Minggu, 25 Juni 2017

Amalan-amalan Setelah Ramadhan

Kita hanya bisa memanjatkan puji syukur kepada Allah atas nikmat yang tak terhingga ini. Allah Yang Maha Memberi Nikmat telah memberikan kesempatan untuk merasakan sejuknya beribadah puasa. Sungguh suatu kebanggaan, kita bisa melaksanakan ibadah yang mulia ini. Janji yang pasti diperoleh oleh orang yang berpuasa jika dia menjalankan puasa dengan dasar iman kepada Allah dan mengharapkan ganjarannya telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)

Sungguh sangat menyayangkan sekali orang yang meninggalkan amalan yang mulia ini. Begitu sering kami melihat orang yang mengaku muslim namun di siang hari bulan Ramadhan dia makan terang-terangan atau dia mengganggu saudaranya dengan asap rokok. Sungguh sangat merugi sekali orang yang meninggalkan ibadah ini, padahal amalan ini adalah bagian dari rukun Islam yang dapat menegakkan bangunan Islam dan para ulama sepakat tentang wajibnya melaksanakan rukun Islam yang satu ini.

Setelah kita melalui bulan Ramadhan, tentu saja kita masih perlu untuk beramal sebagai bekal kita nanti sebelum dijemput oleh malaikat maut. Pada tulisan kali ini, kami akan sedikit mengulas mengenai beberapa amalan yang sebaiknya dilakukan seorang muslim setelah menunaikan puasa Ramadhan. Semoga kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Tetap Menjaga Shalat Lima Waktu dan Shalat Jama’ah

Bulan Ramadhan sungguh sangat berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Orang yang dulu malas ke masjid atau sering bolong mengerjakan shalat lima waktu, di bulan Ramadhan begitu terlihat bersemangat melaksanakan amalan shalat ini. Itulah di antara tanda dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka ketika itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

“Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim no. 1079)

Namun, amalan shalat ini hendaklah tidak ditinggalkan begitu saja. Kalau memang di bulan Ramadhan, kita rutin menjaga shalat lima waktu maka hendaklah amalan tersebut tetap dijaga di luar Ramadhan, begitu pula dengan shalat jama’ah di masjid khusus untuk kaum pria.

Lihatlah salah satu keutamaan orang yang menjaga shalat lima waktu berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضْتُ عَلَى أُمَّتِكَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ وَعَهِدْتُ عِنْدِى عَهْدًا أَنَّهُ مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ لِوَقْتِهِنَّ أَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهِنَّ فَلاَ عَهْدَ لَهُ عِنْدِى

“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku wajibkan bagi umatmu shalat lima waktu. Aku berjanji pada diriku bahwa barangsiapa yang menjaganya pada waktunya, Aku akan memasukkannya ke dalam surga. Adapun orang yang tidak menjaganya, maka aku tidak memiliki janji padanya’.” (HR. Sunan Ibnu Majah no. 1403. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Shalat jama’ah di masjid juga memiliki keutamaan yang sangat mulia dibanding shalat sendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ الْجَمَاعَة أفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” (HR. Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650)

Namun yang sangat kami sayangkan, amalan shalat ini sering dilalaikan oleh sebagian kaum muslimin. Bahkan mulai pada hari raya ‘ied (1 Syawal) saja, sebagian orang sudah mulai meninggalkan shalat karena sibuk silaturahmi atau berekreasi. Begitu juga seringkali kita lihat sebagian saudara kita karena kebiasaan bangun kesiangan, dia meninggalkan shalat shubuh begitu saja. Padahal shalat shubuh inilah yang paling berat dikerjakan oleh orang munafik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Tidak ada shalat yang paling berat dilakukan oleh orang munafik kecuali shalat Shubuh dan shalat Isya’. Seandainya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun sambil merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)

Saudaraku, ingatlah ada ancaman keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang meninggalkan shalat. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia telah melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)

Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574)

Begitu pula shalat jama’ah di masjid, seharusnya setiap muslim –khususnya kaum pria- menjaga amalan ini. Shalat jama’ah mungkin kelihatan ramai di bulan Ramadhan saja. Namun, ketika bulan Ramadhan berakhir, masjid sudah kelihatan sepi seperti sedia kala. Memang dalam masalah apakah shalat jama’ah itu wajib atau sunnah mu’akkad terjadi perselisihan di antara para ulama. Namun berdasarkan dalil yang kuat, shalat jama’ah hukumnya adalah wajib (fardhu ‘ain). Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah di mana beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى قَائِدٌ يَقُودُنِى إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَأَجِبْ ».

“Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid’. Kemudian pria ini meminta pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diberi keringanan untuk shalat di rumah. Pada mulanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi dia keringanan. Namun, tatkala dia mau berpaling, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil pria tersebut dan berkata, ‘Apakah engkau mendengar adzan ketika shalat?’ Pria buta tersebut menjawab, ‘Iya.’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Penuhilah panggilan tersebut’.” (HR. Muslim no. 653)

Lihatlah pria buta ini memiliki udzur (alasan) untuk tidak jama’ah di masjid, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikannya keringanan, dia tetap diwajibkan untuk shalat jama’ah di masjid. Padahal dia adalah pria yang buta, tidak ada penuntun yang menemaninya, rumahnya juga jauh. Di Madinah juga banyak hewan buas dan banyak pepohonan yang menghalangi jalan menuju masjid. Namun, lihatlah walaupun dengan berbagai udzur ini karena pria buta ini mendengar adzan, dia tetap wajib jama’ah di masjid.

Bagaimanakah kondisi kita yang lebih sehat dan berkemampuan? Tentu lebih wajib lagi untuk berjama’ah di masjid. Itulah dalil kuat yang menunjukkan wajibnya shalat jama’ah di masjid. Jika seseorang meninggalkan shalat jama’ah dan shalat sendirian, dia berarti telah berdosa karena meninggalkan shalat jama’ah, namun shalat sendirian yang dia lakukan tetap sah. Sedangkan bagi wanita berdasarkan kesepakatan kaum muslimin tidak wajib bagi mereka jama’ah di masjid bahkan lebih utama bagi wanita untuk mengerjakan shalat lima waktu di rumahnya.

Memperbanyak Puasa Sunnah

Selain kita melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan,  hendaklah kita menyempurnakannya pula dengan melakukan amalan puasa sunnah. Di antara keutamaannya adalah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,

أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّةٌ

“Maukah kutunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi no. 2616. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud bahwa hadits ini shohih)

Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Keutaman lain dari puasa sunah terdapat dalam hadits Qudsi berikut.

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)

Itulah di antara keutamaan seseorang melakukan amalan sunnah. Dia akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad, www.islamspirit.com)

Banyak puasa sunnah yang dapat dilakukan oleh seorang muslim setelah Ramadhan. Di bulan Syawal, kita dapat menunaikan puasa enam hari Syawal. Juga setiap bulan Hijriyah kita dapat berpuasa tiga hari dan lebih utama jika dilakukan pada ayyamul bid yaitu pada tanggal 13, 14, dan 15. Kita juga dapat melakukan puasa Senin-Kamis, puasa Arofah (pada tanggal 9 Dzulhijah), puasa Asyura (pada tanggal 10 Muharram), dan banyak berpuasa di bulan Sya’ban sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jika ada yang punya kemampuan boleh juga melakukan puasa Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Semoga Allah memudahkan kita melakukan amalan puasa sunnah ini.

