Minggu, 13 Oktober 2013

Tasbih, bid’ahkah?

Pengantar
Pembicaraan bahkan fitnah terkait masalah ini sangatlah meresahkan, bagaimana tidak. Sejatinya hal ini merupakan wilayah furu yang selayaknya hanya dibicarakan dalam tataran pencarian terhadap kebenaran lewat diskusi-diskusi hangat yang konstruktif.
Namun harapan-harapan tersebut pupus lewat mulut-mulut sembrono yang dengan mudahnya mengklaim sesuatu dan memaksakan klaim tersebut kepada orang awam yang bermodal kehanifan dan taqlid dalam beragama. Akibatnya nafsu ammarah menguasai mereka lalu terjadilah caci maki yang disebabkan pemahaman yang keliru dan kurang menyeluruh terhadap pendapat para ulama mengenai hal tersebut.
Masalah apakah itu? Biji tasbih!
Yah, pengetahuan yang keliru dan atau tidak menyeluruh serta taqlid buta menyebabkan caci maki terkait perdebatan seputar hukum syar’i menggunakan tasbih untuk berdzikir kepada Allah Subahanahu Wataala.
Sebagai blog yang memaparkan tentang biografi dan sikap serta fatwa Ibnu Taimiyah, maka saya mencoba untuk mengulas pendapat beliau yang begitu wasath dalam masalah ini.
Semoga tulisan ini menjadi pemberat dalam timbangan amal baik serta amal jariyah bagi pemilik dan pengelola blog ini. Amin.
Perselisihan tentang Tasbih
Para ulama berselisih menjadi 3 pendapat besar tentang penggunaan tasbi untuk berdzikir.
Pertama, Sebagian ulama membolehkannya. Inilah pendapat yang Umum
Berkata Ibnu Nujaim Al Hanafi dalam kitab al Bahri al Râiq sebagai komentar terhadap Hadits Nabi tentang berdzikir dengan biji-biji tasbih:
قَوْلُهُ لَا بَأْسَ بِاِتِّخَاذِ الْمِسْبَحَةِ ) بِكَسْرِ الْمِيمِ : آلَةُ التَّسْبِيحِ ، وَاَلَّذِي فِي الْبَحْرِ وَالْحِلْيَةِ وَالْخَزَائِنِ بِدُونِ مِيمٍ )
قَالَ فِي الْمِصْبَاحِ : السُّبْحَةُ خَرَزَاتٌ مَنْظُومَةٌ ، وَهُوَ يُقْتَضَى كَوْنَهَا عَرَبِيَّةً
وَقَالَ الْأَزْهَرِيُّ : كَلِمَةٌ مُوَلَّدَةٌ ، وَجَمْعُهَا مِثْلُ غُرْفَةٍ وَغُرَفٍ.ا هـ
وَالْمَشْهُورُ شَرْعًا إطْلَاقُ السُّبْحَةِ بِالضَّمِّ عَلَى النَّافِلَةِ
قَالَ فِي الْمُغْرِبِ : لِأَنَّهُ يُسَبَّحُ فِيهَا
وَدَلِيلُ الْجَوَازِ مَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيحَ الْإِسْنَادِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ { أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ : أُخْبِرُك بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْك مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ : سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ ؛ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَاَللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ مِثْل ذَلِكَ ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ } : فَلَمْ يَنْهَهَا عَنْ ذَلِكَ .
وَإِنَّمَا أَرْشَدَهَا إلَى مَا هُوَ أَيْسَرُ وَأَفْضَلُ وَلَوْ كَانَ مَكْرُوهًا لَبَيَّنَ لَهَا ذَلِكَ ، وَلَا يَزِيدُ السُّبْحَةُ عَلَى مَضْمُونِ هَذَا الْحَدِيثِ إلَّا بِضَمِّ النَّوَى فِي خَيْطٍ ، وَمِثْلُ ذَلِكَ لَا يَظْهَرُ تَأْثِيرُهُ فِي الْمَنْعِ ، فَلَا جَرَمَ أَنْ نُقِلَ اتِّخَاذُهَا وَالْعَمَلُ بِهَا عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ الصُّوفِيَّةِ الْأَخْيَارِ وَغَيْرِهِمْ ؛ اللَّهُمَّ إلَّا إذَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ فَلَا كَلَامَ لَنَا فِيهِ
(Ucapannya: tidak mengapa menggunakan misbahah) dengan huruf mim dikasrahkan adalah alat untuk bertasbih, ada pun yang tertulis dalam Al Bahr, Al Hilyah, dan Al Khazain adalah tanpa mim. Disebutkan dalam Al Mishbah: “Subhah adalah manik-manik yang terangkai, kata ini menunjukkan bahwa ia adalah bahasa arab asli. Al Azhari berkata: “Itu adalah kata yang muwalladah (tidak asli Arab), bentuk jamaknya seperti ghurfah dan ghuraf.
Yang masyhur secara syariat adalah penggunaaan subhah ini terdapat pada shalat sunnah. Disebutkan dalam Al Maghrib: “karena dia bertasbih padanya.”
Ada pun dalil kebolehannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, dia berkata: shahih sanadnya.
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ
“Bahwa dia (Sa’ad) bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wanita, dan dihadapan wnaita itu terdapat biji-bijian atau kerikil. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Maukah kau aku beritahu dengan yang lebih mudah bagimu dari ini atau lebih utama? (Lalu nabi menyebutkan macam-macam dzikir yang tertulis dalam teks di atas ..)[1]
Lalu katanya: “Nabi tidak melarangnya. Beliau hanyalah menunjukkan cara yang lebih mudah dan utama, seandainya makruh tentu Beliau akan menjelaskan hal itu kepada wanita tersebut. Dari kandungan hadits ini, kita  dapat memahami bahwa subhah  tidak lebih dari kumpulan bijian yang dirangkai dengan benang. Masalah seperti ini tidak berdampak pada pelarangan. Maka, bukan pula kesalahan jika ikut menggunakannya sebagaimana sekelompok kaum sufi yang baik dan selain mereka. Kecuali jika didalamnya tercampur muatan riya dan sum’ah, tetapi kami tidak membahas hal ini.[2]
Al Imâm al Syaukânî membahas hadits-hadits terkait biji-bijian tasbih dan berkomentar sebagai berikut
بأن الأنامل مسئولات مستنطقات يعني أنهن يشهدن بذلك فكان عقدهن بالتسبيح من هذه الحيثية أولى من السبحة والحصى . والحديثان الآخران يدلان على جواز عد التسبيح بالنوى والحصى وكذا بالسبحة لعدم الفارق لتقريره صلى اللَّه عليه وآله وسلم للمرأتين على ذلك . وعدم إنكاره والإرشاد إلى ما هو أفضل لا ينافي الجواز
“ … sesungguhnya ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi saksi hal itu. Maka, menghimpun (menghitung) tasbih dengan jari adalah lebih utama dibanding dengan untaian biji tasbih dan kerikil. Dua hadits yang lainnya, menunjukkan bolehnya menghitung tasbih dengan biji, kerikil, dan juga dengan untaian biji tasbih karena tidak ada bedanya, dan ini perbuatan yang ditaqrirkan (didiamkan/disetujui) oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap dua wanita tersebut atas perbuatan itu. Dan, hal yang menunjukkan dan mengarahkan kepada hukum yang lebih utama tidak berarti menghilangkan hukum boleh.” [3]
Syaikh Abu al ‘Ala Muhammad Abdurrahmân bin Abdurrahîm Al Mubârakfûri Rahimahullah Beliau menerangkan dalam Tuhfah al Ahwâdzi, ketika menjelaskan hadits Ibnu Amr dan Yusairah binti Yasir, sebagai berikut:
وَفِي الْحَدِيثِ مَشْرُوعِيَّةُ عَقْدِ التَّسْبِيحِ بِالْأَنَامِلِ وَعَلَّلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ يَسِيرَةَ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ التِّرْمِذِيُّ بِأَنَّ الْأَنَامِلَ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ يَعْنِي أَنَّهُنَّ يَشْهَدْنَ بِذَلِكَ ، فَكَانَ عَقْدُهُنَّ بِالتَّسْبِيحِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ أَوْلَى مِنْ السُّبْحَةِ وَالْحَصَى ، وَيَدُلُّ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى حَدِيثُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى اِمْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ الْحَدِيثَ ، وَحَدِيثُ صَفِيَّةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا الْحَدِيثَ .
“Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bertasbih menggunakan ujung jari jemari, alasan hal ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Yusairah yang diisyaratkan oleh At Tirmidzi bahwa ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi saksi hal itu. Dalam hal ini, menghitung tasbih dengan menggunakan ujung jari adalah lebih utama dibanding dengan subhah (untaian biji tasbih) dan kerikil.  Dalil yang menunjukkan kebolehan menghitung tasbih dengan kerikil dan biji-bijian adalah hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa beliau bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wanita yang dihadapannya terdapat biji-biji atau kerikil yang digunakannya  untuk bertasbih (Al Hadits). Dan juga hadits Shafiyah bin Huyai, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuiku dan dihadapanku ada 4000 biji-bijian yang aku gunakan untuk bertasbih. (Al Hadits).” [4]
Syaikh Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz Al Hambali Rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang berdzikir setelah shalat menggunakan subhah, bid’ahkah?
Beliau menjawab:
المسبحة لا ينبغي فعلها ، تركها أولى وأحوط ، والتسبيح بالأصابع أفضل ، لكن يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو المسبحة أو النوى ، وتركها ذلك في بيته ، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض السلف يعمله ، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان ، والأفضل باليد اليمنى ، أما كونها في يده وفي المساجد فهذا لا ينبغي ، أقل الأحوال الكراهة
“Berzikir dengan subhah tidak patut dilakukan, meninggalkannya adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Tetapi boleh baginya kalau bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah (alat tasbih) atau biji-bijian dan meninggalkan  subhah tersebut dirumahnya,  agar manusia tidak mentaklidinya. Dahulu para salaf -pun melakukannya. Masalah ini  lapang, tetapi menggunakan jari adalah lebih utama pada setiap tempat, dan utamanya dengan tangan kanan. Ada pun membawanya  ditangan ke masjid, sepatutnya jangan dilakukan, minimal hal itu makruh.” [5]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hadits: ‘Setiap bid’ah adalah sesat’, artinya tidak ada bid’ah kecuali sesat dan tidak ada bid’ah yang baik, bahkan setiap bid’ah adalah sesat.
Pertanyaan: apakah tasbih dipandang sebagai bid’ah? Apakah ia termasuk bid’ah yang baik atau yang sesat?
Beliau menjawab: tasbih tidak termasuk bid’ah dalam agama, karena manusia tidak bertujuan beribadah kepada Allah swt dengannya. Tujuannya hanya untuk menghitung jumlah tasbih yang dibacanya, atau tahlil, atau tahmid, atau takbir. Maka ia termasuk sarana, bukan tujuan.
Akan tetapi yang lebih utama darinya adalah bahwa seseorang menghitung tasbih dengan jari jemarinya:
  • karena ia adalah petunjuk dari Nabi saw.[6]
  • Karena menghitung tasbih dan yang lainnya dengan alat tasbih bisa membawa kepada kelalaian. Sesungguhnya kita menyaksikan kebanyakan orang-orang yang menggunakan tasbih, mereka bertasbih sedangkan mata mereka menoleh ke sana ke sini, karena telah menjadikan jumlah tasbih menurut jumlah yang mereka inginkan dari tasbihnya atau tahlilnya atau tahmidnya atau takbirnya. Maka engkau mendapatkan mereka menghitung biji-bii tasbih ini dengan tangannya, sedangkan hatinya lupa sambil menoleh ke kanan dan kiri. Berbeda dengan orang yang menghitungnya dengan jemarinya, maka biasanya hal itu lebih menghadirkan hatinya.
