersalaman, genggaman erat
tangan tak lepas-lepas, dan baru mulai bicara saat disenggol lengannya
oleh temannya, karena asyik terlena menggenggam dan menatap wajahnya.
Aku tidak senaif itu.
Sesuai rencana, aku berkesempatan melihatnya di akhir acara. Yang aku
alami tatkala itu adalah aku sempat menatap sekilas dari jarak sekitar
50 meter. Pertemuan itu pun hanya sekelebatan saja. Hanya dalam hitungan
detik, karena saat itu hendak shalat dzuhur dan dia tampak buru-buru
mau pulang. Entah, setelah pertemuan kilat itu, hati mendadak seperti
magnet yang mengarah padanya: dialah muslimah yang akan menjadi istriku!
Keyakinan itu begitu saja tumbuh. Entah datang dari mana, padahal
melihat wajahnya saja hanya samar-samar. Lantaran sudah sedemikian
yakin, pada kesempatan lain, aku mengusulkan untuk saling bertukar
biodata, untuk kemudian berlanjut pada tahapan taaruf, khitbah, lalu
nikah.
“Ternyata kau masih muda..” begitu komentarnya saat prosesi taaruf.
Fakta baru yang mengejutkan, usianya terpaut 3 tahun di atasku. Aku 25
tahun, sementara ia 28. Dalam hati sempat bertanya-tanya, apakah
perbedaan usia akan dipermasalahkan? Mudah-mudahan tidak. Rasulullah Saw
saja menikah dengan Khadijah r.a yang usianya terpaut 15 tahun. Berarti
perbedaan usiaku dengannya belum apa-apa. “Tapi kau kelihatan dewasa,”
lanjutnya lagi.
“Apa keberatan jika menikah dengan yang lebih muda usianya?” tanyaku menyelidik berlagak seperti detektif.
“Bagiku tidak masalah, asal berpikiran dewasa dan siap memimpin
keluarga. Dan yang paling penting siap membimbingku meraih surga,”
jawabnya mantap. Jika jawabannya sudah begitu, maka nikmat Allah yang
manakah yang akan kau dustakan?
Saat kami saling bersepakat untuk menikah, diam-diam terdengar kabar,
ada seseorang yang menyesalkan melihat prosesi taaruf kami yang
berlangsung sedemikian cepat. Menyesal lantaran ia keduluan temannya
‘yang kurang meyakinkan itu’ untuk menjadi mak comblang, menjodohkan
kami. Diam-diam ternyata beberapa temanku merencanakan sesuatu yang
sedemikian indah! Alhamdulilah berhasil.
***
Begitu mendengar dia meminta mahar buku tafsir fi dzilalil qur’an karya
Sayyid Qutub sebagai mahar, langsung aku memesannya. Padahal saat itu
aku sama sekali tak punya uang. Modalku hanya niat. Tanpa aku duga,
begitu pesanan sampai, pada hari itu juga aku mendapat buku rekening
lewat sekolah yang nominalnya satu setengah juta, dan langsung bisa
dicairkan keesokannya. Aku pun langsung mengalokasikannya untuk membayar
buku tafsir pesanan itu.
Belakangan menjelang pernikahan, calon istriku menyarankan lagi
sebaiknya mahar ada yang berupa harta, entah berupa uang atau perhiasan.
Mengingat itu penting, aku menyanggupi meski saat itu aku tak punya
uang sama sekali. Di dompet hanya tinggal beberapa lembar ribuan. Ingin
memberikan mahar perhiasan, tapi perhiasan itu belum di tangan, karena
belum bisa aku pastikan. Maka aku memutuskan untuk memberikan tambahan
mahar berupa uang sebesar satu juta rupiah. Gajiku saja jumlahnya segitu
kurang sedikit. Pos itu rencananya akan aku ambil pada gajiku di bulan
depan, bulan saat pernikahanku berlangsung. Mungkin aku akan minta
gajian lebih dulu dari tanggal yang sudah ditentukan. Selebihnya berdoa
sekuat tenaga untuk mendapatkan celah rezeki yang datangnya tak terduga.