Berpuasa Enam Hari di Bulan Syawal

Hendaklah di bulan Syawal ini, setiap muslim berusaha untuk menunaikan amalan yang satu ini yaitu berpuasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)

Bagaimana cara melakukan puasa ini? An Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.”

Apa faedah melakukan puasa enam hari di bulan Syawal?

Ibnu Rojab rahimahullah menyebutkan beberapa faedah di antaranya:

Berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan akan menyempurnakan ganjaran berpuasa setahun penuh.
Puasa Syawal dan puasa Sya’ban seperti halnya shalat rawatib qobliyah dan ba’diyah. Amalan sunnah seperti ini akan menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada dalam amalan wajib. Setiap orang pasti memiliki kekurangan dalam amalan wajib. Amalan sunnah inilah yang nanti akan menyempurnakannya.
Membiasakan berpuasa setelah puasa Ramadhan adalah tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan. Karena Allah Ta’ala jika menerima amalan hamba, maka Dia akan memberi taufik pada amalan sholih selanjutnya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan selanjutnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula orang yang melaksanakan kebaikan lalu dilanjutkan dengan melakukan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”
Karena Allah telah memberi taufik dan menolong kita untuk melaksanakan puasa Ramadhan serta berjanji mengampuni dosa kita yang telah lalu,  maka hendaklah kita mensyukuri hal ini dengan melaksanakan puasa setelah Ramadhan. Sebagaimana para salaf dahulu, setelah malam harinya melaksanakan shalat malam, di siang harinya mereka berpuasa sebagai rasa syukur pada Allah atas taufik yang diberikan. (Disarikan dari Latho’if Al Ma’arif, 244, Asy Syamilah)
Sungguh sangat beruntung sekali jika kita dapat melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Ini sungguh keutamaan yang luar biasa, saudaraku. Marilah kita melaksanakan puasa tersebut demi mengharapkan rahmat dan ampunan Allah.

Penjelasan penting yang harus diperhatikan: Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ (tanggungan) puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barangsiapa berpuasa ramadhan”. Jadi apabila puasa ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barangsiapa berpuasa ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)

Sumber : https://rumaysho.com/523-amalan-amalan-setelah-ramadhan-seri-1.html

Jumat, 16 Juni 2017

📝 RINGKASAN PEMBAHASAN I'TIKAF

➡️ Pertama: Makna I’tikaf

I’tikaf maknanya adalah,

لزوم مسجد جماعةٍ، بنيةٍ لعبادة الله فيه، من شخص مخصوص، بشروط مخصوصة، على صفة مخصوصة، في زمن مخصوص

“Berdiam diri di masjid umum yang diadakan padanya sholat berjama’ah dengan niat beribadah kepada Allah ta’ala di masjid tersebut, yang dilakukan oleh orang tertentu, dengan syarat-syarat tertentu, tata cara tertentu, di waktu tertentu.” [Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 450-451]

Akan datang insya Allah penjelasan lebih detail di poin-poin berikut tentang orang tertentu, dengan syarat-syarat tertentu, tata cara tertentu dan waktu tertentu.

➡️ Kedua: Syarat-Syarat I’tikaf

✅ Syarat Pertama: Islam, karena ibadah orang kafir tidak sah, sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka (orang-orang kafir) kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al-Furqon: 23]

Dan firman Allah ta’ala,

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al-An’am: 88]

✅ Syarat Kedua: Berakal, karena orang yang gila tidak disyari’atkan beribadah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Pena diangkat dari tiga golongan, yaitu dari orang gila yang tertutup akalnya sampai ia sadar, dari orang yang tidur sampai ia bangun dan dari anak kecil sampai ia baligh.” [HR. Abu Daud dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, Al-Irwa’, 2/5]

✅ Syarat Ketiga: Mumayyiz, yaitu berumur minimal 7 tahun dan telah memahami ibadah yang ia kerjakan. Tidak sah i’tikaf anak kecil yang belum mumayyiz.

✅ Syarat Keempat: Berniat i’tikaf, karena setiap amalan bergantung kepada niat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

إنَّمَا الأعْمَالُ بَالْنيَاتِ، وَإنَّمَا لِكل امرئ مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتهُ إلَى اللّه وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتهُ إلَى اللّه وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرتُهُ لِدُنيا يُصيبُهَا، أو امْرَأة يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُه إلَى مَا هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih, atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu]

📜 Faidah Penting tentang Pensyaratan Niat dan Tiga Macam Keluar dari Masjid Saat I’tikaf

Ulama mengkiaskan i’tikaf dengan haji dalam masalah pensyaratan niat, karena adanya kesamaan dalam pengharaman hal-hal yang sebelumnya dibolehkan seperti berhubungan suami istri dan lain-lain. Maka boleh seseorang mensyaratkan dalam niatnya ketika memulai i’tikaf bahwa ia akan keluar dari masjid karena suatu hajat, dengan memperhatikan tiga jenis keluar dari masjid berikut ini:[1]

1) Keluar yang dibolehkan dengan pensyaratan dan tanpa persyaratan niat, yaitu keluar untuk melakukan sesuatu yang harus dilakukan seperti buang hajat, sakit, berwudhu’ yang wajib, mandi wajib atau selainnya, demikian pula makan dan minum, apabila tidak disediakan di masjid.

2) Keluar yang tidak dibolehkan kecuali dengan melakukan pensyaratan niat sejak awal i’tikaf, yaitu menjenguk orang sakit, mengunjungi orang tua dan mengantar jenazah. Ini adalah keluar untuk melakukan ketaatan yang tidak diwajibkan, maka tidak boleh dilakukan kecuali apabila telah melakukan pensyaratan dalam niat di awal i’tikaf.

Perhatian: Keluar jenis ini juga dibolehkan apabila ada hal yang darurat walau tanpa pensyaratan, seperti membantu orang yang sakit keras dan tidak ada orang lain yang membantunya, atau mengurus jenazah yang tidak ada orang lain yang mengurusnya, atau orang sakit dan jenazah tersebut adalah orang yang wajib bagi orang yang beri’tikaf untuk membantu dan mengurus seperti orang tuanya, istrinya, anak-anaknya dan lain-lain.

3) Keluar yang tidak dibolehkan sama sekali, tidak dengan pensyaratan dan tidak pula tanpa pensyaratan niat, jika dilakukan maka batal i’tikafnya, seperti keluar untuk jual beli di pasar dan berhubungan suami istri, maka seperti ini tidak boleh dengan atau tanpa pensyaratan dalam niat.