  • Alasan ketiga: sesungguhnya menggunakan tasbih bisa membawa kepada riya. Sesungguhnya kita menemukan kebanyakan orang yang menyukai banyak bertasbih, menggantungkan di leher mereka tasbih yang panjang. Seolah-olah mereka berkata: lihatlah kepada kami, sesungguhnya kami bertasbih kepada Allah swt sejumlah bilangan ini. Aku meminta ampun kepada Allah swt dalam menuduh mereka seperti ini, akan tetapi dikhawatirkan terjadinya hal itu.
Tiga alasan ini menuntut manusia agar meninggalkan tasbih dengan biji tasbih ini dan hendaklah ia bertasbih kepada Allah swt dengan jari jemarinya.
Kemudian, sesungguhnya yang utama agar menghitung tasbih dengan jari tangan kanannya, karena Nabi saw menghitung tasbih dengan tangan kanannya, dan tanpa diragukan lagi yang kanan lebih baik dari pada yang kiri. Karena inilah yang kanan lebih diutamakan atas yang kiri. Nabi saw melarang seseorang makan atau minum dengan tangan kirinya dan menyuruh manusia makan dengan tangan kanannya. Nabi saw bersabda:
يَا غُلاَمُ, سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
Wahai gulam (anak kecil), bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah yang dekat denganmu.”[7]
Dan beliau saw bersabda:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِيْنِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
Apabila seseorang darimu makan maka hendaklah ia makan dengan tangan kanannya, dan apabila minum hendaklah ia minum dengan tangan kanannya. Sesungguhnya syetan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.”[8]
Tangan kanan lebih utama dengan tasbih daripada tangan kiri karena mengikuti sunnah dan mengambil dengan kanan. Dan Nabi saw menyukai yang kanan dalam memakai sendal, bersisir, bersuci dan dalam seluruh perkaranya. Atas dasar inilah, maka membaca tasbih dengan alat tasbih tidak termasuk bid’ah dalam agama, namun hanya sebagai sarana untuk mencatat hitungan. Ia merupakan sarana yang tidak utama, dan yang utama darinya adalah menghitung tasbih dengan jemarinya.[9]
Kedua, sebagian ulama menganggapnya Mustahab
Imam Muhammad Abdurrauf Al Munawi Rahimahullah menjelaskan dalam kitab Faidhul Qadir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, ketika menerangkan hadits Yusairah:
وهذا أصل في ندب السبحة المعروفة وكان ذلك معروفا بين الصحابة فقد أخرج عبد الله بن أحمد أن أبا هريرة كان له خيط فيه ألفا عقدة فلا ينام حتى يسبح به وفي حديث رواه الديلمي نعم المذكر السبحة لكن نقل المؤلف عن بعض معاصري الجلال البلقيني أنه نقل عن بعضهم أن عقد التسبيح بالأنامل أفضل لظاهر هذا الحديث
“Hadits ini merupakan dasar terhadap sunahnya subhah (untaian biji tasbih) yang sudah dikenal. Hal itu dikenal pada masa sahabat, Abdullah bin Ahmad telah meriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki benang yang memiliki seribu himpunan, beliau tidaklah tidur sampai dia bertasbih dengannya. Dalam riwayat Ad Dailami: “Sebaik-baiknya dzikir adalah subhah.” Tetapi mu’allif (yakni Imam As Suyuthi) mengutip dari sebagian ulama belakangan, Al Jalal Al Bulqini, dari sebagian mereka bahwa menghitung tasbih dengan jari jemari adalah lebih utama sesuai zhahir hadits.”[10]
Ketiga, Sebagian Ulama secara tegas melarang dan membid’ahkan penggunaan Tasbih untuk berdzikir.
Inilah yang masyhur dari pendapat al Imâm al Albâni dan murid-muridnya. Pendapat Ini juga didukung oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr. Bahkan syaikh Bakr Abu Zaid memiliki risalah khusus yang menegaskan larangan menggunakan biji-bijian tasbih dalam menghitung Dzikir.
Dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut:
  1. Hal itu menyalahi Sunnah dan tidak disyariatkan oleh Rasulullah bahkan bid’ah yang tidak memiliki asal dalam syariat sedangkan permasalah ibadah adalah Tauqifiyah oleh karena itu ibadah kepada Allah itu hanya boleh dilakukan jika ada syariatnya
  2. adanya riwayat ketidaksukaan Ibnu Mas’ud dan Sahabat lain terhadap hal tersebut. Ibnu Waddhah[11] berkata dalam kitabnya al Bid’u wan nahyu anha: Dari Ibrahim berkata : “Dahulu ‘Abdullah (Ibnu Mas’ud) membenci berdzikir dengan tasbih seraya bertanya : “Apakah kebaikan-kebaikannya telah diberikan kepada Allah?” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf No. 7667) dengan sanad shohih. Dari as-Shalt bin Bahram berkata : “Ibnu Mas’ud melewati seorang wanita yang berdzikir dengan tasbih, maka segera beliau potong tasbih lalu membuangnya. Kemudian beliau melewati seorang lai-laki berdzikir dengan kerikil, maka beliau menendangnya, kemudian berkata : “Sungguh kalian telah mendahului Rasulullah, kalian melakukan bid’ah dengan zhalim dan ilmu kalian telah melebihi ilmu Sahabat-Sahabat Muhammad.
Dalam Mushannaf Ibnu Abi syaibah disebutkan: telah menceritakan kepadaku yahya Bin Said al Qatthâni dari Al Taimi dari Abi Tamimiyah dari seorang perempuan bani Kulaib yang berkata bahwa ia dilihat oleh Aisyah sedang berdzikir dengan biji-biji tasbih, maka Aisayah berkata: Mana Syawahid? yang dimaksud adalah jari jemari.  Dari Atsar ini bisa dipahami bahwa Asiyah menegur perempuan tersebut dan menyuruhnya menggunakan jari, namun sayang dalam atsar ini ada rawi yang mubham
Pendapat Ibnu Taimiyah dan Tarjih
Ibnu Taimiyah memberi pendapat yang wasath dalam hal ini, beliau mengatakan[12]
وعد التسبيح بالأصابع سنة كما قال النبي للنساء سبحن واعقدن بالأصابع فإنهن مسؤولات مستنطقات
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضي الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبي أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به
وأما التسبيح بما يجعل في نظام من الخرز ونحوه فمن الناس من كرهه ومنهم من لم يكرهه , وإذا أحسنت فيه النية فهو حسن غير مكروه
“Menghitung tasbih dengan jari jemari adalah sunah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada kaum wanita: “Bertasbihlah dan menghitunglah dengan jari jemari, karena jari jemari itu akan ditanya dan diajak bicara.”
Adapun menghitung tasbih dengan biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan semisalnya, maka hal itu perbuatan baik (hasan). Dahulu sebagian sahabatpun (Radhiallahu ‘Anhum )ada yang memakainya dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melihat ummul mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil dan beliau menyetujuinya. Diriwayatkan pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengan batu-batu kecil tersebut
hukum menggunakan tasbih sebagai alat untuk berdzikir adalah boleh dan mubah bukan bid’ah, inilah yang masyhur dari pendapat para ulama dari 4 Mazhab dan juga ulama-ulama Salafi serta sesuai dengan kaidah bahwa asal sesuatu adalah Mubah selama tidak ada dalil yang melarang. Adapun jika ada kesan menganggapnya hasan maka hal tersebut adalah kelaziman dari hukum mubah yang diniatkan untuk kebaikan
Dalam matan zubad, Ibnu Ruslan berkata:
و خص ما يباح باستوى          الفعل والترك على السواء
لكن إذا نوى بأكله القوى         لطاعة الله به ما قد نوى
Dikhususkan kesamaan dalam hukum mubah baik meninggalkan maupun melakukan
Namun jika seseorang makan agar kuat dalam ketaatan kepada Allah, maka ia mendapatkan sesuai yang ia Niatkan.
Syaikh Muhammad bin sholih al Utsaimin menjelaskan ketika membahas tentang hukum Mubah dalam kitab al ushul min ilmil Ushul:
Seandainya ada kaitannya dengan perintah karena keberadaannya (yakni suatu yang mubah) sebagai wasilah terhadap hal yang diperintahkan, atau ada kaitannya dengan larangan karena keberadaannya sebagai wasilah terhadap hal yang dilarang, maka bagi hal yang mubah tersebut hukumnya sesuai dengan keadaan wasilah tersebut.
Adapun yang menyunahkan, maka hal tersebut keliru Karena tidak ada dalil khusus yang mengindikasikan hal tersebut, bahkan Rasulullah menyarankan agar menggantinya dengan menggunakan jemari.
Adapun yang mengharamkannya dengan dalil dari kebencian Ibnu Mas’ud, maka tidak diketahui secara jelas ada indikasi Ibnu Mas’ud membenci biji-biji tasbih, namun yang dzohir adalah beliau membenci menghitung tasbih (zikir). Dalam menyebutkan atsar-atsar terkait hal tersebut, Ibnu Abi syaibah membuat “fasal tentang orang-orang yang membenci menghitung-hitung tasbih” lalu beliau menyebutkan riwayat dari Ibnu Mas’ud dan ibnu Umar. Begitu juga yang terdapat dalam Sunan Al Dârimi, hal tersebut tidak mengindikasikan secara tegas tentang kebencian beliau. Apakah terkait menunggu waktu sholat dengan menghitung-hitung zikir dan melakukannya secara berjamaah dengan pimpinan satu orang ataukah kebencian beliau terkait kerikil-kerikilnya saja. Namun yang zohir larangan tersebut adalah terkait yang pertama. Wallahu a’lam
Peringatan
Fatwa-fatwa terkait kebolehan menggunakan tasbih selalu diiringi dengan beberapa peringatan. Ibnu Taimiyah mengatakan setelah membolehkan tasbih:
Adapun Tasbih yang dibentuk seperti manik-marik yang terangkai dan semisalnya, maka sebagian manusia ada yang membencinya dan sebagian lagi tidak membencinya. Kalau niatnya baik maka hal itu menjadi baik dan tidak makruh. Adapun menggunakannya tanpa keperluan atau memamerkannya kepada manusia, misanya digantungkan dileher atau dijadikan gelang atau semisalnya, maka hal ini bisa saja riya terhadap manusia atau merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan riya dan menyerupai orang yang riya. Yang pertama (riya, red) adalah haram sedangkan yang kedua minimal makruh. Sesunggunhya riya kepada manusia dalam ibadah-ibadah khusus seperti sholat, puasa, zikir, dan membaca qur’an adalah termasuk dosa yang paling besar.
Allah berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (5) orang-orang yang berbuat riya (6) dan enggan (menolong dengan) barang berguna (7)[13]
Allah juga berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali [14]
Senada dengan peringatan diatas juga difatwakan oleh Faqihuzzaman Ibnu utsaimin dan Ibnu Bâz, oleh karena itu hendaknya kita menggunakan tasbih jika ada hajat saja untuk menghitung zikir yang jumlahnya cukup banyak seperti zikir pagi dan petang yang merepotkan jika dihitung dengan jemari. Adapun untuk zikir setelah sholat dan senantiasa membawa tasbih ketika sholat atau bepergian seperti berlaku pada sebagian orang yang diklaim alim, maka hal tersebut makruh menurut Syaikh Ibnu Bâz. Lagipula yang secara tegas dianjurkan oleh Rasulullah dan disepakati kesunnahannya oleh ummat adalah menggunakan jemari karena Ia akan menjadi saksi diakherat atas zikir-zikir yang telah kita ucapkan.
Wallahu a’lam Bisshowâb
Semoga bermanfaat
Saudaramu: dobdob