***
“Sudah lengkap semua yang mau dibawa saat seserahan?” tanya nenekku.
“Kalau perabotan, Insyaallah sudah semua.”
“Bagaimana dengan perhiasan?”
Aku tercekat mendapat pertanyaan itu. Saldo tabunganku sudah menipis.
Sebagian besar habis untuk membeli perlengkapan seserahan yang dianggap
prioritas, juga untuk biaya yang sifatnya administratif. Barang-barang
yang mau dibawa saat seserahan pun tidak sekaligus dibeli, melainkan
menyicil setiap bulannya. Dari penghasilan yang aku peroleh, aku
menyicil membeli perabotan. Bulan pertama membeli termos, rantang. Bulan
kedua membeli rice cooker, bulan ketiga piring, gelas, sendok dan
garpu, bulan keempat baju-baju, bulan kelima kompor, dan sebagainya.
Hasil menyisihkan tiap bulan, nyaris tak ada alokasi untuk membeli emas,
karena minimnya dana.
Tentang emas itu, kepikiran jelas saja. Kata nenekku, paling tidak lima
gram dibawa pada saat seserahan. Malu kalau tak bawa, katanya.
Allah… dari mana aku harus dapatkan emas itu? Apakah itu harus? Aku
belum ada uang untuk beli perhiasan. Sementara tabunganku di rekening…
oh, seratus ribu pun tak sampai.
Saat melamarnya aku hanya bisa membeli sebutir cincin. Kesempatan yang
sama saat membeli tafsir sebagai mahar, terulang lagi. Yakni mendapat
mendapat uang satu setengah juta tanpa harus lelah mencari, yang setelah
aku ketahui ternyata itu adalah tunjangan fungsional yang cairnya
selama setengah semester sekali. Alhamdulilah….
Aku sebenarnya tak mempermasalahkan, jika tak bawa seserahan tanpa emas.
Aku sudah sampaikan ini pada calon istriku, sudah aku sampaikan juga
bagaimana kondisi keluargaku yang berasal dari keluarga sederhana.
Ayahku hanya seorang pedagang di perantauan. Ibuku penjual nasi bungkus
sarapan di pagi hari, dan keliling jualan gorengan di sore hari.
Sementara aku, seorang guru, swasta pula. Penghasilanku tak seperti
kebanyakan para pemuda seusia aku yang kebanyakan merantau berdagang
martabak, dan bisa memberikan emas bergram-gram dengan barang seserahan
super lengkap saat menikah.
Ah, aku tak perlu pesimis menghadapi hal ini. Jika Allah sudah
berkehendak, tak ada yang tak mungkin bagi Allah. Waktu pelaksanaan
tinggal beberapa hari lagi. Masih ada kesempatan meminta. Allah…
berikanlah kemudahan kepadaku untuk mendapatkan rezeki yang tak terduga.
Bukalah celah rezeki yang melimpah itu untukku. Jadikan aku sebagai
salah satu orang yang mendapatkan rezeki tak terduga menjelang
pernikahanku…
***
Begitu waktu gajian, aku terkejut karena aku menerimanya utuh, tanpa ada
potongan untuk angsuran netbook sebesar dua ratus duapuluh ribu. Saat
aku konfirmasi, ternyata sudah lunas bulan kemarin. Dengan hati yang
berbunga-bunga, aku melanjutkan perjalanan ke bank untuk membayar
angsuran. Sesampai di sana, aku juga heran sendiri, petugas kasirnya
bilang kepada aku,
“Selamat, siang Pak. Ada yang bisa dibantu?”
“Iya, Mbak. Aku mau bayar angsuran pinjaman bulan ini.”
“Mohon ditunggu sebentar, pak.”
“Baik.”