Pensyaratan ini penting karena pada asalnya keluar masjid itu terlarang bagi orang yang beri’tikaf kecuali dengan pensyaratan atau karena darurat, sebagaimana dalam hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,

السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ: أَنْ لَا يَعُودَ مَرِيضًا، وَلَا يَشْهَدَ جَنَازَةً، وَلَا يَمَسَّ امْرَأَةً، وَلَا يُبَاشِرَهَا، وَلَا يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ، إِلَّا لِمَا لَا بُدَّ مِنْهُ، وَلَا اعْتِكَافَ إِلَّا بِصَوْمٍ، وَلَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ

“Sunnah bagi orang yang beri’tikaf untuk tidak menjenguk orang yang sakit, tidak menghadiri jenazah, tidak menyentuh wanita, tidak pula berhubungan badan, tidak keluar karena satu keperluan kecuali yang mau tidak mau harus dilakukan, dan tidak ada i’tikaf (yang lebih afdhal) kecuali dengan puasa, dan tidak ada i’tikaf selain di masjid yang digunakan sholat berjama’ah.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud: 2135]

✅ Syarat Kelima: I’tikaf dilakukan di masjid, sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Dan kalian beri’tikaf di masjid.” [Al-Baqoroh: 187]

✅ Syarat Keenam: I’tikaf di masjid yang dilakukan padanya sholat berjama’ah, ini syarat khusus bagi laki-laki, sebab sholat berjama’ah wajib bagi laki-laki, apabila ia harus keluar masjid untuk melakukan sholat berjama’ah di masjid lainnya maka itu menafikan tujuan i’tikaf, yaitu berdiam diri di masjid, tidak banyak keluar. Dan tidak dipersyaratkan masjid tersebut harus diadakan padanya sholat Jum’at, karena keluar ke masjid lain untuk sholat Jum’at tidak sering dilakukan. Namun yang afdhal beri’tikaf di masjid yang diadakan sholat Jum’at sehingga tidak perlu keluar lagi ke masjid lain.[2]

Oleh karena itu ulama dahulu mengingkari secara keras terhadap orang yang menyendiri dengan tujuan beribadah dan tidak ikut sholat berjama’ah dan Jum’at di masjid. Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

سئل ابن عباس عن رجل يصوم النهار و يقوم الليل و لا يشهد الجمعة و الجماعة قال : هو في النار, فالخلوة المشروعة لهذه الأمة هي الإعتكاف في المساجد خصوصا في شهر رمضان خصوصا في العشر الأواخر منه كما كان النبي صلى الله عليه و سلم يفعله

“Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma pernah ditanya tentang seorang (laki-laki) yang (menyendiri) berpuasa di siang hari dan sholat tahajjud di malam hari, namun tidak ikut sholat Jum’at dan sholat jama’ah, beliau berkata: ‘Dia di neraka’. Maka menyendiri yang disyari’atkan bagi umat ini adalah i’tikaf di masjid, secara khusus di bulan Ramadhan, yaitu di sepuluh hari terakhirnya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” [Lathooiful Ma’aarif: 207]

Adapun bagi wanita boleh i’tikaf di masjid yang tidak dilakukan padanya sholat berjama’ah, karena wanita tidak wajib sholat berjama’ah, tetapi dengan syarat itu adalah masjid umum, bukan masjid khusus di rumahnya, dan syarat lain bagi wanita adalah izin suami atau wali dan aman dari ‘fitnah’ (seperti godaan antara laki-laki dan wanita, atau memunculkan mudarat seperti menimbulkan prasangka buruk dan pembicaraan yang tidak baik).[3]

Demikian pula orang yang diberi keringanan untuk tidak sholat berjama’ah seperti karena sakit maka boleh baginya beri’tikaf di masjid umum mana saja walau tidak diadakan sholat berjama’ah.[4]

Dan musholla-musholla khusus wanita baik di rumah, di sekolah atau di kantor tidak termasuk kategori masjid, maka tidak boleh digunakan untuk i’tikaf.[5]

Adapun pensyaratan i’tikaf hanya di tiga masjid, yaitu Masjidil Harom, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsho maka haditsnya diperselisihkan para ulama tentang keshahihannya. Andai shahih, maka maknanya yang benar adalah lebih afdhal beri’tikaf di tiga masjid tersebut, bukan sebagai pembatasan syari’at I’tikaf hanya di tiga masjid tersebut.[6]

➡️ Ketiga: Hukum I’tikaf

Hukum i’tikaf sunnah (kecuali karena nazar maka wajib) berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnnah dan ijma’. Allah ta’ala berfirman,

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Dan janganlah kalian bercampur dengan istri-istri kalian, sedang kalian beri’tikaf di masjid.” [Al-Baqoroh: 187]

Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه

“Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau masih melakukan i’tikaf sepeninggal beliau.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

الاعتكاف سنة بالإجماع، ولا يجب إلا بالنذر بالإجماع

“I’tikaf hukumnya sunnah berdasarkan ijma’, dan tidak diwajibkan kecuali karena nazar, juga berdasarkan ijma’.” [Al-Majmu’, 6/407]

وأجمع المسلمون على أنه قربة وعمل صالح

“Dan sepakat kaum muslimin bahwa i’tikaf adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan amal shalih.” [Syarhul ‘Umdah, 2/711]

➡️ Keempat: Tujuan dan Hikmah I’tikaf

Tujuan dan hikmah i’tikaf adalah,

تسليم المعتكف: نفسه، وروحه، وقلبه، وجسده بالكلية إلى عبادة الله تعالى، طلباً لرضاه، والفوز بجنته، وارتفاع الدرجات عنده تعالى، وإبعاد النفس من شغل الدنيا التي هي مانعة عما يطلبه العبد من التقرب إلى الله – عز وجل –

“Orang yang beri’tikaf menyerahkan dirinya, ruhnya, hatinya dan jasadnya secara totalitas untuk beribadah kepada Allah ta’ala, demi mencari ridho-Nya, menggapai kebahagian di surga-Nya, terangkat derajat di sisi-Nya dan menjauhkan diri dari semua kesibukan dunia yang dapat menghalangi seorang hamba untuk berusaha mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla.” [Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 459]

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

فمعنى الاعتكاف وحقيقته: قطع العلائق عن الخلائق للاتصال بخدمة الخالق وكلما قويت المعرفة بالله والمحبة له والأنس به أورثت صاحبها الإنقطاع إلى الله تعالى بالكلية على كل حال

“Makna i’tikaf dan hakikatnya adalah memutuskan semua interaksi dengan makhluk demi menyambung hubungan dengan khidmah (focus beribadah ibadah) kepada Al-Khaliq, dan setiap kali menguat pengenalan seseorang kepada Allah, kecintaan kepada-Nya dan kenyamanan dengan-Nya maka akan melahirkan baginya keterputusan dari makhluk untuk berkosentrasi secara totalitas kepada Allah ta’ala di setiap keadaan.” [Lathooiful Maarif, hal. 191]

Dan sungguh menakjubkan, di tengah-tengah kesibukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk mendakwahi seluruh umat manusia, memimpin negara dan mengurus istri-istri, keluarga dan berbagai permasalahan kaum muslimin, beliau masih beri’tikaf setiap tahun; memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah ta’ala di sepuluh hari terakhir Ramadhan dan memutuskan diri dari segala kesibukan dunia serta mengurangi interaksi dengan makhluk.

Bahkan apabila beliau tidak sempat melakukannya maka beliau akan meng-qodho’ di bulan Syawwal atau di bulan Ramadhan berikutnya beliau akan beri’tikaf 20 hari, ini semuanya menunjukkan pentingnya i’tikaf dan termasuk sunnah mu’akkadah, sunnah yang sangat ditekankan.

Beliau beri’tikaf demi meningkatkan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala di sepuluh hari terakhir Ramadhan, karena inilah hari-hari yang paling afdhal di bulan Ramadhan, terutama waktu malamnya, lebih utama lagi pada lailatul qodr yang lebih baik dari 1000 bulan.