[1] HR. Abu Daud No. 1500, At Tirmidzi No. 3568, katanya: hasan gharib. Ibnu Hibban No. 837
[2] Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 5/54. Mawqi’ Al Islam
[3] Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316-317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah
[4] Tuhfah al Ahwâdzi, 9/458. Cet. 2, 1383H-1963M. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah. Tahqiq: Abdul Wahhab bin Abdul Lathif
[5] Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqallat,  29/318. Mawqi’ Ruh Al Islam
[6] Ahmad 6/270, Abu Daud 1501, at-Tirmidzi 3583, Ibnu Hibban 842, al-Hakim 1/457 (2007) dan ia tidak memberi komentar dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi, dihasankan oleh Albani dalam ‘Shahih Abu Daud’ 1329.
[7] Al-Bukhari 5376 dan Muslim 2022
[8] Muslim 2020
[9] http://www.islamhouse.com/p/278161 . Syaikh Ibnu Utsaimin –Nur ‘ala darb, halqah kedua hal 68
[10] Faidhul Qadir, 4/468. Cet. 1, 1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut – Libanon
[11] Al Zahabi menyebutkan biografinya dalam siyar 13/445 : Berkata Ibnu al Fardhi : dia banyak mengklaim sabda-sabda nabi Shallallâhu Alaihi Wasallâm padahal itu merupakan kata-katanya sendiri, dia banyak melakukan kesalahan yang telah diketahui berasal darinya, keliru, dan melakukan tashif, serta tidak memiliki ilmu dalam bahasa arab dan juga fiqh
[12] Majmu Fatâwa 22/506
[13] Qs al Mâûn:4-7
[14] Qs Ali Imrân 142