“Mohon maaf bapak. Angsuran pinjaman bapak, sudah lunas bulan kemarin,”
Aku melongo dengan kekhilafan aku yang sedemikian akut. Satu hal yang
baru aku sadari menjelang pernikahan, ternyata aku sudah melunasi
angsuran pinjaman yang setiap bulannya hampir menguras separuh dari
tabunganku selama satu setengah tahun. Aku sendiri lupa, ternyata,
kemarin adalah bulan terakhir melunasi pinjaman bank yang selama setahun
berjalan. Lunas pula angsuran netbook yang ternyata tanpa terasa sudah
ke angsuran terakhir juga di bulan yang sama. Tapi setelah
dipikir-pikir, keren juga kalau punya penyakit lupa model kayak gini.
Terima kasih, Allah…
***
Aku sangat yakin Allah akan mem-back up semua keperluan pernikahanku
dari proses awal sampai akhir. Inilah doaku. Semoga ayah, ibu, kakek
nenek dan juga semua saudara-saudara aku turut memanjatkan doa yang
sama, pada kesempatan yang sama sehingga Allah meluluskan permintaanku.
Menjelang hari bersejarah itu, kenikmatan besar hampir setiap hari aku
peroleh. Aku seolah dimudahkan bangun pagi sebelum subuh. Kesempatan itu
aku manfaatkan untuk tahajud. Aku percaya, Allah tak perhitungan
memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Subhanallah… sejak memanjatkan doa agar diberikan rezeki tak terduga,
setiap harinya aliran rezeki mengalir begitu derasnya. Ada yang
memberiku uang 450 ribu secara tiba-tiba. Hari berikutnya aku mendapat
proyek mengedit 3 cerpen yang tak lebih dari dua halaman untuk
masing-masing satu judulnya, lumayan dapat 50 ribu. Sebagian uang itu
aku infakkan pada hari itu juga. Dan langsung mendapat ganti pada hari
itu juga 14 kali lipat keesokannya.
Hari berikut dapat honor menulis rilis di koran 70 ribu. Pada saat yang
hampir bersamaan, bibiku yang kini berada di Manado, mentransfer uang
dua juta rupiah, untuk membantu biaya pernikahanku karena tak bisa
pulang. Keesokannya giliran bibiku yang di Cianjur mentransfer satu juta
ke rekening. Dan ini diluar perkiraanku, diam-diam kakekku membelikan
emas untuk calon istriku.
***
Perasaan haru sesaat sebelum akad nikah, adalah perasaan yang berkecamuk
saat aku sudah dijemput untuk melangsungkan ijab kabul. Ada perasaan
tak tega, saat harus pisah dari orang tua. Aku begitu tak tega melihat
air mata ibu yang menetes perlahan.
“Jadilah suami yang baik,” pesannya sambil memelukku erat. Tahukah kau,
perasaan kehilangan yang begitu sangat pada saat itu? Saat aku sudah
menikah nanti, aku akan kehilangan satu kesempatan indah setiap pagi,
karena tak bisa lagi mengantar ibu ke pasar, berbarengan saat aku
berangkat mengajar.
“Nggak usah khawatir, Mama bisa berangkat sendiri ke pasar,” ujarnya
sambil menghapus air mata yang menetes di pipiku. Ibuku seakan sudah
bisa membaca apa yang ada dalam pikiranku.
“Sudah, sudah.. nanti kalau nangis terus, gagahnya hilang.” Ibu
menguatkanku. Meyakinkanku. Aku mengusap basah yang menetes dipipiku
sambil tersenyum.
Sekarang aku sudah tenang. Tak hanya mendapat istri salehah, cantik, dan
menyejukkan pandangan, tapi yang patut disyukuri adalah kekhawatiran
orang-orang yang menganggapku nekad hilang seiring dimudahkannya jalan
menuju proses pernikahan. Semua keluarga, dan tetangga ikut membantu
menyukseskan pernikahanku. Semua beban yang awalnya seperti batu
menindih pundak tiba-tiba terasa seringan kapas. []
Penulis :
Ali Irfan
Penulis B'right Teacher
Guru Sekolah Islam Terpadu MI Luqman Al Hakim Slawi Kabupaten Tegal