Namun sangat disayangkan banyak kaum muslimin justru kehilangan semangat dan ruh ibadah di akhir-akhir Ramadhan, apabila di awal Ramadhan masjid-masjid penuh sesak, di akhir Ramadhan pasar-pasar, mall-mall, jalan-jalan hingga tempat-tempat hiburan yang ramai dikunjungi, mereka menyelisihi petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam beribadah di sepuluh hari terakhir Ramadhan melebihi waktu yang lainnya.” [HR. Muslim]

Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha juga berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam apabila masuk sepuluh hari terakhir Ramadhan maka beliau mengencangkan sarungnya (tidak berhubungan suami istri dan mengurangi makan dan minum), menghidupkan malamnya (dengan memperbanyak ibadah) dan membangun keluarganya (untuk ibadah).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

➡️ Kelima: Waktu I’tikaf

Waktu i’tikaf adalah di sepuluh hari terakhir Ramadhan, inilah yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum, tidak ada satu riwayat pun anjuran beri’tikaf di selain sepuluh hari terakhir Ramadhan, tidak di awal dan pertengahan Ramadhan, tidak pula di bulan-bulan yang lain, kecuali karena qodho’ atau nazar, maka boleh dikerjakan di bulan yang lain. Dan nazar itu sendiri hukum asalnya adalah makruh menurut pendapat terkuat insya Allah, namun apabila sudah bernazar maka wajib ditunaikan.

Andaikan beri’tikaf di selain sepuluh hari terakhir Ramadhan itu dianjurkan, tentu akan dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka tidaklah patut menganjurkan manusia untuk beri’tikaf di selain sepuluh hari terakhir Ramadhan. Akan tetapi barangsiapa melakukannya maka tidak terlarang dan tidak dihukumi bid’ah, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengizinkan Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu menunaikan nazar i’tikaf di selain sepuluh hari terakhir Ramadhan.[7]

Akan tetapi jika seseorang setiap kali masuk masjid berniat i’tikaf maka hendaklah diingkari dan dilarang, karena itu tidak termasuk petunjuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.[8]

➡️ Keenam: Batas Waktu Minimal dan Maksimal Beri’tikaf

Tidak ada batas waktu minimal dan maksimal yang dipersyaratkan untuk sahnya i’tikaf, yang afdhal adalah sepuluh hari dan malamnya penuh di akhir Ramadhan, namun andaikan seseorang berhalangan untuk beri’tikaf secara penuh maka tidak mengapa insya Allah ia beri’tikaf sesuai kemampuannya. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

والصواب في الاعتكاف أنه لا حدَّ لأكثره ولا لأقلِّه، وليس له حد محدود، فلو دخل المسجد ونوى الاعتكاف ساعة أو ساعتين فهو اعتكاف

“Pendapat yang benar dalam masalah i’tikaf adalah tidak ada batas waktu maksimalnya dan minimalnya, tidak ada batas yang ditentukan, andai seseorang masuk masjid dan berniat i’tikaf satu atau dua jam maka itu adalah i’tikaf.” [Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 461]

➡️ Ketujuh: Kapan Waktu Mulai dan Akhir I’tikaf?

✅ Pendapat Pertama: Mulai i’tikaf tanggal 21 Ramadhan dan masuk ke masjid sebelum terbenam matahari di tanggal 20 Ramadhan agar ketika terbenam matahari orang yang beri’tikaf sudah ada di masjid, karena saat itu telah masuk tanggal 21 Ramadhan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan ini adalah pendapat yang terkuat insya Allah, karena tidaklah disebut sepuluh hari yang terakhir kecuali dimulai sejak awal tanggal 21 Ramadhan, yaitu sejak terbenamnya matahari.

Demikian pula kemungkinan lailatul qodr jatuh pada malam 21 Ramadhan, dan itu pernah terjadi di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka sepatutnya untuk mulai i’tikaf sejak awal malam 21 Ramadhan dan masuk sebelum matahari terbenam agar tidak luput sedikit pun waktunya, karena diantara tujuan penting i’tikaf adalah memperbanyak ibadah ketika lailatul qodr.

✅ Pendapat Kedua: Mulai i’tikaf ba’da Shubuh tanggal 21 Ramadhan, berdalil dengan hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ، ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

“Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam apabila hendak beri’tikaf maka beliau sholat Shubuh, kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Ini adalah pendapat sebagian ulama, akan tetapi ini adalah pendapat yang lemah, karena hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa beliau baru mulai beri’tikaf setelah sholat Shubuh, tetapi baru masuk ke tempat i’tikafnya, yaitu kemah yang disediakan untuk beliau, sebagaimana dalam sebuah riwayat yang lebih kuat dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha dengan lafaz,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَعْتَكِفُ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ

“Dahulu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, maka aku membuatkan untuk beliau sebuah kemah, beliau sholat Shubuh kemudian masuk ke dalamnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Bahkan terdapat riwayat yang menegaskan bahwa beliau masuk ke tempat i’tikaf setelah sholat Shubuh di tempat yang telah beliau lakukan i’tikaf sebelumnya, bukan baru masuk pertama kali, yaitu riwayat lain dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha dengan lafaz,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ، وَإِذَا صَلَّى الغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِي اعْتَكَفَ فِيهِ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam beri’tikaf di setiap Ramadhan, maka apabila beliau telah sholat Shubuh, beliau masuk ke tempat yang telah beliau lakukan i’tikaf padanya.” [HR. Al-Bukhari]

Adapun waktu keluarnya, jumhur ulama berpendapat adalah terbenamnya matahari di akhir Ramadhan, dan inilah pendapat yang kuat insya Allah karena yang disyari’atkan dan diniatkan adalah i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, bukan Syawwal. Dan sebagian ulama berpendapat bahwa yang afdhal adalah tetap di masjid dan keluar bersamaan dengan waktu menuju sholat Idul fitri, namun ini adalah pendapat yang lemah karena tidak didukung oleh dalil yang shahih lagi sharih, serta bertentangan dengan sunnah pada hari ‘ied untuk berpenampilan bagus.[9]

➡️ Kedelapan: Amalan-amalan Saat Beri’tikaf

Disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf untuk memperbanyak ibadah kepada Allah ta’ala seperti:[10]

✅ Sholat-sholat sunnah, baik sholat sunnah yang memiliki sebab seperti sholat sunnah Dhuha, Wudhu dan lain-lain, maupun sholat sunnah muthlaq (umum, yang tidak memiliki sebab, boleh dilakukan semampunya dan kapan saja selama bukan di waktu-waktu terlarang, dan dilakukan dengan cara dua raka’at salam, dua raka’at salam),

✅ Membaca Al-Qur’an,

✅ Berdoa,

✅ Berdzikir,

✅ Istighfar,

✅ Bertaubat dan ibadah-ibadah khusus lainnya,

✅ Menghindari ucapan-ucapan yang sia-sia apalagi yang haram, namun tidak disyari’atkan untuk berniat ibadah dengan cara diam tidak mau bicara sama sekali,

✅ Meminimalkan interaksi dan pembicaraan dengan orang-orang agar lebih banyak beribadah dan lebih khusyu’,

✅ Tidak dianjurkan untuk memperbanyak majelis ilmu, kecuali satu atau dua kali dalam sehari, dan hendaklah lebih fokus beribadah khusus secara pribadi maupun sholat berjama’ah.