Kamis, 05 September 2013

Kuncinya Pada Guru

Apakah yang dapat kita harapkan dari guru-guru yang datang ke kelas hanya untuk menerangkan mata pelajaran? Apakah yang dapat kita minta dari para guru yang datang ke kelas hanya berbekal pengetahuan sederhana? Apakah yang dapat kita jaminkan atas anak-anak kita jika guru hanya peduli jam mengajar? Sementara tentang murid-muridnya, ia nyaris mengenali kecuali sekadar nama, wajah, dan suaranya saja.
Sungguh, kunci keberhasilan guru terutama terletak pada kompetensi sebagai pengajar, baik kompetensi mengajar maupun kompetensi dalam bidang studi yang ia ajarkan. Tapi sungguh, bukan itu yang paling pokok. Ada yang lebih mendasar lagi, yakni adakah kerisauan besar dalam dirinya yang ia hayati sepenuh hati dan ia perjuangkan dengan sungguh-sungguh. Ia risau atas keadaan anak-anak di zaman ini. Ia menginginkan kebaikan yang besar pada diri muridnya. Dan ia menghabiskan waktunya dengan memberi perhatian, berjuang dengan sungguh-sungguh dan belajar secara gigih agar dapat mengantarkan anak didiknya menjadi manusia-manusia terbaik sesuai apa yang ia yakini sebagai kualitas ideal manusia.
Tanpa obsesi yang sangat tinggi untuk mendidik para murid menjadi manusia ideal, maka kegiatan mengajar hanya sekadar rutinitas saja. Begitu pula sekadar mampu merumuskan cita-cita secara tertulis, tapi tidak memiliki ikatan emosi dengan cita-cita tersebut, sulit baginya untuk meluangkan waktu bagi murid-muridnya sekaligus melapangkan telinga untuk mendengarkan penuturan murid dengan sepenuh jiwa. Mengajar hanya sekadar kegiatan fisik saja. Ia tidak membekas pada diri guru, tidak pula pada diri murid.
Jika materi yang mudah diingat saja tak membekas, apalagi dengan adab yang memerlukan kesabaran, dorongan, dukungan, dan pendampingan dalam membentuknya. Maka, kunci sangat penting memulai ta’dib (proses pendidikan adab) adalah guru. Adakah para guru yang melakukan ta’dib memiliki kecintaan terhadap murid-muridnya? Adakah para guru amat mengingini bagusnya akhlak anak didik? Bukan agar mudah menangani mereka, tetapi karena mengingini keselamatan anak didik di Yaumil-Qiyamah. Tampaknya tipis perbedaannya, tetapi jauh sekali akibatnya. Merisaukan akhlak anak didik karena mengingini keselamatan mereka di akhirat mendorong kita lebih sabar menghadapi kesulitan. Sementara merisaukan akhlak hanya karena mengingini penanganan anak jadi lebih mudah, membuat kita mudah berpuas diri. Mencukupkan diri dengan yang tampak dan mudah abai terhadap apa yang kurang.
Berkenaan dengan keprihatinan yang amat dalam ini, teringatlah saya dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah [9]: 128).
Sangat mengingini keimanan dan keselamatan. Inilah perkara penting yang harus dimiliki oleh seorang guru yang benar-benar berkeinginan membangun adab pada diri murid-muridnya. Ia bersungguh-sungguh mendidik, memiliki belas-kasih lagi penyayang. Kecintaan itu memang ada di dalam hati. Begitu pula besarnya keinginan untuk membaguskan murid-murid. Tapi ia amat berpengaruh pada kata yang kita ucapkan, adakah ia menjadi perkataan yang membekas ataukah sekadar lewat saja.
Selebihnya, seorang guru perlu memperhatikan adab-adab mengajar. Semoga Allah Ta’ala mudahkan upaya membangun adab pada diri murid.
Lalu, apa saja yang penting untuk diperhatikan:
Tulus Mengajar
Bekal penting yang harus dimiliki oleh setiap guru adalah ketulusan mengajar. Tidak berharga suatu amal tanpa keikhlasan. Boleh jadi seorang guru memang bekerja pada sebuah lembaga pendidikan. Tetapi di atas itu semua, ia adalah orang yang sangat berpengaruh dalam menempa jiwa anak didik. Maka lebih dari sekadar tugas mengajar, ia harus memiliki ketulusan yang amat dalam sehingga ringan hatinya menyambut kehadiran dan keingintahuan anak didiknya.
Sama pentingnya dengan ketulusan adalah bagusnya penyambutan terhadap anak didik sehingga mereka merasa dicintai oleh gurunya atau pengasuhnya di asrama. Inilah yang akan melahirkan rasa hormat pada diri anak didik terhadap guru. Ini pula yang menjadikan anak didik lebih mudah menerima nasehat dan ilmu dari guru.
Tentang menyambut penuntut ilmu, teringatlah saya pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani dari Shafwan bin ‘Asal Al-Muradi. Ia berkata, ”Saya mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam dan beliau di masjid bersandar dengan memakai burdah merah. Saya berkata kepada beliau, ‘Ya Rasul Allah, saya datang untuk menuntut ilmu.”
Beliau bersabda, “Selamat datang penuntut ilmu! Sesungguhnya penuntut ilmu dinaungi oleh para malaikat dengan sayapnya, kemudian mereka saling menumpuk hingga langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang dia pelajari.” (Riwayat Ath-Thabrani).
Ketulusan mengajar itu juga ditampakkan dengan sikap saat bicara, ditampakkan juga saat mendengar murid berbicara. Bukankah kita ingat bagaimana Rasulullah mencondongkan badan ketika mendengarkan lawan bicara?
Tawadhu’
Salah satu kunci sukses seorang murid adalah hormat kepada guru. Dan rasa hormat kepada guru ini akan tertancap lebih kuat dalam diri murid jika ia memiliki seorang guru yang tawadhu’, guru yang rendah hati. Bukan rendah diri. Bukan pula yang gila hormat dan selalu ingin didengar. Faktor yang sangat menentukan keberhasilan murid memang kesediaan dan kesungguhan mendengarkan ucapan gurunya. Tetapi pada saat yang sama, guru juga perlu menjadikan dirinya sebagai sosok yang pantas untuk senantiasa didengar dan dipatuhi oleh muridnya.
Mari kita ingat sejenak perkataan Anas bin Malik tentang pribadi Rasulullah. Ia berkata, “Tidak ada orang yang paling dicintai oleh para Sahabat melebihi Rasulullah. Walau begitu, ketika melihat Rasulullah mereka tidak berdiri karena mengetahui bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu.” (Riwayat Bukhari, Ahmad, At-Tirmidzi & Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi).
Hadis ini memberi pelajaran kepada kita tentang sosok guru paling sempurna, Rasulullah. Kecintaan para muridnya –para Sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in– tak diragukan lagi. Tetapi kecintaan yang besar itu tidak menyebabkan mereka berdiri menghormat. Ini merupakan salah satu saja dari sekian banyak pertanda tentang kerendah-hatian beliau sehingga justru menjadikan beliau makin dicintai.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang suka untuk disambut dengan cara berdiri, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Riwayat Abu Dawud).
Mengenali Murid
Hal lain yang perlu dimiliki guru adalah kesediaan dan keinginan untuk mengenali pribadi muridnya dengan baik. Bukan hanya tahu nama dan wajah. Jangankan berbicara dalam konteks pendidikan adab, lebih khusus lagi pendidikan Islam, bicara pendidikan secara umum pun pengenalan yang baik terhadap murid memegang peranan penting. Banyak masalah yang berkembang di kelas maupun asrama karena guru tidak memiliki pengenalan yang baik terhadap murid, sehingga tidak mampu membaca apa yang sedang menjadi keresahan muridnya. Kadang guru bahkan seperti tak peduli dengan keadaan murid.
Pengenalan yang baik terhadap murid memudahkan guru bertindak secara lebih tepat. Selain itu, juga meringankan hati mereka untuk lebih toleran terhadap murid. SUARA HIDYATULLAH MEI 2012