➡️ Kesembilan: Hal-hal yang Mubah bagi Orang yang Beri’tikaf

1) Keluar masjid untuk menunaikan hajat yang mesti dilakukan, baik secara tabiat maupun syari’at, seperti;

✅ Keluar untuk buang hajat,

✅ Keluar untuk makan dan minum apabila tidak tersedia di masjid,

✅ Keluar untuk berwudhu atau mandi wajib,

✅ Keluar untuk sholat Jum’at,

✅ Keluar untuk bersaksi apabila diwajibkan atasnya,

✅ Keluar karena mengkhawatirkan suatu ‘fitnah’ yang mengancam diri, keluarga, anak atau harta,

✅ Keluar untuk melakukan sesuatu yang wajib atau meninggalkan yang haram,

Maka tidak batal i’tikaf seseorang apabila keluarnya karena alasan-alasan di atas, dan hendaklah segera kembali ke masjid apabila hajat-hajatnya telah selesai. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا اعْتَكَفَ، يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ

“Dahulu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam apabila beri’tikaf, beliau mendekatkan kepalanya kepadaku (tanpa keluar dari masjid) dan aku menyisir rambut beliau, dan beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena hajat sebagai manusia.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

2) Boleh melazimi satu tempat di masjid untuk beri’tikaf dan boleh membuat kemah kecil untuk beri’tikaf di dalamnya. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَعْتَكِفُ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ

“Dahulu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, maka aku membuatkan untuk beliau sebuah kemah, beliau sholat Shubuh kemudian masuk ke dalamnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

3) Boleh dikunjungi oleh keluarga dan berbicara dengan mereka serta mengantar kembali pulang apabila dibutuhkan, sebagaimana dalam hadits Ummul Mukminin Shofiyyah radhiyallahu’anha,

أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي المَسْجِدِ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا

“Bahwasannya beliau mengunjungi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika sedang beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, maka beliau berbicara bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam beberapa saat, kemudian bangkit untuk kembali pulang, maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pun bangkit bersamanya untuk mengantarnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

4) Boleh makan dan minum di masjid dengan tetap menjaga kebersihan. Sahabat yang Mulia Abdullah bin Al-Harits bin Jaz’in Az-Zubaidi radhiyallahu’anhu berkata,

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَاللَّحْمَ

“Dahulu kami makan roti dan daging pada masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di masjid.” [HR. Ibnu Majah, Shahih Ibni Majah, 3/126]

➡️ Kesepuluh: Pembatal-pembatal I’tikaf

1) Keluar masjid dengan sengaja tanpa keperluan, berdasarkan hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,

وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ

“Dahulu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak masuk ke rumah kecuali karena hajat sebagai manusia.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata,

واتفقوا على أن من خرج من معتكفه في المسجد لغير حاجةٍ، ولا ضرورة، وبرٍّ أُمِرَ به ونُدِب إليه، فإنَّ اعتكافه قد بطل

“Ulama sepakat bahwa orang yang keluar dari tempat i’tikafnya di masjid tanpa hajat dan tanpa alasan darurat, bukan pula karena suatu kebajikan yang diperintahkan atau disunnahkan, maka i’tikafnya telah batal.” [Maraatibul Ijma’, hal. 74]

2) Berhubungan suami istri, sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Dan janganlah kalian bercampur dengan istri-istri kalian, sedang kalian ber’tikaf di masjid.” [Al-Baqoroh: 187]

3) Murtad, keluar dari Islam –kita berlindung kepada Allah ta’ala dari kemurtadan-. Murtad membatalkan i’tikaf, bahkan menghapus seluruh ibadah yang telah dikerjakan dan menghalangi diterimanya ibadah yang akan dikerjakan. Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barangsiapa kafir dengan keimanan maka terhapuslah amalannya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” [Al-Maidah: 5]

Allah ta’ala juga berfirman,

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al-An’am: 88]

Allah ta’ala juga berfirman,

وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِالله وَبِرَسُولِهِ

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah: 54]

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

—-------------------------

[1] Lihat Syarhul ‘Umdah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 2/810 dan Majaalis Syahri Ramadhan, hal. 245-246, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 477.

[2] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/509.

[3] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/509-511.

[4] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/511.

[5] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/52.

[6] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/502.

[7] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/504-505.

[8] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/506.

[9] Lihat Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 469.

[10] Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/500-501.

💾 Sumber:

https://www.facebook.com/sofyanruray.info/posts/811592705656880:0

http://sofyanruray.info/ringkasan-pembahasan-itikaf

Kamis, 15 Juni 2017

*🌕 Tanpa Melakukan Itikaf, Ap Bisa Mendapatkan Malam Lailatul Qadar?🌕*


💫Ada yang berkecil hati karena tidak bisa melakukan i’tikaf di masjid, lantas ia menilai bahwa ia tidak bisa mendapatkan keutamaan lailatul qadar. Apakah benar sangsi demikian?

💫Perlu dipahami, para ulama salaf berpendapat bahwa *keutamaan lailatul qadar itu akan diperoleh oleh setiap muslim yang diterimanya amalnya di malam tersebut*.

👤Ibnu Rajab dalam kitabnya Lathoif Al Ma’arif (hal. 341) membawakan hadits dalam musnad Imam Ahmad, sunan An Nasai, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

_“Di dalam bulan Ramadhan itu terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tidak mendapati malam tersebut, maka ia akan diharamkan mendapatkan kebaikan.”_
(HR. An Nasai no. 2106, shahih)

*Bahkan sampai musafir dan wanita haidh pun bisa mendapatkan malam lailatul qadar.*

👤Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak,

_“Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang yang tidur (namun hatinya tidak lalai dalam dzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?”_ Adh Dhohak pun menjawab, _“Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian._ *Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut*.”
(Lathoif Al Ma’arif, hal. 341)

👤Ibnu Rajab menasehatkan,

_“Wahai saudaraku, Yang terpenting bagaimana membuat amalan itu diterima, bukan kita bergantung pada kerja keras kita. Yang jadi patokan adalah pada baiknya hati, bukan usaha keras badan. Betapa banyak orang yang begadang untuk shalat malam, namun tak mendapatkan rahmat. Bahkan mungkin orang yang tidur yang mendapatkan rahmat tersebut. Orang yang tertidur hatinya dalam keadaan hidup karena berdzikir pada Allah. Sedangkan orang yang begadang shalat malam, hatinya yang malah dalam keadaan fajir (berbuat maksiat pada Allah).”_ (Idem)