Jumat, 23 Agustus 2013

Inilah Surat Belthagy Kepada Putrinya…Layak Erdogan Menangis…

Sumber www.eramuslim.com Redaksi – Jumat, 23 Agustus 2013 20:31 WIB
asma beltaji
Putriku yang tercinta dan menjadi guruku yang terhormat,  Asma al-Beltaji, saya tidak mengucapkan selamat tinggal kepada-mu, saya katakan esok kita akan bertemu lagi.
Kamu telah hidup dengan kepala yang terangkat tinggi, memberontak melawan tirani dan belenggu , dan engkau mencintai kemerdekaan. Kamu telah hidup sebagai seorang pencari cakrawala baru untuk membangun kembali bangsa ini yang menganggap tempat ini menjadi diantara peradaban.
Kamu tidak pernah membungkukkan  diri dengan apa yang menyibukkan mereka dari usia Anda. Walaupun  studi di negeri ini  gagal memenuhi aspirasi dan ketertarikanmu , namun kamu selalu yang pertama di kelas.
Saya tidak punya cukup sesuatu yang  berharga untukmu  dalam hidupmu yang singkat ini , terutama karena waktu saya tidak memungkinkan untuk menikmati banyak waktu denganmu . Terakhir kali kami duduk bersama denganmu di Rabaa Al Adawiya square ,  kau bertanya padaku “Walaupun ayah bersama kami, ayah tetap sibuk ” dan saya katakan “Tampaknya bahwa waktu kehidupan dunia  tidak akan cukup untuk menikmati setiap kedekatan  jadi saya berdoa kepada Allah  agar kita menikmati persahabatan nanti  di surga.”
Dua malam sebelum engkau  dibunuh , Aku melihatmu dalam mimpiku dalam gaun pengantin putih dan engkau menjadi  ikon kecantikan. Ketika engkau  berbaring di sampingku ,  saya meminta engkau  ”Apakah ini malam pernikahan-mu?”  engkau  menjawab, “Itu adalah siang Ayah dan bukan  malam”. Ketika mereka bilang engkau dibunuh pada Rabu sore aku mengerti apa yang kamu maksud dan aku tahu Allah telah menerima jiwamu sebagai syuhada. Kamu  memperkuat keyakinan Ayah  bahwa kita akan berada di atas kebenaran dan musuh kami adalah  kepalsuan.
Yang membuat saya merasa bersalah dan sakit  adalah karena ayah tidak berada di perpisahan terakhir denganmu  dan melihat-mu untuk terakhir kalinya, Ayah tidak mencium dahimu, dan tidak sempat menghormatimu untuk memimpin sholat dan doa  di pemakamanmu. Aku bersumpah demi Allah, Sayangku,  saya tidak takut apa yang terjadi dengan  hidup saya atau dari penjara yang tidak adil, tapi saya ingin membawa pesan engkau dari  jiwamu untuk menyelesaikan revolusi, untuk menang dan mencapai tujuannya.
Jiwamu telah diangkat dengan kepala terangkat tinggi melawan tirani . Peluru tajam  telah menusuk engkau di dada,   jiwa yang murni. Saya yakin bahwa engkau  jujur ​​kepada Allah  dan Dia telah memilih kamu di antara kita untuk menghormati kedudukanmu  dengan pengorbanan.
Akhirnya, putriku  dan  guruku yang  tercinta:
Saya tidak mengucapkan selamat tinggal, tapi aku mengucapkan perpisahan . Kita akan segera bertemu dengan Nabi kita tercinta dan para sahabatnya  di Surga di mana keinginan kita untuk menikmati setiap persahabat dengan lainnya dan persahabatan yang kita cintai kelak akan menjadi kenyataan. – Belthagy-