💫Anugerah Allah itu begitu besar. Karunia tersebut tidak terbatas pada segelintir orang. Perbanyaklah terus ibadah di akhir-akhir Ramadhan, moga kita mendapatkan anugerah malam Qadar.

```Semoga kita semua mendapatkan kemuliaan di malam lailatul qadar tersebut. Aamiin```

📘Referensi:
Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H.

✍Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

🌎https://rumaysho.com/8241-tanpa-melakukan-itikaf-apa-bisa-mendapatkan-malam-lailatul-qadar.html
______________________________________
📚 Admin *SAMUDERA HIKMAH & MUTIARA HIKMAH*

Rabu, 14 Juni 2017

Menjawab Keraguan Bolehkah Zakat Untuk Pembangunan Mesjid

Mahmoud Syaltout (1893-1963) akan tetap dikenang sebagai tokoh penting dan ulama besar Dunia Islam. Penulis Tafsir Al-Quran dan pemimpin tertinggi (Grand Syaikh) serta Rektor Universitas Al-Azhar Cairo itu diakui kredibilitasnya sebagai ahli fikih  terkemuka dan pelopor pendekatan antar-mazhab.

Sebuah pertanyaan menarik yang pernah diajukan kepadanya dijawab dengan sangat baik, “Sebagian masyarakat berpendapat bahwa setiap muslim harus mengikuti salah satu fikih  dari empat mazhab agar amal ibadah dan muamalahnya sah, apakah syaikh sepakat dengan pendapat demikian?”

Syaikh Al-Azhar itu  menjawab, “Agama Islam tidak memerintahkan umatnya supaya mengikuti mazhab tertentu. Setiap muslim boleh mengikuti mazhab apapun yang benar riwayatnya dan mempunyai kitab fikih. Setiap muslim yang mengikuti mazhab tertentu dapat merujuk ke mazhab lain (mazhab apapun) dan tidak ada masalah.”

Menurut Syaikh Mahmoud Syaltout, sudah sepantasnya umat Islam meninggalkan fanatisme buta terhadap mazhabnya, karena agama dan syariat Allah  tidak mengikuti mazhab tertentu dan tidak pula terpaku pada mazhab tertentu, akan tetapi semua pemimpin mazhab adalah mujtahid.

Pada bulan Desember 1960  Syaikh Al-Azhar Mahmoud Syaltout dan rombongan datang ke Indonesia selaku tamu negara. Dalam kesempatan itu ia menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Ushuluddin dari Institut Agama Islam Negeri Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah Yogyakarta (kini UIN Sunan Kalijaga) dengan promotor Prof. Mukhtar Yahya, Dekan Fakultas Ushuluddin. Penghargaan Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) diberikan kepada Mahmoud Syaltout atas jasa-jasa dan karya-karyanya yang bermanfaat bagi Dunia Islam.

Pada kunjungannya tersebut Syaikh Mahmoud Syaltout menghadiri acara dalam rangka penyambutan di Masjid Agung  Kebayoran Baru Ja- karta dan menyampaikan pidato amat menarik yang memuji berdirinya masjid yang indah dengan Imam Besarnya Buya Hamka itu.

“Bahwa mulai hari ini, saya selaku Syaikh dari Jami’ Al-Azhar memberikan nama bagi masjid ini nama “AL-AZHAR”, moga-moga dia menjadi Al-Azhar di Jakarta, sebagaimana adanya Al-Azhar di Cairo.” ucap Mahmoud Syaltout.” Sejak 1961 resmilah nama “Masjid Agung Al-Azhar” sebagai pusat syiar Islam dan pangkalan perjuangan umat di pusat ibukota Jakarta.

Buku karya Syaikh Mahmoud Syaltout cukup banyak, terutama tentang agama, masyarakat dan hukum Islam. Salah satu karya Syaikh Mahmoud Syaltout yang terpenting dan memperkaya khazanah pemahaman hu- kum Islam, ialah  Fatwa-Fatwa (1973)  diterbitkan dua jilid.  Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof. H. Bustami A. Gani dan Zaini  Dahlan M.A. Di antara topik bahasan yang perlu diketahui masyarakat luas di dalam kitab Fatwa-Fatwa, ialah kupasan Mahmoud. Syaltout terhadap pertanyaan, “Bolehkah zakat dipergunakan untuk mendirikan masjid atau memperbaikinya?”

Syaikh Mahmoud Syaltout sebagai ulama yang berpaham luas menulis sebagai berikut, “Masjid yang dikehendaki untuk didirikan atau diperbaiki, jika merupakan satu-satunya yang ada di suatu tempat, atau ada yang lain tetapi sangat sempit dan tidak dapat menampung penduduk di daerah itu, sehingga dirasa perlunya didirikan masjid yang baru, maka dalam keadaan seperti itu adalah sah  menurut agama membelanjakan uang zakat untuk mendirikan atau memperbaiki masjid dimaksud.”

“Pembiayaan masjid termasuk dalam pembelanjaan zakat sebagaimana dinyatakan dalam surat At-Taubah ayat 60 dengan nama “sabilillah” yaitu: (artinya) “Bahwasanya shadaqah (zakat) itu  diperuntukkan bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil (petugas zakat), orang-orang yang  dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk sabilillah, dan ibnu sabil.”

“Hal ini atas dasar bahwa perkataaan ‘sabilillah’ itu maksudnya ialah ke pentingan umum yang manfaatnya bagi sekalian kaum muslimin dan tidak terbatas pada satu golongan tertentu saja. Jadi  ia meliputi soal-soal yang bersangkutan dengan: masjid, rumah sakit, gedung-gedung pendidikan, industri-industri besi/baja, industri mesiu dan sebagainya, yang manfaatnya kembali kepada masyarakat umum.” lanjut Mahmoud Syaltout. Syaikh Mahmoud Syaltout menambahkan, “Berdasarkan itu semua, kam ingin menandaskan di sini, bahwa dalam masalah tersebut terdapat khilaf di kalangan para Ulama. Sesudah menyebut pendapat-pendapat para Ulama mengenai soal ini, Imam al-Razi mengatakan dalam Tafsirnya sebagai berikut:

‘Ketahuilah bahwa menurut dhahirnya arti perkataan wa fi sabilillah dalam ayat tersebut tidak hanya terbatas pada pejuang dan sebagainya saja. Oleh karena itu Imam al-Qaffal mensitir pendapat para Fuqaha dalam Tafsirnya, bahwa mereka membolehkan pembelanjaan harta zakat dalam segala segi kebaikan, misalnya: mengenai pengurusan jenazah, mendirikan benteng-benteng/kubu-kubu pertahanan, memakmurkan masjid dan sebagainya. Sebab sabilillah tersebut meliputi itu semua.”

“Itulah pendapat yang kami pilih dan kami kukuhi serta kami fatwakan, dengan catatan seperti keterangan kami di atas yang khusus mengenai masjid, yakni masjid yang dimaksud itu  merupakan kebutuhan pokok. Jika tidak demikian, maka pembelanjaan selain pada masjid itulah yang harus didahulukan.” pungkasnya.

Fatwa Syaikh Mahmoud Syaltout tentang substansi “sabilillah” dalam konteks masa kini sejalan dengan pendapat ulama Al-Azhar dan tokoh pembaharu Sayid  Muhammad Rasyid Ridha (wafat 1935) yang banyak dirujuk oleh kalangan ulama di berbagai negeri muslim sampai sekarang. Pengertian “fisabilillah” sebagai asnaf penerima zakat tidak terbatas pada kepentingan perjuangan yang bersifat fisik semata dalam rangka pertahanan negara dan agama, tetapi sesuai yang dipahami dari Al Quranul Karim dalam kaitan dengan pembagian zakat kepada delapan asnaf bahwa kalimat “sabilillah” ditampilkan “secara umum guna kepentingan umum pula”. Menurut hemat penulis, fatwa Syaikh Mahmoud Syaltout di atas telah cukup untuk menjawab keraguan sebagian kalangan mengenai boleh tidaknya zakat untuk pembangunan masjid.