Minggu, 28 Juli 2013

(ISLAM) Niat & Cara Mandi Wajib / Junub yang Sah

Di Pos kembali Oleh : Renungan. Minggu, 28 Juli 2013 - 00.00 WITA     

 cara mandi wajib,mandi wajib bagi wanita, mandi wajib bagi lelaki, mandi wajib bogel, mandi wajib bersama isteri, mandi wajib bagi orang sakit, mandi wajib bagaimana, mandi wajib berbogel hukum, mandi wajib batal, cara mandi wajib bagi perempuan, niat mandi wajib bagi perempuan, mandi wajib cara, mandi wajib com, mandi wajib celah celah kuku, tata cara mandi wajib, cara mandi wajib lelaki, cara mandi wajib bagi perempuan, cara-cara mandi wajib yang betul, tata cara mandi wajib setelah haid, cara mandi wajib yang benar, cara mandi wajib lepas bersalin, mandi wajib air mazi, mandi wajib air, mandi wajib ustaz azhar, mandi wajib di sungai, mandi wajib dengan betul, mandi wajib dengan sabun, mandi wajib dalam islam, mandi wajib dengan shower, mandi wajib dengan tayamum, mandi wajib dengan air hangat, mandi wajib darah nifas, mandi wajib dalam kolam renang, mandi wajib dan onani, mandi wajib in english, mandi wajib guna shower, mandi wajib guna sabun, cara mandi wajib guna shower, gambar mandi wajib, gambar cara mandi wajib, mandi wajib haid, mandi wajib hukum, mandi wajib hukum berbogel, niat mandi wajib haid, cara mandi wajib haid, lafaz niat mandi wajib haid, doa mandi wajib haid, cara mandi wajib hadas besar, tata cara mandi wajib setelah haid, mandi wajib selepas haid, mandi wajib in english, mandi wajib ikut sunnah, mandi wajib istihadah, mandi wajib bersama isteri, mandi wajib menurut islam, mandi wajib dalam islam, mandi wajib ketika sakit, mandi wajib keluar air mazi, mandi wajib kerana bersetubuh, mandi wajib kerana haid, mandi wajib kuku, mandi wajib ketika luka, mandi wajib kaki bersimen, cara mandi wajib kerana haid, niat mandi wajib kerana haid, niat mandi wajib kerana bersetubuh, mandi wajib junub, mandi wajib jenis, niat mandi wajib jawi, doa mandi wajib junub, niat mandi wajib junub, cara mandi wajib junub, cara mandi wajib jika luka, perlukah mandi wajib jika beronani, jenis-jenis mandi wajib, syarat wajib mandi junub, mandi wajib lelaki, mandi wajib luka, mandi wajib lepas bersalin, mandi wajib lafaz, cara mandi wajib lepas bersalin, cara-cara mandi wajib lelaki, doa mandi wajib lelaki rumi, doa mandi wajib lelaki dalam rumi, cara mandi wajib bagi lelaki, lafaz niat mandi wajib haid, mandi wajib mengikut sunnah, mandi wajib menggunakan shower, mandi wajib menurut islam, mandi wajib mimpi, mandi wajib menggunakan sabun, mandi wajib mazi air, mandi wajib maksud, mandi wajib mandi junub, cara mandi wajib menggunakan shower, cara mandi wajib mengikut sunnah, mandi wajib nifas,, mandi wajib niat haid mandi wajib niat perempuan, niat mandi wajib nifas, niat mandi wajib nawaitu, niat mandi wajib, lafaz niat mandi wajib, niat mandi wajib jawi, niat mandi wajib selepas bersetubuh, niat mandi wajib lelaki, mandi wajib onani perempuan, mandi wajib orang sakit, mandi wajib onani, onani harus mandi wajib, perlu ke mandi wajib selepas onani, onani dan mandi wajib, mandi wajib selepas onani, onani perlu mandi wajib, wanita onani mandi wajib, perlu mandi wajib selepas onani, mandi wajib perempuan, mandi wajib puasa, mandi wajib pegang kemaluan, mandi wajib pakai shower, mandi wajib pdf, mandi wajib perempuan onani, mandi wajib panduan, mandi wajib pafa, niat mandi wajib perempuan, cara mandi wajib perempuan, mandi wajib ringkas, mandi wajib rukun, niat mandi wajib rumi, cara mandi wajib ringkas, cara mandi wajib rasulullah, lafaz niat mandi wajib rumi, niat mandi wajib dalam rumi, rahsia mandi wajib, doa mandi wajib dalam rumi, ragu-ragu mandi wajib, mandi wajib selepas keguguran, mandi wajib selepas bersalin, mandi wajib selepas haid, mandi wajib setelah bersetubuh, mandi wajib selepas jimak, mandi wajib sabun, mandi wajib setelah melahirkan, mandi wajib selepas nifas, mandi wajib shower, mandi wajib selepas onani, mandi wajib tanpa wuduk, mandi wajib tanpa pakaian, mandi wajib tidak sah,, mandi wajib tanpa air, mandi wajib tanpa wudhu, mandi wajib tata cara, mandi wajib tertib, tata cara mandi wajib setelah haid, hukum tidak mandi wajib, how to mandi wajib, mandi wajib ustaz azhar, mandi wajib ustadz, mandi wajib untuk wanita, mandi wajib untuk perempuan, cara mandi wajib untuk perempuan, cara mandi wajib ustaz azhar idrus, cara-cara mandi wajib untuk wanita, cara untuk mandi wajib, air untuk mandi wajib, ustaz don mandi wajib, mandi wajib video, video cara mandi wajib, video cara-cara mandi wajib, mandi wajib wanita, mandi wajib wiladah, mandi wajib wiki, mandi wajib was was, cara mandi wajib wanita, niat mandi wajib wiladah, niat mandi wajib wanita, cara mandi wajib wiladah, waktu mandi wajib, cara cara mandi wajib bagi wanita, mandi wajib yang sah, mandi wajib yang betul, mandi wajib yang sempurna, mandi wajib yang tidak sah, mandi wajib yang benar, cara-cara mandi wajib yang betul, cara mandi wajib yang benar, cara mandi wajib yang sempurna, niat mandi wajib yang benar, cara mandi wajib yg sah,



 
Cara mandi wajib yang sah masih sering menjadi persoalan di kalangan umat Islam antaranya, remaja yang baru baligh, perempuan yang datang haid, lelaki yang keluar air mani, wanita yang keluar darah nifas, suami isteri yang bersetubuh (jimak) dan sebagainya.

Sebab anda perlu Mandi Wajib

  • Bertemu dia khitan atau bersetubuh (masuknya zakar sehingga terbenam kepalanya ke dalam faraj).
  • Keluar mani walaupun sedikit.
  • Mati melainkan mati syahid.
  • Keluar haid bagi perempuan.
  • Keluar nifas (darah yang keluar mengiringi bayi ketika perempuan bersalin).
  • Wiladah atau melahirkan anak.

Rukun Mandi Wajib

(cukup 3 rukun ini, mandi wajib anda Sah)
  • Niat
  • Menghilangkan najis di badan sama ada yang jelas (‘ayni) atau tidak jelas (hukmi)
  • Menyampaikan air ke seluruh anggota badan dari hujung rambut sehingga ke hujung kaki.

Jenis Niat Mandi Wajib

1. Keluar mani atau keluar haid dan nifas
“Sahaja aku mengangkat hadas besar kerana Allah Taala”.
“Sahaja aku mandi daripada haid kerana Allah Taala”.

2. Mandi disebabkan bersetubuh antara suami dan isteri
“Sahaja aku mandi junub kerana Allah Taala”.

3. Mandi disebabkan keluarnya darah nifas
“Sahaja aku mandi daripada nifas kerana Allah Taala”.

Bahasa Arab



Sunat Ketika Mandi Wajib

  • mengadap kiblat
  • membaca basmalah
  • membasuh dua tapak tangan
  • mengambil wuduk terlebih dahulu sebelum mandi
  • menggosok seluruh anggota badan dengan tangan
  • berturut-turut (muwalat) tanpa putus-putus
  • tertib dengan mendahulukan perkara yang perlu didahulukan
  • membasuh sebanyak tiga kali

Cara-cara Mandi Wajib

  • Bersihkan tubuh dan hilangkan kotoran dan perkara-perkara yang boleh menghalangkan air sampai ke anggota badan semasa mandi hadas selepas ini.
  • Setelah selesai mandi biasa, di sunatkan mengambil wuduk dahulu sehingga membasuh telinga sahaja dan tidak perlu membasuh kaki lagi. basuhan kaki akan dilakukan akhir mandi nanti. Perkara ini tidak dilakukan pun tidak mengapa kerana ia merupakan perkara sunat sahaja.
  • Duduk bertinggung bagi yang berkemampuan. Ini bertujuan untuk membuka semua anggota yang zahir dan mudah untuk mengalirkan air ke kawasan-kawasan sulit tersebut seperti qubul atau dubur. Kalau berdiri pun tidak menjadi masalah, yang paling penting ialah air dapat sampai kepada semua bahagian anggota badan.
  • Niat dahulu sebelum mandi (Lihat dalam bahagian Fardhu Mandi di atas). Bagi sesiapa yang tidak pandai dalam bahasa arab boleh dalam bahasa melayu.
  • Sunat memulakan mandian disebelah kanan dahulu dan seterusnya disebelah kiri.
  • Mulakan mandi wajib dengan mengalirkan air mutlak di salah satu anggota badan dan disertakan dengan niat mandi hadas sepertimana dinyatakan di bahagian fardhu mandi.
  • Gosot atau sapu di semua anggota badan yang zahir iaitu dirambut, kepala, telingga, hidung, mata, mulut, tengkok, ketiak, tangan, jari, kuku, badan, pusat, qubul, dubur, kaki, pelipat-pelipat kaki dan tangan, kuku kaki, jari kaki dan sebagainya. Ini bertujuan untuk menyampaikan air di seluruh anggota badan.
  • Akhir sekali basuh kaki sebagai penyudahnya, kerana semasa mengambil wuduk tadi kita tidak membasuh kaki.