Wallahu a’lam bisshawab.

M. Fuad Nasar

Selasa, 06 Juni 2017

BILA HRS TIDAK DILENYAPKAN, JOKOWI-LUHUT PANJAITAN, AKAN KALAH KO PADA PILPRES 2019

Oleh : Pipiet Senja

Aksi 411 dan 212 yang diikuti oleh jutaan umat Islam dari berbagai daerah telah menimbulkan kekagetan yang luar biasa bagi penguasa negeri ini dan di lain pihak melambungkan nama tokoh dan ulama Islam Habib Rizieq Shihab (HRS).

Sosok kharismatik yang dianugerahi kepiawaian dalam berorasi ini telah berhasil mengkonsolidasikan dan menyatukan gerak umat Islam dalam menuntut keadilan atas penistaan agama. Aksi ini bisa dikatakan sebagai aksi fenomenal  dan menjadi catatan sejarah tersendiri kebangkitan umat Islam Indonesia.

Aksi umat Islam ini menunjukkan energy yang sangat kuat yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Jokowi untuk mendukung pemerintahannya jika bisa di manage dengan baik, namun sepertinya pemerintah melihat aksi aksi ini dari sudut yang berbeda sehingga menyimpulkan aksi ini sebagai ancaman nyata bagi kelangsungan kekuasaan dan secara langsung menempatkan HRS sebagai tokoh yang berbahaya dan harus disingkirkan.

Kemampuan HRS dalam mengkomandoi umat juga dibuktikan dalam pilkada DKI dimana pasangan incumbent Ahok Djarot yang nota bene didukung oleh mayoritas partai yang didalamnya terdapat partai berkuasa PDIP (pemerintah ikut didalamnya) serta didanai secara tidak terbatas oleh taipan yang dikenal dengan 9 naga berhasil dikalahkan oleh Anis Sandi yang hanya didukung oleh 3 partai saja.

Peranan HRS dalam memenangkan Anis Sandi (tanpa mengecilkan peran pendukung lainnya) tidak bisa dinafikkan dan ini teramat sangat mengganggu penguasa (Jokowi dan PDIP).

Bagi Jokowi dan PDIP sosok HRS bisa menjadi penghalang pada pemilu 2019 mendatang dan oleh sebab itu menyingkirkannya merupakan suatu keharusan, cara apapun harus ditempuh untuk menjauhkan HRS dari urusan polotik dan umat.

Menurut informasi pemerintah Jokowi bahkan sempat sepakat untuk menghilangkan HRS dari muka bumi ini sehingga tidak mengherankan HRS mengalami beberapa kali penyerangan fisik seperti penembakan dan serangan dengan cara pembakaran mobil.

Serangan nonfisik lainnya tidak terhitung dialami HRS. Berbagai macam kasus dituduhkan kepada HRS untuk membungkamnya tapi pejuang ini tidak pernah berhenti menyuarakan kepentingan Islam yang belum mendapat tempat yang layak di bumi NKRI.

Kasus terakhir yang sama sama kita lihat yaitu kasus chat yang berkonten pornografi. Kasus ini bukan tanpa alasan dipilih pemerintah untuk dituduhkan kepada HRS. Kenapa tidak kasus makar? Padahal pengkapan tersangka makar terjadi saat para tersangka akan menghadiri aksi yang digagas oleh HRS, kenapa tidak penggagas aksi yang ditangkap?.

Kasus pornografi bisa memberikan dampak negative yang luar biasa terhadap nama baik dan citra HRS apalagi dia merupakan tokoh agama. Jokowi bersama polri memilih dengan hati hati kasus pornografi  untuk membunuh karakter HRS sehingga diharapkan bisa menjauhkannya dari umat. Itulah sasaran utamanya, character assassination.

Jokowi dan PDIP mungkin beranggapan bahwa penetapan HRS sebagai tersangka kasus pornografi merupakan akhir cerita perjuangan HRS, tapi sebenarnya itu bisa menjadi boomerang bagi Jokowi dan PDIP itu sendiri.

Masyarakat terutama penduking HRS mengikuti dengan cermat perkembangan kasus ini yang memang terlihat sangat janggal dan dipaksakan.

Penetapan sebagai tersangka ini bisa memicu terkonsolidasi kembali kekuatan umat dan bisa menghidupkan membali ghirah perjuangan yang pernah menyala pada aksi 411 dan 212.

Perlu diingat, bersatunya aksi umat Islam diikat oleh satu isu yg sangat sensitive yaitu isu agama. Umat Islam merasa dilecehkan dan diperlakukan tidak adil oleh pemerinta, itulah yang mendorong umat Islam dari berbagai penjuru bergerak menuntut keadilan, dan satu hal lagi yang mendorong yaitu adanya musuh bersama dalam kasus itu.

Saat ini kasus chat porno yg dituduhkan kepada HRS telah dianggap sebagai bentuk kedzoliman penguasa terhadap para ulama apalagi belakangan ini terjadi penangkapan terhadap tokoh tokoh Islam yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.

Dengan situasi ini, pemerintah dalam hal ini Jokowi, polri dan PDIP telah menempatkan dirinya sebagai musuh bersama umat Islam. Perlu diingat, secara psikologis menyatukan masa dengan ikatan kebahagiaan jauh lebih sulit dari menyatukannya dengan ikatan isu ketertindasan dan ketidak adilan apalagi yang terkait dengan urusan agama, pelecehan terhadap Al Qur'an hampir sama nilainya dengan pelecehan dan pendzoliman terhadap ulama, kedua duanya patut dibela dan diperjuangkan.

Dan dalam waktu yang bersamaan juga, penetapan HRS sebagai tersangka akan semakin menaikkan pamornya sebagsi simbol dan ikon perjuangan melawan tyranny penguasa.

Semakin banyak serangan penguasa yang tertuju kepada HRS maka akan semakin kokoh ketokohannya sebagai pejuang. Situasi ini juga dapat ikut mendorong menyatunya kelompok yang anti PDIP, tidak puas dengan kinerja pemerintah dan polri ke dalam satu barisan bersama loyalis HRS.

Perlu diingat, pemilu Jokowi dalam pilpres 2014 lalu hanya sekitar 70 juta orang, artinya sebagian besar rakyat tidak memilih Jokowi sebagai presiden. Jika ini sampai terjadi maka revolusi ada diambang kenyataan.

Eksistensi HRS secara nyata telah menggerus popularitas Jokowi dan PDIP yang memang dapat membahayakan dalam kelangsungan kekuasaan dalam pemilu 2019 mendatang.

Beberapa peneliti dan pengamat mengatakan bahwa elektabilitas PDIP mengalami penurunan drastis dan Jokowi sulit menang dlm pilpres 2019.

Sumber mengatakan bahwa ada kegelisahan luar biasa dalam diri Jokowi dalam menghadapi pilpred 2019. Jokowi telah melakukan pertemuan dengan Megawati membahas dukungan PDIP untuknya pada pilpres mendatang.

Megawati setuju untuk memberikan dukungan pada Jokowi namun dengan syarat menjadikan puan sebagai wakilnya. Atas permintaan tersebut, Jokowi melakukan konsultasi dengan ibu surinya, dari hasil diskusi dengan ibu surinya, disumpulkan bahwa puan tidak dapat mengangkat elektabilitas Jokowi bahkan sebaliknya dapat merugikannya.

Jokowi pun mencari alternative lain untuk dijadikan sebagai pendampingnya pada pilpres 2019 dan calon kuat saat ini adalah Luhut Binsar Panjaitan (LBP).

Melihat latar belakang LBP yang tidak memiliki grassroots yang kuat maka dukungan partai besar harus bisa diamankan dan partai tersebut adalah Golkar.

Pengalaman panjang di Golkar dan didukung oleh taipan 9 naga, LBP akan membajak Golkar dan dipaksa untuk menjadi pendukungnya.

Kasus e-ktp Setya Novanto akan menjadi pintu masuk LBP menguasai golkar. Setya Novanto akan dipaksa mendukung LBP dengan imbalan kasus e-ktp yang menjeratnya akan diamankan LBP, dan untuk kader golkar yng lain menjadi urusan 9 naga. 9 naga akan mengucurkan dana yang tidak terbatas untuk membeli dukungan petinggi golkar kepada LBP.

Dari gambaran ini terlihat terang mengapa Jokowi dan PDIP sangat bernafsu melenyapkan HRS. Sosok HRS menjadi momok yg menakutkan bagi Jokowi dan PDIP pada pilpres 2019.

Semoga bangsa kita terhindar dari segala keburukan dan selalu diselamatkan Allah dari segala bencana.

اللهم فرق جمعهم...
اللهم بدد شملهم....
اللهم أقل عددهم....

Sabtu, 03 Juni 2017

PANTAS MEREKA TAKUT

Ibadah Sunah:

Ditulis oleh Budi Ashari, Lc.

Anak-anak muda yang membahayakan. Para teroris hadir. Sel-sel baru bermunculan. Pengajian-pengajian sumbernya. Masjid pusatnya. Terutama masjid sekolah-sekolah dan kampus. Kumpulan mereka perlu diwaspadai dan diawasi.

Lihatlah pola yang menggiring secara bertahap tapi pasti.Hasilnya sangat terlihat. Para orangtua banyak yang khawatir begitu melihat anaknya berubah menjadi baik. Seorang ibu ketakutan saat melihat anaknya liburan dari pesantrennya, karena melihat pakaian putrinya itu sangat rapi menutup aurat sesuai syariat Islam. “Apa anak saya sudah kerasukan pemikiran radikal?”

Efek buruk dan jahat ini merasuki otak dan hati para orangtua tanpa disadari. Dan anehnya, para orangtua lebih nyaman melihat anaknya bergaul tanpa batas. Itulah yang dianggap wajar. Mereka senang melihat anaknya menghabiskan waktu untuk melamun, karena dianggapnya sedang puber. Aneh...

Dan akhirnya para orangtua tanpa disadari memberi ‘wejangan’, “Hati-hati kalau ngaji di masjid.” Anak-anak muda yang rumit memilah jenis pengajian, akhirnya memutuskan untuk duduk-duduk di kafe, nongkrong di jalanan, bahkan tempat-tempat dosa. Dan mereka pun jauh dari masjid.

Luar biasa bukan...rencana jahat menjauhkan generasi muda dari masjid. Karena mereka sadar, tapi kita tidak sadar. Mereka tahu, tapi kita tidak tahu. Mereka membaca sejarahnya, kita tidak. Bahwa kebangkitan Islam itu berawal dari kebangkitan anak-anak mudanya.

Dengarkan penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya saat menjelaskan tentang kata: Fityah (pemuda), dalam Surat Al Kahfi,

“...Untuk itulah kebanyakan yang menyambut (seruan) Allah dan Rasul Nya shallallahu alaihi wasallam adalah pemuda. Adapun orang-orang tua dari Quraisy, kebanyakan mereka tetap bertahan dalam agama mereka dan tidak masuk Islam kecuali sedikit saja.”

Untuk lebih menjelaskan kalimat tersebut, mari kita baca tulisan DR. Mahmud Muhammad ‘Imaroh, Dosen Universitas Al Azhar Mesir. Beliau menuliskan data usia mereka yang masuk Islam di masa dakwah rahasia Nabi (sepanjang 3 tahun), dalam buku beliau Khawatir wa taammulat fis sirotin nabawiyyah, h. 125-129. Beliau mengambilnya dari dari Majalah Al Wa’yu Al Islamy, Edisi 77. Perlu diingat di awal, jika ada perbedaan tentang usia dalam buku-buku siroh adalah merupakan hal yang wajar. Di sini dinukilkan apa adanya dari buku tersebut:

1. Ali bin Abi Thalib 8 tahun
2. Zubair bin Awwam 8 tahun
3. Thalhah bin Ubaidillah 12 tahun
4. Arqam bin Abil Arqam 12 tahun
5. Abdullah bin Mas’ud Menjelang 15 tahun
6. Said bin Zaid Belum 20 tahun
7. Saad bin Abi Waqqash 17 tahun
8. Mas’ud bin Rabi’ah 17 tahun
9. Ja’far bin Abi Thalib 18 tahun
10. Shuhaib Ar Rumi belum 20 tahun
11. Zaid binHaritsah menjelang 20 tahun
12. Utsman bin Affan sekitar 20 tahun
13. Thulaib bin Umair sekitar 20 tahun
14. Khabbab bin Art sekitar 20 tahun
15. Amir bin Fuhairoh 23 tahun
16. Mush’ab bin Umair 24 tahun
17. Miqdad bin Aswad 24 tahun
18. Abdullah bin Jahsy 25 tahun
19. Umar bin Khattab 26 tahun
20. Abu Ubaidah bin Jarrah 27 tahun
21. Utbah bin Ghazwan 27 tahun
22. Abu Hudzaifah bin Utbah sekitar 30 tahun
23. Bilal bin Rabah sekitar 30 tahun
24. Khalid bin Said sekitar 30 tahun
25. Amr bin Said sekitar 30 tahun
26. Ayyasy bin Abi Rabi’ah sekitar 30 tahun
27. Amir bin Rabi’ah sekitar 30 tahun
28. Nu’aim bin Abdillah sekitar 30 tahun
29. Utsman bin Madz’un sekitar 30 tahun
30. Abdullah bin Madz’un 17 tahun
31. Qudama bin Madz’un 19 tahun
32. Saib bin Madz’un sekitar 10 tahun
33. Abu Salamah bin Abdul Asad sekitar 30 tahun
34. Abdurahman bin Auf sekitar 30 tahun
35. Ammar bin Yasir antara 30-40 tahun
36. Abu Bakar 37 tahun
37. Hamzah bin Abdul Muthalib 42 tahun
38. Ubaidah bin Harits 50 tahun
39. Amir bin Abi Waqqash masuk Islam setelah urutan orang ke-10
40. As Sail bin Utsman syahid di perang Yamamah (11 H) umurnya masih 30 tahun

Dan ini kalimat DR. Mahmud Muhammad ‘Imaroh,
Walau Quraisy terus menerus melakukan teror dan intimidasi terhadap orang-orang lemah..tetapi anak-anak muda itu justru mengumumkan keislaman mereka, dengan konsekuensi yang sedang menanti mereka berupa kesulitan hidup...dan terkadang harus mati!

Deretan angka-angka di atas menunjukkan kebenaran kalimat Ibnu Katsir bahwa kebesaran Islam ini lebih banyak ditopang oleh anak-anak muda.

Sebenarnya, skenario menjauhkan cara pandang yang benar terhadap generasi muda bukan hanya dilakukan sekarang dengan pola seperti ini. Berbagai cara dan pola telah lama mereka laksanakan.Mereka menyusupkan dengan perlahan tapi pasti berbagai teori racun. Targetnya jelas: menjauhkan anak-anak muda dari kebaikan mereka dan masjid mereka.

Seperti berbagai penelitian yang menyampaikan bahwa remaja adalah usia kerusakan, kegundahan, keguncangan, krisis, kenakalan. Pelajaran ini benar-benar tertanam pada orangtua. Sehingga, lagi-lagi mereka meyakini bahwa remaja harus melalui semua masalah itu. Jika ada anaknya yang baik-baik saja dan tidak melalui kekacauan itu, orangtua akan berkata, “Apa anak saya tidak normal ya?”

Lihatlah sebuah skenario besar dalam rentang puluhan bahkan ratusan tahun. Dan mereka berhasil meracuni pemikiran para pendidik dan orangtua muslim.

Padahal pemuda begitu positif dalam bahasa ayat, hadits dan ulama. Sehingga perlu sebuah upaya besar untuk membalik cara pandang tersebut sekaligus memberi obat dari masalah yang dihadapi oleh para pemuda kita.

Pemuda adalah kekuatan, inspirasi, kreatifitas, ledakan ruhiyah, ketegaran, kesegaran, enerjik, karya besar dan penopang peradaban Islam.

Pantas mereka takut ..

Ayoo rekrut, bina, berdayakan.