Rabu, 10 Juli 2013

Luar Biasanya ‘Bukan Cinta Biasa’


Oleh Kartika Ummu Arina*
Setiap orang pasti mampu melakukan sesuatu yang istimewa untuk pasangannya. Tak mesti mahal dan menghabiskan waktu banyak.
Sepuluh tahun berlalu pernikahan mereka berlangsung. Meski belum ada yang berkata bahwa mereka adalah pasangan yang ideal, tetapi rentang waktu bersama itu cukup membuat mereka berusaha saling mengisi. Namun, seiring waktu berjalan, ada kehampaan di relung hati.
Sungguh, cinta berupa tanggung jawab memang tak pernah alpa dari keseharian mereka sebagai suami-istri. Namun, merasakan kembali cinta yang merona layaknya seorang remaja yang sedang jatuh cinta adalah hal yang diinginkan untuk menghangatkan hubungan mereka.
Cinta yang merona, yang menghangatkan suasana kebersamaan suami-istri tentu sangat berarti di saat harus melalui berbagai permasalahan yang melanda hidup. Apalagi mengingat kewajiban sebagai orangtua begitu berat, maka cinta di antara pasangan suami istri adalah penawar kelelahan jiwa, peredam gelisah, dan pengokoh hati dalam menjemput takdir-Nya.
Namun, seringkali cinta itu menjadi tawar rasanya manakala waktu berjalan dan kehidupan rumah tangga hanya sebuah daftar hak dan kewajiban. Meski ini yang seringkali dimaklumi oleh kebanyakan orang sebagai tanggung jawab, akan tetapi menjalaninya sungguh sangat melelahkan dan menumpulkan hati.
Awalnya dari yang Istimewa
Keinginan untuk selalu jatuh cinta pada pasangan adalah sebuah keinginan yang indah. Hingga hadirnya cinta yang merona tak hanya dapat ditemui dalam kisah romantis semata. Sungguh ini adalah sebuah perjuangan. Pasalnya, dalam suasana yang selalu biasa-biasa saja, cinta yang merona kadang hanya sebuah guyonan bahkan seringkali dianggap kekanakan.
Namun, kisah seorang ibu yang telah berumur berikut ini mungkin dapat mengubah persepsi itu. Ibu tersebut bercerita bahwa suaminya punya kebiasaan yang hingga kini masih dilakukan, yaitu kebiasaan memposkan surat yang ditulisnya sendiri untuk istrinya. Ketika sang suami masih bekerja, surat yang biasanya berisi curahan hati bahkan pujian yang membuat hati tersanjung itu, ditulisnya saat berada di kantor dan diposkannya hari itu juga. Surat biasanya diterima sang istri menjelang sore atau keesokan hari.
Kebiasaan itu masih dilakukannya hingga kini, ketika suaminya telah memasuki masa pensiun. Ada waktu yang khusus dialokasikan untuk menulis surat pada istrinya yang meski kini ditemuinya setiap waktu dan tetap diposkannya di kantor pos terdekat. Sang istri pun dengan kebahagiaan yang sama selalu membaca surat istimewa itu.
Setiap orang yang mendengar cerita ibu tadi pasti akan tersenyum. Ada binar cinta yang tak pernah redup dari mata ibu tersebut hingga kini mereka telah menimang cucu. Ada cinta yang merona yang tak pernah redup dalam kehidupan pernikahan mereka dengan surat istimewa sebagai cahayanya. Itulah tanda cinta yang tak semua orang mau dan mampu melakukannya.
Setiap orang pasti mampu melakukan sesuatu yang istimewa untuk pasangannya. Tak mesti mahal dan menghabiskan waktu banyak, melakukan sesuatu yang istimewa justru terletak pada tekad dan ketulusan hati untuk mau melakukannya. Sebab, hal prinsip untuk membuat cinta yang selalu merona dapat hadir justru hadir bukan dari uang, apalagi hal yang mengada-ada.
Yang Prinsip adalah Kuncinya
Hal prinsip itu adalah selaras atau tidaknya jiwa kita dengan pasangan dalam mengayuh bahtera rumah tangga. Cinta yang merona tidak akan pernah hadir manakala jiwa masing-masing pasangan tak pernah seirama dalam menjalankan biduk pernikahan.
Mungkin kita banyak menjumpai pasangan yang saling berseberangan hati, tetapi tetap mencoba bertahan di bawah satu atap pernikahan puluhan tahun lamanya. Suami atau istrinya terbina dengan semangat yang menyala-nyala dalam dakwahnya, tetapi pasangannya sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan, menjadi pemberat langkah. Sungguh, kehidupan yang sangat melelahkan jiwa.
Padahal, sangat penting untuk menyelaraskan gerak jiwa kita dengan pasangan karena Rasulullah SAW pun selalu menjadikan istri-istrinya sebagai orang yang paling berarti pada saat-saat terpenting, seperti turunnya wahyu. Saat tubuh Rasulullah bergetar hebat karena dahsyatnya wahyu, beliau akan meraih tangan Aisyah RA dan berkata, “Berbicaralah padaku, Aisyah.”
Itulah sebabnya beliau bersabda, “Tiga hal di dunia ini telah menjadi kecintaanku: kaum perempuan, wewangian, dan kesejukan mataku ketika shalat.”(Riwayat An-Nasa’i, Ahmad, dan Al-Hakim). Shalat menjadi bagian akhir yang disebutkan oleh Rasulullah karena dalam kelemah-lembutan perempuan dan segarnya wangi parfum akan diperoleh kekuatan dan ketenangan. Inilah yang akan menyejukkan ketika shalat didirikan. Jadi, inilah pentingnya menyelaraskan jiwa. Kekuatannya akan menopang kekusyukan dan mengokohkan gerak yang diayunkan. Ini pula pentingnya menghadirkan cinta.
Yang pertama, bersyukurlah ada dia yang dengan ketulusannya mau menerima kita berada di sisinya. Keberadaan kita menyebabkan berangkai kewajiban yang harus ditanggungnya, dan kesediaannya bersabar dengan segala kekurangan dan tingkah kita yang belum tentu berkenan di hatinya.
Selanjutnya, ambilah inisiatif agar cinta itu kembali merona. Tak perlu berharap pasangan kita mau mengubah sikap karena hal itu pun hal yang tak mudah bagi diri kita sendiri. Namun, ambillah inisiatif yang akan menggugahnya dengan melakukan hal yang kita harapkan. Seperti seorang istri yang selalu pertama kali menarik tangan suaminya untuk menggandeng ketika berjalan atau menggenggam tangan suaminya ketika duduk berdampingan. Suaminya yang tak pernah melakukan itu karena tergolong cuek – walau akhirnya tak dapat melakukan hal yang sama, selalu berusaha membantu istrinya di rumah dan menjadi ayah yang luar biasa bagi anak-anaknya. Inilah buah dari rasa bersyukur kita akan hadirnya suami atau istri di sisi.
Energinya akan mendorong kita melakukan inisiatif yang membuat cinta selalu hadir.
Yang terakhir, jujurlah. Jujurlah dalam kata-kata maupun tindakan. Jujurlah dalam kata-kata karena dialah orang yang akan menemani kita di surga karena dukungan dan doa-doanya selama di dunia. Jujurlah pula dalam tindakan ketika kita mengharapkan yang terbaik pula darinya. Seperti yang dilakukan oleh Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan sepeninggal suaminya, Umar bin Adul Azis. Ia didatangi petugas Baitul Maal yang mengatakan bahwa perhiasannya masih utuh.
Adalah hak Fathimah untuk mengambilnya kembali. Namun, Fathimah menjawab, “Sesungguhnya perhiasan itu telah kuberikan ke Baitul Maal karena patuh pada suamiku. Tidak mungkin saya patuh padanya selagi ia ada dan melanggarnya setelah ia tiada.” Maka, begitu indahnya kejujuran itu. Menghadirkan cinta yang selalu merona walau pemiliknya telah tiada. *Penulis buku “Jadilah Suami Istri Bijak” Suara Hidayatullah Maret 2013

Menghidupkan Malam Ramadhan Dengan Shalat Tarawih



Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat  setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan. (Lihat Al Jaami’ li Ahkamish Sholah, 3/63 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9630)

Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9630)
Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut Ahnaf, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9631)
Keutamaan Shalat Tarawih
Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi. (Syarh Muslim, 3/101)
Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya. (Fathul Bari, 6/290)
Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa kecil. (Lihat Fathul Bari, 6/290)
Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih).  Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.
Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.
Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat tarawih. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9633)
Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?” ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21)
As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.”
Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 6/295)
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan
Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.
‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
“Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123, Asy Syamilah)
Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Raka’at?
Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan  bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid, 21/70)
Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.
Pertama, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu shubuh, lakukanlah shalat witir satu raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim no. 489)
Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.” (HR. Muslim no. 488)
Dari dalil-dalil di atas menunjukkan beberapa hal:
Keempat, Pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.
Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam ilmu ushul.
Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. …Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada pertentangan.
Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Keenam, telah terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat tarawih, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari ditunjuk sebagai imam. Ketika itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 21 raka’at. Mereka membaca dalam shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya berakhir ketika mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no. 7730, Ibnul Ja’di no. 2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/416)
Begitu juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. Dari As Saa-ib bin Yazid, beliau mengatakan bahwa ‘Umar bin Al Khottob memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daariy untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. As Saa-ib mengatakan, “Imam membaca ratusan ayat, sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena saking lamanya. Kami selesai hampir shubuh.” (HR. Malik dalam Al Muqatho’, 1/137, no. 248. Sanadnya shahih. Lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/418)
Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “‘Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)
Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini.  Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.
Orang yang keluar dari jama’ah sebelum imam menutup shalatnya dengan witir juga telah meninggalkan pahala yang sangat besar. Karena jama’ah yang mengerjakan shalat bersama imam hingga imam selesai –baik imam melaksanakan 11 atau 23 raka’at- akan memperoleh pahala shalat seperti shalat semalam penuh. “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.
Yang Paling Bagus adalah yang Panjang Bacaannya
Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits  di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah)
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Salam Setiap Dua Raka’at
Para pakar fiqih berpendapat bahwa shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama-ulama Malikiyah mengatakan, “Dianjurkan bagi yang melaksanakan shalat tarawih untuk melakukan salam setiap dua raka’at dan dimakruhkan mengakhirkan salam hingga empat raka’at. … Yang lebih utama adalah salam setelah dua raka’at.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9640)
Istirahat Tiap Selesai Empat Raka’at
Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali. (Lihat Al Inshof, 3/117)
Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.” (HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738)
Sebagai catatan penting, tidaklah disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/420)
Ulama-ulama Hambali mengatakan, “Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat raka’at shalat tarawih ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9639)
Surat yang Dibaca Ketika Shalat Tarawih
Tidak ada riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang panjang-panjang, maka itu lebih baik berdasarkan riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan.
Ada anjuran dari sebagian ulama semacam ulama Hanafiyah dan Hambali untuk mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat mendengar seluruh Al Qur’an ketika melaksanakan shalat tarawih.
Kesalahan-Kesalahan Dalam Shalat Tarawih
  1. Menyeru Jama’ah dengan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Ulama-ulama hanabilah berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9634)
  2. Dzikir Jama’ah dengan Dikomandoi. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat mengatakan, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189).
  3. Bubar Sebelum Imam Selesai Shalat Malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang shalat (malam) bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis untuknya pahala melaksanakan shalat satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, Shahih). Jika seseorang bubar terlebih dahulu sebelum imam selesai, maka dia akan kehilangan pahala yang disebutkan dalam hadits ini. Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.
Demikian sedikit pembahasan kami seputar shalat tarawih. Semoga Allah memberi taufik kepada kita agar dapat menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat tarawih dan amalan lainnya.
Wa shallaatu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Alhamdulillahi robbil ‘alamin.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.com)
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id



Menghidupkan Malam Ramadhan Dengan Shalat Tarawih

49 Komentar // 24 Agustus 2009
Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat  setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan. (Lihat Al Jaami’ li Ahkamish Sholah, 3/63 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9630)

Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9630)
Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut Ahnaf, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9631)
Keutamaan Shalat Tarawih
Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi. (Syarh Muslim, 3/101)
Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya. (Fathul Bari, 6/290)
Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa kecil. (Lihat Fathul Bari, 6/290)
Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih).  Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.
Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.
Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat tarawih. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9633)
Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?” ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21)
As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.”
Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 6/295)
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan
Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.
‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
“Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123, Asy Syamilah)
Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Raka’at?
Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan  bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid, 21/70)
Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.
Pertama, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu shubuh, lakukanlah shalat witir satu raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim no. 489)
Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.” (HR. Muslim no. 488)
Dari dalil-dalil di atas menunjukkan beberapa hal:
Keempat, Pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.
Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam ilmu ushul.
Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. …Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada pertentangan.
Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Keenam, telah terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat tarawih, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari ditunjuk sebagai imam. Ketika itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 21 raka’at. Mereka membaca dalam shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya berakhir ketika mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no. 7730, Ibnul Ja’di no. 2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/416)
Begitu juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. Dari As Saa-ib bin Yazid, beliau mengatakan bahwa ‘Umar bin Al Khottob memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daariy untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. As Saa-ib mengatakan, “Imam membaca ratusan ayat, sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena saking lamanya. Kami selesai hampir shubuh.” (HR. Malik dalam Al Muqatho’, 1/137, no. 248. Sanadnya shahih. Lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/418)
Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “‘Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)
Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini.  Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.
Orang yang keluar dari jama’ah sebelum imam menutup shalatnya dengan witir juga telah meninggalkan pahala yang sangat besar. Karena jama’ah yang mengerjakan shalat bersama imam hingga imam selesai –baik imam melaksanakan 11 atau 23 raka’at- akan memperoleh pahala shalat seperti shalat semalam penuh. “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.
Yang Paling Bagus adalah yang Panjang Bacaannya
Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits  di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah)
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Salam Setiap Dua Raka’at
Para pakar fiqih berpendapat bahwa shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama-ulama Malikiyah mengatakan, “Dianjurkan bagi yang melaksanakan shalat tarawih untuk melakukan salam setiap dua raka’at dan dimakruhkan mengakhirkan salam hingga empat raka’at. … Yang lebih utama adalah salam setelah dua raka’at.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9640)
Istirahat Tiap Selesai Empat Raka’at
Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali. (Lihat Al Inshof, 3/117)
Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.” (HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738)
Sebagai catatan penting, tidaklah disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/420)
Ulama-ulama Hambali mengatakan, “Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat raka’at shalat tarawih ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9639)
Surat yang Dibaca Ketika Shalat Tarawih
Tidak ada riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang panjang-panjang, maka itu lebih baik berdasarkan riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan.
Ada anjuran dari sebagian ulama semacam ulama Hanafiyah dan Hambali untuk mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat mendengar seluruh Al Qur’an ketika melaksanakan shalat tarawih.
Kesalahan-Kesalahan Dalam Shalat Tarawih
  1. Menyeru Jama’ah dengan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Ulama-ulama hanabilah berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9634)
  2. Dzikir Jama’ah dengan Dikomandoi. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat mengatakan, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189).
  3. Bubar Sebelum Imam Selesai Shalat Malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang shalat (malam) bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis untuknya pahala melaksanakan shalat satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, Shahih). Jika seseorang bubar terlebih dahulu sebelum imam selesai, maka dia akan kehilangan pahala yang disebutkan dalam hadits ini. Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.
Demikian sedikit pembahasan kami seputar shalat tarawih. Semoga Allah memberi taufik kepada kita agar dapat menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat tarawih dan amalan lainnya.
Wa shallaatu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Alhamdulillahi robbil ‘alamin.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.com)
Dipublikasikan oleh Renungan